31 Desember 2014

Tamparan



Sebelum kau bertanya, “Kenapa cerita ini berjudul tamparan?” manusia lebih dahulu diperbudak oleh uang.

Gadis itu bernama Lastri. Dia berkerudung, dan juga cantik. Beruntunglah Lastri ini, dia dilahirkan di keluarga yang mampu dan jauh dari kata melarat─golongan pejabat. Orang-orang menyebutnya anak kesayangan karena semenjak bayi dia tak pernah mengenal mencuci baju, setrika, memasak, apalagi macul di sawah. Boro-boro mencocok tanam, menginjakkan kaki di genangan air saja membuat Lastri risih.

Pernah suatu ketika, dia menginjak genangan air ketika berjalan di sepanjang jalan Malioboro bersama seorang pemuda. Dan saat itu juga, dia langsung menjerit, “Ihh.. jorok banget!” Seperti orang yang kebakaran jenggot, Lastri langsung berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan kakinya yang kotor.

“Ihh.. jorok banget!”
                                               
                                                       ***    
                                                                         
Bagaimana mungkin ada orang yang berkata kalau Indonesia adalah bangsa yang kere? Lihat saja tempat parkir kampus itu. Sudah penuh sesak oleh ratusan motor dan Lastri kebingungan setengah mati mencari lahan kosong guna memarkir motornya. Dia terpaksa berkeliling, kesana-kemari, tengok kanan-tengok kiri demi memarkirkan motornya.           

Dan ketika dia mulai turun dari motor, di kejauhan seorang gadis terlihat berteriak memanggili namanya; tanggannya dilambai-lambaikan dan dia berjalan mendekat.

30 Oktober 2014

Persembahan Untuk Hari Sumpah Pemuda

Sebulan yang lalu, pada mata kuliah Struktur Kalimat Bahasa Indonesia, dosen gue yang kepalanya mengalami kebotakan akut memberi tugas kepada mahasiswa untuk membuat tulisan dalam waktu setengah jam. Dan beginilah jadinya:



            BELAJAR DARI BULE


Sebulan yang lalu batin saya dibuat tertohok oleh mahasiswa asing yang berasal dari Korea. Peristiwa itu bermula ketika saya mengikuti mata kuliah Ketrampilan Wicara, dimana setiap mahasiswa diharuskan menguasai seni mengolah kata. Dosen yang baru saja memasuki kelas, dengan pakaian yang serba rapi dan tanpa membawa buku pegangan seperti dosen lain, berdiri di depan deretan bangku yang sudah terisi oleh puluhan mahasiswa. Ia kemudian melontarkan senyum, berkacak pinggang dan mulai membuka perkuliahan. “Selamat pagi, teman-teman. Semua yang ada di kelas ini akan saya beri nilai A.” Kalimat itu membuat semua mahasiswa bersorak dengan riuh, seolah-olah Indonesia baru saja memenangi gelar Piala Dunia. Dosen yang menyasikan peristiwa itu menggeleng, kemudian melanjutkan kalimatnya. “Asalkan, kalian semua berani untuk berbicara. Anda tahu, mencoba adalah tolak ukur keberanian. Ada yang ingin maju ke depan untuk mencoba berbicara? Ayoh, silahkan maju!”

Kelas yang tadinya ramai seperti pasar malam, sekarang mendadak hening menyerupai kuburan. Tanpa perlu dikomando, seluruh mahasiswa menundukkan kepala. Keheningan ini berlangsung sekitar lima belas menit, tanpa ada satu pun makhluk hidup yang mengeluarkan suara. “Mencoba adalah tolak ukur keberanian,” dosen mengulangi kalimatnya. “Tanpa pernah mencoba sesuatu, seseorang tak akan pernah mendapatkan sesuatu. Tidak adakah di antara teman-teman yang mau mencoba berbicara di depan?”

Lagi-lagi kelas menjadi hening dan semua mahasiswa masih terkubur dengan kediamannya.  Dosen saya memancarkan raut muka yang resah, mata beliau sedikit berkaca-kaca. Ia memutarkan kepalanya ke seluruh penjuru kelas dan tatapan mata beliau terhenti pada seorang mahasiswa asing. “Kamu mau maju ke depan untuk berbicara?” tanya dosen. Mahasiswa asing itu mengangguk, kemudian melenggang ke depan kelas.

6 Oktober 2014

CERITA BUAT AHMAD


Ada kalanya dalam hidup, kau akan muak dengan rasa cinta dan bertanya-tanya kepada Tuhan kenapa Dia menganugerahkan cinta kepada manusia. Seperti menggenggam pisau, itulah yang kurasakan saat ini. Semakin erat menggenggam, samakin sering juga aku tertikam. Semakin aku bertahan, rasa sakit yang berdatangan semakin tak tertahankan dan semakin banyak juga darah yang bercucuran. Ya, tumpahan rasa sayang yang berujung pada kebodohan. Cinta yang saling berbalas dengan luka. Pelan-pelan, rasa cinta itu berubah laksana racun yang mengaliri seluruh aliran darahku, lalu menuntunku dalam pelukan kematian.

Aku bertemu gadis itu delapan bulan yang lalu pada sebuah acara penyambutan mahasiswa baru di kampusku. Kau tahu, aku ini salah satu pemuda yang tergolong culun. Pasti kau bertanya-tanya, kenapa aku disebut culun oleh semua temanku. Sebenarnya aku malu menceritakan ini, tapi apa daya, kau pasti sudah penasaran dengan ceritaku; seumur hidup aku belum pernah pacaran, bahkan aku belum pernah memegang tangan wanita (kecuali tangan ibuk-ibuk penjual nasi goreng samping  kampus sewaktu ia menyerahkan uang kembalian). Bapakku berprofesi sebagai Bupati di  kota C., sedangkan ibuku berprofesi sebagai guru agama. Bisa kau tebak, keluargaku adalah panutan bagi warga di daerahku. Golongan ningrat. Dan, bisa ditebak pula, orang tuaku selalu mendidikku dengan keras, sesuai dengan ajaran agama. Menurut mereka pacaran adalah satu satu hal yang  mendekati zinah dan karena itulah mereka melarangku untuk pacaran.

Tapi aku hanyalah pemuda biasa yang normal. Bukan seorang homoseksual. Sejujurnya hormon lelakiku selalu memuncak ketika melihat video porno. Air lirku menetes ketika melihat payudara yang menyembul dari dada kaum hawa. Hatiku berdegup dengan kencang ketika melihat gadis yang cantik. Dan hal yang paling tak bisa kuhindari adalah, aliran darahku yang berdesir dengan lembut ketika melihat wanita berkerudung, seolah-olah kepalaku baru saja diguyur dengan es cendol. Menentramkan hati. Menentramkan jiwa. Menentramkan fikiran. Bagiku, gadis berkerudung merupakan sosok istri idaman, pasangan hidup yang bisa menemani baik dunia maupun akherat. Pasangan yang bisa menjembataniku menuju kedamaian sejati—Tuhan. Dan, seperti itulah hal yang pertama kali kurasakan ketika melihat gadis kecil itu.

20 Juli 2014

Pertanyaan Untuk Tuhan

Aku bukanlah seorang penutur yang baik. Bagaimana tidak, SD saja aku tidak lulus, membaca huruf tak bisa, bahkan memegang laptop saja tanganku sudah gemeteran. Satu-satunya yang bisa dibanggakan dariku hanyalah berhasil membuat istriku hamil. Kau pasti bertanya-tanya, apakah aku membual? Aku benar-benar tak bisa menulis. Perihal aku bisa menceritakan kisahku ini, akan kau ketahui nanti.                          

Aku masih asyik menghisap beberapa batang rokok sambil mongalik-alik papan penggorengan. Sungguh hal yang memuakkan. Tapi apa daya, inilah pekerjaan yang harus kujalani sebagai penjual burjo; menatap papan penggorengan, lalu menunggu warung setiap hari. Andaikan bisa memilih, pasti aku akan memilih sebagai konglomerat dimana setiap hari bisa bercinta dengan istriku sepanjang waktu sampai lemes. Tidak seperti sekarang. Hampir setiap malam hari aku kesepian. Istriku berada jauh di Jawa Barat, sementara aku di Yogyakarta membanting tulang demi menghidupi keluarga. Jadi aku terbiasa meluapkan kesepianku dengan bercerita kepada pelanggan.                                                                
Kepulan asap masih melayang-layang di warung makan sederhana yang kupunya. Sayup-sayup kudengar jeritan orang-orang di sepanjang jalan depan warungku. Penggorengan yang ada didepanku bergetar dengan hebat. Mejaku sampai bergoleng, lalu tergeletak.

“Gempa! Gempa!” teriak orang-orang.                                                

8 Mei 2014

Menggambar Bidadari


Pemuda itu masih menghisap rokok, dan tangannya meliuk-liuk di atas tombol keyboard bagaikan seekor burung kecil yang menari di angkasa. Di dalam kamar yang menyerupai perpustakaan abal-abal itu, setiap hari ia melakukan pekerjaan yang sering dianggap tak berguna oleh semua teman kuliahnya—menulis. Di dalam kamar yang menyerupai perpustakaan abal-abal itu, setiap hari ia melakukan pekerjaan yang sering dianggap tak berguna oleh semua teman kuliahnya—membaca. Di dalam kamar yang menyerupai perpustakaan abal-abal itu, ia selalu bersimpu kepada Tuhan, berharap kelak suatu saat impiannya dapat terwujud. Di dalam kamar yang menyerupai perpustakaan abal-abal itu, ia hidup, bersama dengan puluhan buku, sebuah laptop biru, dan ratusan kata cacian yang dilontarkan oleh teman kuliahnya setiap hari—dasar tukang bolos, masa depan suram, tukang tidur, dan sebagainya—tertempel di dinding kamar.

Rokok. Rokok. Rokok. Kenapa harus rokok?  Kenapa tidak mengkonsumi baigon, obat panu,  atau racun tikus saja supaya ia cepat mampus? Toh semuanya mempunyai efek samping yang buruk kalau dihisap? Tak tahu. Ia tak tahu kenapa harus merokok. Mungkin baginya, rokok adalah sahabat sejati.  Kau tahu, rokok dapat mengurangi beban hidupmu, mengurangi rasa penat  akan pilu yang melanda hatimu, mengurangi rasa kekecewaan akan penderitaan kehidupan. Dan yang terpenting, rokok selalu bisa menemanimu baik suka maupun duka. Harus digaris bawahi bahwa sahabat sejati selalu menamanimu baik suka maupun duka.  Mungkin baginya rokok adalah sahabat sejati dan karena itu ia merokok.                                              

Untuk malam ini, ia kebingungan setengah mati ingin menulis apa. Diangkat tangan kanannya, lalu digaruk-garukkan di atas kepala guna mencari ide seperti seekor monyet. Ia tersenyum sebentar, lalu menunduk.  Tiba-tiba ia teringat akan kisah hidupnya yang sedikit aneh. Atau mungkin, terkesan tak masuk akal. Lalu, ia memutuskan kisah itu yang akan ia tulis.

15 Februari 2014

Tuhan, Negeri Bodoh, dan Tumpukan Abu.


Aku paling benci saat-saat seperti ini: dimana aku ingin membuat orang tertawa, dan diriku sendiri berkata bahwa aku lebih cengeng daripada seorang bayi berumur dua bulan. Malam ini aku memang menangis. Menangis secara secara harfiah, maksudnya. Mungkin mataku tetap terang benderang seperti lampu bohlam, tapi hatiku meraung kesakitan. 

Peristiwa ini bermula tadi pagi. Aku tahu, kau pasti bertanya-tanya kapan dan dimana peristiwa yang akan kuceritakan berlangsung. Sejujurnya aku tak bisa menjawab. Kau tau, di negeri yang akan kuceritakan, semua orang bertindak secara arogan. Bahkan kabarnya banyak sekali orang yang menuliskan cerita tentang keadaan negeri itu dimasukkan ke dalam penjara. Aku sendiri tak tahu kenapa mereka dimasukkan ke dalam penjara. Tapi kurasa, negeri itu sangat takut mengakui bahwa negeri mereka memang bodoh. Kau tak ingin aku dipenjara, bukan? Jadi ijinkan aku menyebutnya, Negeri Bodoh. Sekali lagi, ini cerita tentang Negeri Bodoh, sebuah negeri nan jauh di luar angkasa. Kurasa sekarang aku tak perlu takut menulis karena kejadian ini terjadi di Negeri Bodoh.    

Aku bangun dengan mata yang memerah seperti bola ping pong. Samar-samar hidungku mulai mencium bau yang tidak sedap. Aku tahu, kamarku memang selalu beraroma tak sedap. Tapi bau ini benar-benar aneh. Aku tidak pernah mencium bau seaneh ini sebelumnya. 

6 Februari 2014

DIAM BELUM TENTU EMAS


Mahasiswa yang hobinya bolos itu pasti kelak jadi orang yang sukses. Sukses lulus lama, maksudnya. Kadang gue sendiri bingung dengan nasib IPK gue yang memprihatinkan. Makin lama kuliah, IPK gue makin anjlok. IPK itu kayak hujan, bisanya turun terus, kagak bakal bisa naik.

Siang ini, gue baru aja ngisi KRS bareng temen-temen kuliah.  Akhirnya setelah liburan panjang, gue menginjakkan kaki juga di kampus. Sejujurnya gue sama sekali nggak kangen sama kuliah. Apalagi sama dosen Fisika yang kepalanya botak.  Satu-satunya yang gue kangen waktu kuliah hanyalah ngecengin mahasiswi.

Selama mengisi KRS, ada perbedaan paling mendasar antara mahasiswa ber-IPK jeblok sama mahasiswa ber-IPK tinggi. Kebanyakan mahasiswa yang IPK-nya nyaris cumlaud malah tertunduk. Sekali mereka uring-uringan mikir IPK mereka yang turun.

Mahasiswa ber-IPK jeblok? Mereka semua malah ketawa ngakak. Contohnya aja gue sama temen gue. Saat ini kita berdua menyandang gelar paling hina dalam dunia perkuliahan: calon mahasiswa abadi. Meskipun IPK kita berdua paling jongkok di kampus, tapi kita malah senyum-senyum sendiri waktu ngeliat IPK. Boro-boro mikirin IPK cum laude, bisa lulus aja udah keajaiban dunia.  Kadang waktu nulis nama dosen pengampu kita malah ngumpat-ngumpat sendiri sambil tertawa terkekeh-kekeh, “Ketemu pak ini lagi? Jancok! Udah botak, pelit ngasih nilai! hahaha”

17 Januari 2014

Tahun Baru dan Kebodohan

Semua orang pernah merayakan tahun baru, tapi nggak semua orang ‘memaknai’ apa  tahun baru itu sendiri. Nggak usah jauh-jauh, deh. Contohnya aja gue. Kadang gue ngerasa, ngapain harus mikirin tahun baru? Lha wong tahun baru aja nggak pernah mikirin gue.

Gue emang selalu beda dengan kawula muda pada umumnya. Disamping lebih keren, gue juga lebih aneh.  Malem tahun baru kemaren gue rayakan dengan membaca tumpukan buku yang mulai berbukit-bukit kayak dadanya Julia Peres. Sesekali nyari nyamuk make raket listrik. Ya, kadang gue sendiri mikir, kenapa malem tahun gue begitu garing?

Lebih dari dua jam membaca, mata gue pegel juga. Karena nggak ada tukang pijet mata, gue mencoba mengurangi efek pegal di mata dengan menonton TV. Sesaat kemudian gue tersadar, This is a bad idea!  Very bad idea!

Melihat TV pas acara malem tahun baru adalah siksaan terpedih dalam hidup gue setelah mendengar dosen fisika botak lagi berceramah. Semua acara TV nayangin adegan pesta kembang api. Mana kebanyakan yang liat itu para pasangan kekasih yang pegangan tangan dengan romantisnya. Nah, gue? malah pegangan raket listrik. Bukannya romantis malah kesetrum. Sial.

16 Januari 2014

BANGSA KALIAN MEMANG HEBAT!

                      

Pinto berusaha untuk menghitung tetesan air hujan yang turun dari langit, dan ternyata gagal.  Kecepatan hujan ditambah banyaknya tetesan air yang turun saat itu melebihi kecepatan otak Pinto untuk berhitung. Pinto yang notabene mahasiswa Matematika Universitas Tertutup merasa gagal.  Tiap hari mempelajari rumus yang membuat otak sampai berasap. Nah, ini? cuma menghitung rintik hujan saja tidak becus. Padahal, di sebuah bangsa yang bernama Indhonesiya, selebritis yang katanya sama sekali tidak tahu menahu dan tidak mau tahu- soal kodisi bangsanya saja bisa jadi  anggota DPR dengan bermodalkan popularitas. Yang lebih hebat, disamping menjadi anggota Dewan yang abal-abal, mereka juga masih bisa mengembangkan bakat terpendamnya. Korupsi.                                                                           
Ya, korupsi memang sedang populer banget di Indhonesiya, hampir semua orang berlomba-lomba melakukan hal keji ini. Tapi, menurut Pinto, para koruptor itu makhluk Tuhan yang paling hebat. Lha wong udah tahu kalau korupsi itu perbuatan yang dikutuk sama Tuhan, kalau mati masuk neraka, kan?  kurang hebat gimana, berani menantang kutukan Tuhan ketika di dunia. Yang lebih huebat, saat kebanyakan manusia berbuat baik demi masuk surga, para koruptor ini malah sengaja berbuat buruk supaya masuk neraka. Hueebat banget, to? Ada orang yang dengan sengaja pengen masuk neraka, kan katanya di neraka itu setiap saat disiksa, mana panasnya jutaan kali melebihi magma. Pinto tidak habis fikir, ” Kok ada ya, orang pengen disiksa, terus dimasukin tempat yang panas. Pinto aja baru kena putung rokok rasanya pengen pingsan. Kok, orang Indhonesiya itu huebat buanget, tho?”