Pemuda
itu masih menghisap rokok, dan tangannya meliuk-liuk di atas tombol keyboard
bagaikan seekor burung kecil yang menari di angkasa. Di dalam kamar yang
menyerupai perpustakaan abal-abal itu, setiap hari ia melakukan pekerjaan yang
sering dianggap tak berguna oleh semua teman kuliahnya—menulis. Di dalam kamar
yang menyerupai perpustakaan abal-abal itu, setiap hari ia melakukan pekerjaan
yang sering dianggap tak berguna oleh semua teman kuliahnya—membaca. Di dalam
kamar yang menyerupai perpustakaan abal-abal itu, ia selalu bersimpu kepada
Tuhan, berharap kelak suatu saat impiannya dapat terwujud. Di dalam kamar yang
menyerupai perpustakaan abal-abal itu, ia hidup, bersama dengan puluhan buku,
sebuah laptop biru, dan ratusan kata cacian yang dilontarkan oleh teman
kuliahnya setiap hari—dasar tukang bolos,
masa depan suram, tukang tidur, dan sebagainya—tertempel di dinding kamar.
Rokok.
Rokok. Rokok. Kenapa harus rokok? Kenapa
tidak mengkonsumi baigon, obat panu,
atau racun tikus saja supaya ia cepat mampus? Toh semuanya mempunyai
efek samping yang buruk kalau dihisap? Tak tahu. Ia tak tahu kenapa harus
merokok. Mungkin baginya, rokok adalah sahabat sejati. Kau tahu, rokok dapat mengurangi beban
hidupmu, mengurangi rasa penat akan pilu
yang melanda hatimu, mengurangi rasa kekecewaan akan penderitaan kehidupan. Dan
yang terpenting, rokok selalu bisa menemanimu baik suka maupun duka. Harus
digaris bawahi bahwa sahabat sejati selalu menamanimu baik suka maupun duka. Mungkin baginya rokok adalah sahabat sejati dan
karena itu ia merokok.
Untuk
malam ini, ia kebingungan setengah mati ingin menulis apa. Diangkat tangan
kanannya, lalu digaruk-garukkan di atas kepala guna mencari ide seperti seekor
monyet. Ia tersenyum sebentar, lalu menunduk.
Tiba-tiba ia teringat akan kisah hidupnya yang sedikit aneh. Atau
mungkin, terkesan tak masuk akal. Lalu, ia memutuskan kisah itu yang akan ia
tulis.
***
Matahari
memancarkan sinar yang panas, seolah-olah berusaha untuk membakar seluruh
permukaan bumi. Pemuda itu masih duduk termenung di kantin kampus. Ia hanya
mengenakan kaus oblong, celana jeans sobek-sobek, dan sebuah jam tangan.
Sungguh pemandangan yang ironi. Keadaannya menyerupai gelandangan yang tersesat
di area kampus. Padahal di sampingnya duduk seorang mahasiswi berkerudung yang berdandan
serba modis nan wangi.
“Bolos
kuliah lagi?” tanya mahasiswi itu.
Pemuda
itu mengangguk.
“Kuliah
amburadul, IPK jeblok, nggak pernah kuliah. Mbok ya mikir!” kata mahasiswi itu.
“Aku prihatin dengan masa depanmu.”
“Sama,”
kata pemuda itu. “Aku juga prihatin dengan kondisiku sendiri.”
“Mungkin
kau harus segera cari kekasih... biar ada yang ngurus,” kata mahasiswi itu lagi.
“Setiap manusia diciptakan untuk berpasangan. Kau tahu itu.”
Pemuda
itu mengangkat bahu. Cari kekasih? Ngurusi hidup sendiri aja belum becus, fikir
pemuda itu.
“Gimana
kalau kau kukenalkan dengan teman wanitaku?” tanya mahasiswi itu dengan
senyuman. “Aku udah tahu kriteriamu seperti apa. Kayaknya dia tipe kamuuu
banget!”
Pemuda
itu menanggapi ucapan temannya dengan dingin. Tetapi mahasiswa itu terus
bercerita tentang teman wanitanya seperti burung beo. Lebih dari setengah jam
ia bercerita tanpa henti—tentang bentuk fisik, sifat, bahkan apapun yang ia
ketahui tentang wanita itu. Dia sahabatku dan kurasa dia cocok denganmu, kata
mahasiswa itu kemudian.
Apakah
di dunia ini ada sebuah kebetulan? Rasanya tidak. Semua yang ada di bawah
kolong langit sudah digariskan oleh Tuhan. Mungkin ini kehendak dari Tuhan,
fikir pemuda itu. Sudah berbulan-bulan pemuda itu menutup pintu hati karena
ingin fokus berjuang meraih impiannya. Mungkin apa yang dikatakan teman
kuliahnya memang benar adanya. Sudah saatnya ia mencari tambatan hati demi
mengisi hatinya yang kosong melompong. Tak ada salahnya dicoba.
“Kapan
kau akan mempertemukanku dengannya?” tanya pemuda itu.
“Secepatnya,”
kata mahasiswi itu. “Kebetulan dia sedang melajang!”
Pemuda
itu tersenyum. Itu adalah percakapan dua bulan lalu bersama teman kuliahnya.
Dan mereka terus menerus mengulangi percakapan itu dua bulan penuh semenjak
pertemuan pertama dengan topik bahasan yang sama; seorang wanita yang
mengerupai bidadari.
Kau
tahu, kegemaran pemuda itu menulis, membuatnya dengan mudah mendreskripsikan
sesuatu. Ketika mahasiswi itu menceritakan wanita yang menyerupai bidadari,
entah itu fisiknya maupun kepribadiannya, bayangan akan bidadari itu terus
melayang-layang dalam batok kepalanya.
Hampir sebulan penuh setiap malam tiba, pemuda itu selalu membayangkan
bidadari. Dengan lancar, ia menggambar bidadari
lewat kata-kata. Bahkan ia selalu berandai-andai meraih tangan bidadari
itu, lalu mengajaknya menari dengan bintang-bintang. Tak ada yang tahu seperti
apa gambaran bidadari itu. Namun pemuda itu menggambarkan bidadari dengan
indah. Sangat indah.
Tapi
inilah kehidupan. Adakalanya harapan menerbangkanmu ke angkasa, lalu dengan
biadap kenyataan menghempaskanmu ke tanah. Setelah sebulan penuh meracuni pemua
itu akan keindahan sahabatnya yang menyerupai bidadari, mahasiswa itu
menunjukan gelagat yang aneh. Ia tak lagi bercerita tentang sahabatnya. Ia tak
lagi bercerita tentang bidadari. Semua kisah akan bidadari tak lagi
dituturkannya kepada pemuda itu. Seolah hilang ditelan waktu.
Pemuda
itu kecewa akan sikap temannya. Pemuda itu merasa bahwa fikirannya telah
diracuni oleh teman kuliahnya tentang bidadari, namun tak pernah memberi
penawar. Bidadari itu sudah terlanjur menggelayuti kepala pemuda itu. Gambaran
bidadari itu mendekam dalam otaknya. Terkadang ia merasa bahwa bidadari itu
hidup, tak hanya dalam kata-kata yang diketiknya, melainkan juga dalam relung
jiwanya.
Setiap
kali pemuda itu menanyakan kabar akan bidadari dan kapan akan mempertemukannya
dengan bidadari, mahasiswi itu selalu mengelak. Ia bertindak seperti orang
gagar otak, lupa akan bidadari yang pernah dijanjikannya pada pemuda itu. Ia
juga selalu berkelip dengan berbagai alasan—orangnya
lagi tidur, di sms nggak bales, lagi pulang kampung, lagi bad mood, dan
berbagai bualan lainnya. Apa susahnya keluar sebentar untuk makan malam
bersama lalu mempertemukanku dengan bidadari? Toh cuma beberapa jam saja cukup?
Tanya pemuda itu dalam hati. Ia menyadari dengan wajahnya tak tampan, dengan rambut sedikit keriting yang tampak
amburadul seperti pelari maraton dari Uganda, dengan kegemarannya mengurung
diri di kamar untuk menulis, dan dengan reputasi sering bolos kuliah, maka
tampaknya sangat muskil bidadari itu tertarik denganya. Tunggu dulu! Tertarik?
Itu pemikiran yang terlalu jauh. Ia hanya ingin melihat bidadari itu, bertemu
dengannya, bersalaman, bertutur sapa, lalu mengobrol untuk sekedar basa-basi.
Perihal bidadari itu suka, mual, atau malah muntah ketika melihat pemuda itu,
ia tak peduli. Ia hanya ingin melihat bidadari. Bidadari yang digambarnya
setiap malam lewat deretan tulisan.
Anjing,
anjing, anjiiing! Teriak pemuda itu dalam hati. Kenapa ia tak bisa melupakan
bidadari itu? Kenapa bidadari itu selalu menggelayuti fikirannya? Toh ia belum
pernah melihat bidadari itu secara langsung, bukan? Entah berapa detik. Entah
berapa jam. Entah berapa hari. Entahlah!
Pemuda itu terus saja menggambar bidadari. Menggambar!
Walau
kecewa, pemuda itu tak ingin memaksakan kehendaknya. Ia tak sampai hati terus
memaksa temannya untuk mempertemukannya dengan bidadari. Mungkin aku tak akan
pernah bertemu dengan bidadari itu, fikir pemuda itu. Ia tak ingin dianggap
gila karena selalu menggambar bidadari setiap malam. Mungkin ini saatnya ia berhenti
menggambar bidadari.
Dan
malam ini, tepat dua bulan setelah pertemuannya dengan teman kuliahnya, pemuda
itu duduk di dalam kamar yang menyerupai perpustakaan abal-abal. Ia meraih
pemantik api dan sebatang rokok, lalu dihisapnya dalam-dalam. Untuk malam ini
saja, ia ingin menggambar bidadari. Ia ingin menggambar bidadari selama
mungkin. Sebanyak mungkin. Menggangambar, menganggambar, dan menggambar
bidadari. Malam ini ia ingin menggambar bidadari sampai saraf-saraf yang ada di
otaknya kelelahan, dan sadar bahwa ia harus sesegera mungkin berhenti
menggambar bidadari.
***
Pemuda
itu terbangun ketika adzan ashar berkumandang. Rupanya semalaman ia menggambar
bidadari sampai pagi hari dan tertindur di atas laptop. Ia memang sering
menggunakan laptop sebagai bantal tidur karena kelelahan setelah menulis. Orang
seperti ia bisa membuat pabrik bantal bangkrut.
Dengan
tubuh yang gontai ia bangkit dan mengambil handuk. Lalu berjalan ke dalam kamar
mandi. Diguyurnya kepalanya dengan air segayung. Air dua gayung. Air tiga
gayung. Begitu seterusnya. Dan.... sial!
Bahkan air yang menerjang kepalanya masih tak mampu untuk melunturkan
gambaran bidadari.
Sungguh
hal yang tak masuk akal, fikir pemuda itu. Rasanya bayangan bidadari itu terus
melekat dalam otaknya. Terpatri dalam batok kepalanya.
Tapi
kehidupan memang harus seimbang. Ia menyadari itu. Boleh saja otaknya selalu
membayangkan bidadari, namun kehidupan harus terus berjalan. Lebih baik ia segera
menuntaskan mandinya, lalu pulang ke kampung halamannya.
Langit
diselubungi oleh awan tebal saat pemuda itu mengidupkan mesin motornya. Hujan
mengguyur dengan deras. Entah berapa juta tetesan air hujan yang turun dari
langit. Ah, siapa yang peduli dengan tetesan hujan? Masa bodoh. Ia hanya ingin
mengemudi dan pulang ke rumah.
Pemuda
itu terus mengendarai motornya. Dengan guyuran air hujan dari langit dan angin
lebat tak henti-henti berderu. Seperti mengendarai dalam kota yang mati, fikir
pemuda itu.
Kota demi
kota terlewati. Rumah-rumah penduduk yang mulai senggang, jalanan yang nyaris
lengang, deretan pohon-pohon tinggi menjulang dan cahaya matahari yang lenyap
oleh tumpukan awan tebal. Barangkali pemuda itu satu-satunya pengendara motor
yang nekat melawan takdir alam.
Hujan
semakin lebat. Langit semakin gelap. Pemuda itu terus menggeber motornya.
Kau
tahu, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh jua. Walau sudah
mempunyai Surat Ijin Mengemudi dan bertahun-tahun mengemudi, ia hanya manusia
biasa. Bukan dewa. Siapa yang bisa melawan takdir Tuhan?
Angin
berhembus dengan kencang ketika pemuda itu berusaha menghindari jalan yang
berlubang. Motornya oleng. Jalanan yang licin akibat lautan hujan membuat
pemuda itu hilang keseimbangan. Kaki kanannya berusaha menginjak rem, namum
terlambat.
Bedebam!
Motor pemuda itu jatuh dengan keras. Ia terpental sejauh satu meter dari motor,
dan tegeletak di pinggiran jalan raya.
Pemuda
itu terkapar. Ia menggelijang di tepi jalan bagaikan orang sekarat. Seluruh
pakainnya robek karena digoyak oleh aspal—sampai menembus ke kulit, dan darah
merah terus mengalir dari tubuhnya.
Dunia memang
aneh. Menemukan orang baik lebih susah daripada menemukan fosil dinosaurus.
Seluruh pengendara motor yang menyaksikan pemuda itu terkapar di pinggir jalan
hanya diam, seolah ia adalah seonggok sampah yang tak perlu ditolong. Mereka
semua hanya menggelengkan kepala, menoleh sebentar, dan berlalu.
Pemuda
itu masih terkapar di pinggir jalan dan darah yang bercucuran membuat jalanan disekitarnya
berwarna merah kehitaman. Ia berusaha bangkit, namun gagal. Mungkin seluruh
tulangnya sudah hancur. Ia hanya bisa
mengeram kesakitan bagaikan sapi yang
disembelih.
Pemuda
itu masih terkapar di pinggir jalan dan darah yang bercucuran membuat jalanan disekitarnya
berwarna merah kehitaman. Ia merasakan kesakitan yang temamat sangat. Kulit di
permukaan kakinya seolah mengelupas. Tangannya seolah diiris oleh pisau. Dan nafasnya
sesak seperti ada belati yang menikam paru-parunya.
Setelah
jam berlalu. Darah terus mengalir deras dari sekujur tubuhnya. Tetesan air
hujan yang bersentuhan dengan luka yang menganga membuat pemuda itu semakin
kesakitan. Ia berusaha untuk bangkit lagi, namun gagal. Yang hanya ia bisa
hanyalah menggerak-gerakkan tangannya ke udara. Berharap ada seorang manusia
yang terketuk hatinya untuk menolong pemuda itu.
Pemuda
itu masih terkapar di pinggir jalan dan darah yang bercucuran membuat jalanan disekitarnya
berwarna merah kehitaman. Ia lalu mendengar dentuman langkah kaki mendekatinya.
Digerakkan bola matanya ke atas. Ada seorang ibuk-ibuk paruh baya yang
mendekatinya.
“Astaghfirullah…,”
kata ibuk itu.
Ia
memperhatikan bahwa ibuk itu meneteskan air mata. Lalu, ibuk itu mengangkat
kepalanya dan ditaruhnya di atas tangannya. Dipangkuannya.
Saraf-safar
pemuda itu seolah mati, dan semua anggota tubuhnya sulit digerakkan.
Pengelihatannya mulai buyar, tapi telinganya masih bisa mendengar raungan ibuk
itu yang sedang berteriak histeris meminta tolong.
“Betahanlah,
Nak...” kata ibu itu. “Bertahanlah!"
Bertahan?
Pemuda itu hanyalah manusia biasa. Tubuhnya hanya terbuat dari tulang yang
dibalut oleh seonggok daging. Setiap manusia pasti akan hancur ketika tubuhnya
dihempaskan ke jalanan yang terbuat dari beton.
Ibuk
itu terus menjerit meminta tolong, dan pemuda itu terus mengeluarkan darah yang
bercucuran. Ia mengeram, lalu menggelijang. Satu per satu ruh dalam jiwa
tubuhnya seolah ditarik. Pertama kaki. Menjalar ke lutut. Lalu seluruh bagian
tubuhnya tak bisa digerakkan sedikitpun dan pengelihatannya kacau. Bayangan
ibuk itu kabur, namun ia masih dapat melihat
bahwa mulut ibuk itu terus
berteriak meminta tolong dan matanya terus mengucurkan air mata.
Pemuda
itu tersenyum. Ternyata di dunia ini
masih ada orang baik, fikir pemuda itu.
Dingin.
Hanya dingin yang pemuda itu rasakan. Seluruh tubuhnya gemetaran, seolah ditenggelamkan
dalam lautan es batu. Nafasnya semakin berat. Detak jantungnya melambat.
Pembuluh darahnya seperti pecah. Otaknya seperti dicukil dengan linggis.
Telinganya seperti menuli. Raut wajah ibuk itu mulai menghilang karena matanya
mulai membuta.
Pemuda
itu kelelahan. Nafasnya semakin terengah-engah. Darah terus keluar dari
tubuhnya dan tubuhnya melemas. Saraf-saraf otaknya seakan rontok satu
persatu, dan kepalanya mulai terasa sangat berat.
Kepalanya
semakin berat. Ia merasakan kantuk yang teramat sangat. Sungguh mati, pemuda
itu merasa kelelahan dan ingin beristirahat sebentar saja. Hanya sebentar.
Seluruh
rasa kesakitan yang menggerogoti tubuh pemuda itu menghilang ketika ia
memutuskan untuk beristirahat. Tubuhnya seperti terbang ke angkasa.
Lalu...
pemuda itu menghembuskan nafas panjang. Ia memenjamkan mata.
***
Betapa
terkejutnya pemuda itu ketika membuka mata. Ia seolah-olah dilempar oleh ruang
dan waktu menuju sebuah dunia yang indah. Dunia yang asing. Dunia yang damai.
Dunia yang belum pernah ia injak sebelumnya.
Ia
mendapati dirinya berdiri di sebuah hamparan ilalang. Digerakkannya tangan kiri menyentuh ilalang itu. Sungguh sangat
lebut, fikir pemuda itu. Ia lalu tersenyum, memperhatikan sekitar, dan berjalan
dengan tangan menyentuh ilalang. Sungguh
tempat yang indah, dan rasanya aku ingin tinggal selamanya disini, fikir pemuda
itu lagi.
Kepalanya
mendongak ke atas. Ia memperhatikan bahwa langit itu berwarna jingga, seperti
senja yang sering dikaguminya ketika matahari sore, namun sama sekali tak
menyilaukan. Taburan bintang bertebaran dengan warna putih pucat, seolah-olah
menjadi penghias langit itu. Dan angin berhembus dengan halus mengiringi
langkah kakinya. Menggerakkan ilalang berayun ke kanan dan ke kiri, menari,
seakan menyambut kedatangannya.
Pemuda
itu berjalan dengan latar warna jingga. Lalu, diusap-usap kedua matanya dengan
tangan. Ia sama sekali tak percaya apa yang dilihatnya. Tepat di depannya
berdiri seorang wanita. Aku pasti berhalusinasi, fikir pemuda itu.
Diusap-usapkannya lagi kedua mata dengan tanganya. Namun wanita itu tak
menghilang.
Wanita
itu menoleh dan berjalan menghampiri pemuda itu. Mata mereka saling bertatapan,
dan pemuda itu sedikit gelagapan melihat mata hitamnya yang menusuk ia dengan
tajam. Pemuda itu mencoba tersenyum. Lalu, wanita itu membalas senyumannya
dengan bibir tipis berwarna merah. Cahaya jingga membuat rambut hitamnya yang
bergelombang menyentuh punggung itu berkilau indah.
“Apa
yang kau lakukan disini?” tanya pemuda itu dengan ragu.
“Aku
menunggumu. Selalu menunggumu,” kata wanita itu. Ia tersenyum. “Ikutlah denganku?"
Pemuda
itu tercenung lama, seolah tak percaya apa yang dilihatnya. Lalu, pipi pemuda
itu memerah. Tak salah lagi, fikir pemuda itu. Wanita itu adalah bidadari yang
digambarnya setiap malam. Bidadari yang
mempunyai senyuman manis bagaikan padang luas penuh bunga yang bermekaran.
Bidadari yang mempunyai gaya berjalan anggun bagaikan tarian yang indah. Bidadari
yang suaranya begitu merdu seperti alunan harpa para malaikat.
“Kemana?”
tanya pemuda itu.
Tetapi
wanita itu sudah bergerak mendekat, menggam tanggannya, dan tersenyum. Lalu
mereka berdua bergerak menuju langit. Menari bersama bintang-bintang.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar