5 November 2015

Patkai

Beberapa bulan lalu, saya bertemu dengan  mahasiswa dari Malaysia yang konon mempunyai IPK nyaris sempurna dan mendapat beasiswa dari Pemerintah karena prestasi akademiknya. Teman-teman saya mengebutnya “Patkai” karena menurut mereka wajahnya menyerupai babi dalam serial Sun Go Kong. Dia mempunyai tubuh yang gemuk seperti celengan semar dan matanya dibalut kacamata tebal. Meskipun berat mengakui, dan tanpa ada rasa untuk mengejek sedikitpun, saya juga sependapat dengan mereka. Dia menyerupai babi (hal ini tidak diragukan, saya telah membuktikannya melalui metode ini: saya cari gambar babi di internet, lalu saya ingat-ingat wajah Patkai. Mirip. Seperti kakak beradik.)


Teman-teman sayalah yang mengenalkan sosok Patkai ini dan kemudian kami mengobrol. Terlepas dari wajah Patkai yang menyerupai babi, ia mempunyai intelektualitas yang tinggi dan pandai bersilat lidah; mulutnya terus merancau bagaikan seorang burung dan pengalamannya bagaikan kepakan sayap yang membentang tinggi di angkasa. Semua teman saya, mendengarkan celotehan Patkai dengan terbengong-bengong dan sebagian ada yang ngiler, seolah-olah mereka adalah balita yang baru saja disuguhi adegan porno.
Patkai, menurut cerita, ialah seorang bocah yang lahir dengan otak cerdas dan ketika SMP ia memenangkan juara Olimpiade Tingkat Provinsi, lalu melanjutkan sekolah ke SMA 70 Jakarta─SMA yang katanya paling maju di eranya dan melahirkan tokoh-tokoh besar. Ayahnya bekerja sebagai  perwakilan Kepala Bagian Pendidikan untuk Negara J dan ibunya seorang  pengacara. Masa SMA Patkai dipenuhi dengan kenakalan; ia pernah menusuk perut gurunya; menjadi pecandu ekstasi dan pengedar narkoba; namun jeratan hukum selalu ditepisnya dengan jurus ajaib yang bernama menyogok polisi.

13 Oktober 2015

Sedot WC

Ketika merasa penat, saya akan menghisap sebatang rokok dan menghidupkan mesin motor, kemudian berkeliling kota Jogja dengan membawa tumpukan beban hidup di batok kepala; seolah-olah sayalah manusia paling menderita di muka bumi ini. Di jalan malioboro, saya disapa oleh lampu kuning yang menggantung di sepanjang jalan serta ratusan orang membawa senyuman, dan kendaraan bermotor mulai bertebaran sehingga mengakibatkan kemacetan. Tiba-tiba, nampak wanita muda dengan rambut hitam panjang yang tergerai berjalan dan mata saya seolah tersihir olehnya; ia memili paras yang cantik; tubuhnya yang kuning langsat dibungkus kemeja panjang dan celana jeans ketat sehingga lekuk tubuhnya yang sempurna itu terlihat memikat; lalu saya menyadari bahwa hormon lelaki saya mulai bekerja. Celana saya terasa sedit ketat.

Kemudian, saya perhatikan terus wanita muda itu dan tangan kanan saya mengucek-ngucek mata. Apakah ini nyata? Tanya saya dalam hati. Mungkin saya berada di surga karena kabarnya, ketika di surga, kita akan mendapatkan apapun yang kita minta. Saya cubit paha saya dengan keras. Sakit. Ini bukan surga.

2 Agustus 2015

Saya Tidak Ingin Megap-Megap Sendirian

Selain mengunjungi situs porno, membaca berita adalah hal yang paling membahagiakan ketika berselancar di dunia maya. Banyak sekali berita yang menayangkan penahanan koruptor, pemenjaraan pengedar sabu, skandal artis, maling yang dibakar massa karena mencopet,  dan berbagai hal tragis lainnya. Biasanya, setelah membaca berita, saya akan menarik nafas panjang dan bergumam, “syukurlah, ternyata saya bukanlah satu-satunya spesies di muka bumi ini yang mengalami penderitaan.”

Malam ini, nafas saya dibuat megap-megap oleh berita dan berjam-jam kemudian berita itu terus menggerus hati nurani saya. Rasanya, akan sangat disayangkan jika berita itu tidak saya bagikan.

Dan, satu-satunya alasan membagikan berita ini adalah, saya tidak ingin megap-megap sendirian.[]

2 Maret 2015

Ngeng, Ngeng, Ngeeeng!


Satu tahun setelah meraih gelar sarjana pendidikan, pria itu memutuskan untuk menikah dengan kekasihnya semasa kuliah. Dan sekarang, ia memiliki seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Mereka hidup di rumah kecil yang terbuat dari bambu kepang yang menyerupai kandang sapi. Hanya ada peralatan memasak di bagian belakang rumah, dua buang kamar tanpa kasur dan sebuah meja kerja di ruang tamu.

Andai saja aku menjadi kaya, fikir pria itu, mungkin aku akan bisa membahagiakan keluarga kecilku.

Profesinya sebagai guru honorer di sebuah sekolah swasta hanya mampu untuk membeli beras. Padahal, anaknya sudah harus menginjak bangku taman kanak-kanak. Belum lagi ia ingin membelikan istrinya cincin pernikahan (cincin pernikahan mereka sudah dijual untuk bertahan hidup dua bulan lalu). Pria itu masih saja mematung di teras rumah dan fikirannya menerawang jauh di langit yang gelap pekat, kemudian terperosok dalam lautan kenangan. Semua teman-temannya semasa dulu, yang sudah hidup mapan, selalu menghindar ketika dimintai tolong. Sanak saudara memandangnya sebelah mata karena sehari-hari ia berkerja dengan mengendarai sepeda onthel. Tetangganya di kampung mencaci karena gelar sarjananya hanya menghasilkan kata melarat. Kadang ia merasa menjadi suami yang bodoh. Seorang suami yang tak mampu membuat keluarganya hidup berkecukupan sehingga tiap hari harus makan dengan nasi garam.

31 Desember 2014

Tamparan



Sebelum kau bertanya, “Kenapa cerita ini berjudul tamparan?” manusia lebih dahulu diperbudak oleh uang.

Gadis itu bernama Lastri. Dia berkerudung, dan juga cantik. Beruntunglah Lastri ini, dia dilahirkan di keluarga yang mampu dan jauh dari kata melarat─golongan pejabat. Orang-orang menyebutnya anak kesayangan karena semenjak bayi dia tak pernah mengenal mencuci baju, setrika, memasak, apalagi macul di sawah. Boro-boro mencocok tanam, menginjakkan kaki di genangan air saja membuat Lastri risih.

Pernah suatu ketika, dia menginjak genangan air ketika berjalan di sepanjang jalan Malioboro bersama seorang pemuda. Dan saat itu juga, dia langsung menjerit, “Ihh.. jorok banget!” Seperti orang yang kebakaran jenggot, Lastri langsung berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan kakinya yang kotor.

“Ihh.. jorok banget!”
                                               
                                                       ***    
                                                                         
Bagaimana mungkin ada orang yang berkata kalau Indonesia adalah bangsa yang kere? Lihat saja tempat parkir kampus itu. Sudah penuh sesak oleh ratusan motor dan Lastri kebingungan setengah mati mencari lahan kosong guna memarkir motornya. Dia terpaksa berkeliling, kesana-kemari, tengok kanan-tengok kiri demi memarkirkan motornya.           

Dan ketika dia mulai turun dari motor, di kejauhan seorang gadis terlihat berteriak memanggili namanya; tanggannya dilambai-lambaikan dan dia berjalan mendekat.