Ada kalanya dalam
hidup, kau akan muak dengan rasa cinta dan bertanya-tanya kepada Tuhan kenapa
Dia menganugerahkan cinta kepada manusia. Seperti menggenggam pisau, itulah yang kurasakan saat ini. Semakin erat
menggenggam, samakin sering juga aku tertikam. Semakin aku bertahan, rasa sakit
yang berdatangan semakin tak tertahankan dan semakin banyak juga darah yang bercucuran. Ya, tumpahan rasa
sayang yang berujung pada kebodohan. Cinta yang saling berbalas dengan luka. Pelan-pelan, rasa cinta itu berubah
laksana racun yang mengaliri seluruh aliran darahku, lalu menuntunku dalam pelukan kematian.
Aku bertemu gadis itu delapan bulan yang lalu pada sebuah acara penyambutan mahasiswa baru di kampusku. Kau tahu, aku ini salah satu
pemuda yang tergolong culun. Pasti kau bertanya-tanya, kenapa aku disebut culun
oleh semua temanku. Sebenarnya aku malu menceritakan ini, tapi apa daya, kau
pasti sudah penasaran dengan ceritaku; seumur hidup aku belum pernah pacaran,
bahkan aku belum pernah memegang tangan wanita (kecuali tangan ibuk-ibuk
penjual nasi goreng samping kampus
sewaktu ia menyerahkan uang kembalian). Bapakku berprofesi sebagai Bupati di kota C., sedangkan ibuku berprofesi sebagai
guru agama. Bisa kau tebak, keluargaku adalah panutan bagi warga di daerahku.
Golongan ningrat. Dan, bisa ditebak pula, orang tuaku selalu mendidikku dengan
keras, sesuai dengan ajaran agama. Menurut mereka pacaran adalah satu satu hal
yang mendekati zinah dan karena itulah
mereka melarangku untuk pacaran.
Tapi aku hanyalah pemuda biasa yang normal. Bukan
seorang homoseksual. Sejujurnya hormon lelakiku selalu memuncak ketika melihat
video porno. Air lirku menetes ketika melihat payudara yang menyembul dari dada
kaum hawa. Hatiku berdegup dengan kencang ketika melihat gadis yang cantik. Dan
hal yang paling tak bisa kuhindari adalah, aliran darahku yang berdesir dengan
lembut ketika melihat wanita berkerudung, seolah-olah kepalaku baru saja
diguyur dengan es cendol. Menentramkan hati. Menentramkan jiwa. Menentramkan
fikiran. Bagiku, gadis berkerudung merupakan sosok istri idaman, pasangan hidup
yang bisa menemani baik dunia maupun akherat. Pasangan yang bisa menjembataniku
menuju kedamaian sejati—Tuhan. Dan, seperti itulah hal yang pertama kali
kurasakan ketika melihat gadis kecil itu.
Gadis itu masih duduk dengan anggun di depan sebuah
mushola, di sebuah kursi yang terbuat dari plastik. Disampingnya duduk seorang
gadis lain—teman sekelasku. Mereka berdua tampak asyik mengobrol. Entah apa
yang mereka bicarakan. Aku tak bisa mendengar suara mereka. Jarang berprasangka
buruk dulu kalau aku ini budek. Aku tidak bisa mendengar mereka karena jarak
kami berjauhan. Sekitar seratus meter.
Seperti orang
tolol, aku berdiri seorang diri di samping pohon kelapa sembari melihat mereka
tanpa berkedip. Sesekali menggaruk-garukan tangan kananku ke kepala. Aku lalu
melihat ke atas. Matahari menyilaukan dan panas terasa sangat terik,
seolah-olah berusaha membakar tubuhku. Lalu, aku mencuri pandangan kepada gadis
kecil itu, dan menunduk. Kupandangi terus dadaku. Sungguh mati, ini sungguh tak
masuk akal. Dadaku terasa sejuk.
Aku melihat gadis kecil itu lagi. Dan hal yang tak
masuk akal terjadi untuk kedua kalinya. Denting waktu seakan berhenti. Semesta seolah
berhenti berputar. Semua pandangan menghilang, dan hanya gadis itu seorang yang
nampak. Tiba-tiba seperti muncul semilir angin yang halus menerjang wajah gadis
itu, yang dibalut oleh kerudung warna merah, berhembus dengan lembutnya. Mirip
adegan yang sering kutonton di film-film.
“Ilermu netes!” teriak seorang pemuda di sebelahku, dia
menepuk pundakku dengan keras.
“Astaghfirullah!”
kataku, kaget. “Kau ini, merusak kesenangan orang saja! Enyah sana.”
“Ada masalah apa, Dab?
Aku perhatikan ,daritadi kowe melamun terus,” kata pemuda itu dalam bahasa Jawa.
“Banyak utang?”
“Nganu…” Aku berkata dengan lirih. Perlahan, jari
telunjukku aku arahkan kepada gadis kecil itu. “Kau tahu siapa dia?”
Pemuda itu tertawa keras dan menepuk lututnya.
“Owalah, itu toh,”
kata pemuda itu. “Namanya Melati. Satu
jurusan sama kita. Cuma beda kelas. Kau rupanya naksir sama dia?”
Aku menepuk keras kepalaku dengan tangan kanan. Sungguh
culun benar aku ini. Sama teman satu jurusan saja sampai tak tahu. Barangkali
ini karena aku terlalu sibuk belajar dan menjejali otakku dengan ilmu
pengetahuan. Sampai-sampai tak ada ruang untuk tempat singgah wanita.
“Kau sepertinya sudah gila,” kata pemuda itu.
“Kelakuanmu mirip monyet yang kelaparan.”
“Aku hanya penasaran dengan gadis itu,” kataku.
“ Ta’ kenalin
piye?”
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Aku cukup
melihatnya dari sini.”
Pemuda itu menggelengkan kepala. Dia menepuk pundakku
sekali lagi. “Sesal datang di akhir, Dab,” dan dia berjalan menjauh.
Sesal datang di akhir? Aku bertanya dalam hati. Mataku
kuarahkan lagi kepada gadis kecil itu. Mungkin apa yang dikatakan pemuda itu bisa
jadi benar adanya. Kesempatan hanya datang sekali dalam hidup dan aku tak ingin
menyesal melewatkan kesempatan ini.
Belum tentu juga aku bisa melihat Melati lagi. Ini kesempatan emas dua
puluh empat karat untuk mengajak kenalan.
Tapi…, tapi…, kenapa hati ini rasanya memberat seperti ditindih berat
ratusan ton? Padahal hanya kenalan saja. Tinggal jalan mendekat, melontarkan
senyum, lalu menjabat tangan. Tapi.., tapi.., bagaimana kalau aku diacuhkan?
Bagaimana kalau dia risih karena melihat wajahku yang mirip Benyamin?
Satu detik.
Dua detik.
Satu menit.
Dua menit.
Lima menit.
Aku masih saja mematung. Mataku terus memperhatikan
gadis kecil itu dan sialnya hatiku semakin membeku. Dasar pengecut, umpatku
dalam hati. Sampai kapan aku harus diam? Sampai kapan mau menutup hati? Mau jadi
bujang lapuk? Hah? Bukannya di depanku sudah ada seorang gadis kecil yang
cantiknya menyerupai seorang permaisuri dalam cerita dongeng-dongeng? Uh, aku
tak bisa seperti ini terus. Tak bisa. Semasa bodoh gadis kecil itu ingin
mengacuhkan, ingin meludah, atau malah ingin muntah ketika melihat aku.
Kuberanikan diri melangkahkan kaki mendekatinya. Kedua
kakiku aku paksa untuk berjalan meskipun terasa mau patah seperti onderdil
mesin yang kurang oli. Di dalam hati kupanjatkan nama Tuhan terus-menerus demi
mengurangi rasa grogi ini. Yah, sebentar lagi aku akan menemuinya—kurang dari
sepuluh meter lagi. Dan…
“Ahmad!” panggil teman sekelasku. Dia melambaikan
tangan. Disampingnya duduk Melati, yang juga tersenyum.
“O—ya,” kataku. “Namaku memang Ahmad.”
Mereka berdua tertawa cekikikan. Apanya yang lucu?
“Kesini, Ahmad,” kata teman kelasku lagi,”ikut duduk
bareng.”
Aku mengangguk. Lalu berjalan terhuyung-huyung,
menghampiri sebuah kursi yang terbuat dari plastik. Aku duduk di sebelah teman
sekelasku, yang juga duduk di kursi plastik. Tepat di depanku, duduk seorang gadis
kecil—Melati.
Ya Allah, sekarang gadis kecil itu duduk di depanku;
berkulit putih, halus, berwajah Jawa. Dan mata itu, mata itu berkilauan seperti
komet Halley—sangat menyilaukan dan membawa jiwaku terbang sangat tinggi, tingi
sekali, seolah-olah terbang ke kahyangan; dan bibir merahnya tersenyum indah bagaikan
bunga-bunga yang sedang bermekaran—membuat imanku hancur seketika. Gusti…
sungguh mati, ia benar-benar indah—wanita paling indah yang pernah kutemui seumur
hidupku.
“Mau kemana kau, Ahmad?” tanya teman sekelasku, membuka
percakapan.
“Sekedar jalan-jalan. Cari Angin.” Aku bohong. Aku bukan
cari angin. Tapi cari jodoh.
“Kukira ada pekerjaaan baru—mengurusi para mahasiswa
baru,” katanya lagi. “Oya, aku sampai lupa.” Dia menunjuk gadis kecil yang
sedari tadi duduk termenung. “Perkenalkan, dia temanku.”
Aku mengulurkan tangan kananku dengan perlahan. Gadis
itu juga mengulurkan tangannya. Tangan kami bersentuhan. Dan.. kuberi tahu kau:
tanggannya sungguh lembut!
“Ahmad,” kataku.
“Melati,” sahutnya, pelan.
“Senang berkenalan denganmu, Melati.”
Ia hanya tersenyum kecil.
Aku balik tersenyum. Dengan tangan masih bersalaman,
aku perhatikan sekilas sosok gadis yang terlah menyihirku ini; ia memakai
bawahan jeans belel berwarna hitam, dan kemeja berwarna pink membalut tubuh
putih langsat—lekuk tubuh yang indah, seperti membentuk gitar spanyol. Untung
saja aku tidak sampai ngiler.
Mataku kugerakkan ke atas menatap matanya. Sekarang
mata kami saling bertatapan. Sial! Kenapa mata itu begitu indah? Sial, sial,
sial. Rasanya ingin sekali kutatap mata itu selamanya. Aku jadi kikuk begini. Sepertinya tubuhku
mematung. Degup jantungku memompa cepat,
hampir meledak. Seluruh tubuhku dialiri oleh darah panas. Dan jiwaku seakan
menyerah. Pasrah. Bertekuk lutut di hadapan gadis ini. Kenapa lelaki begitu
lemah dihadapan para wanita?
“Ehem,” teman sekelasku berdehem. Dia kemudian tertawa.
Tangan kami lalu saling menarik. Tanganku lalu
menggaruk kepala, seperti seekor kera yang salah tingkah. Aku melirik ke arah
Melati. Ia lalu tersenyum kecil, dan menunduk. Apakah Melati merasakan apa yang
aku rasakan? Apakah hatinya berdegub dengan kencang pula ketika ia menatap
mataku? Aku bertanya dalam hati. Entahlah. Hati manusia tak pernah bisa
ditebak.
Keadaan berubah: tiga orang saling membisu. Saling
sibuk dengan pedalamannya sendiri. Situasi menjadi canggung.
“Melati ini, dia teman satu angkatan kita, Ahmad,” kata
teman sekelasku dan tersenyum. “Hanya beda kelas.”
Aku mengangguk dan tersenyum. Sial, kenapa dia
seola-olah bisa membaca isi hatiku?
“Kenapa kau jadi pendiam, Ahmad?” tanya teman sekelasku
menyelidik. “Padahal, waktu di kampus, kau begitu cerewet seperti burung Beo.
Ha-ha.”
“Tidak setiap hari aku berkenalan dengan wanita
cantik,” jawabku.
Teman sekelasku tertawa. Melati tak urung
menyembungikan suara tawanya yang kecil—setidaknya keadaan ini membuatku lebih
nyaman. Aku mulai bisa menguasai medan, dan mengembalikan kepercayaan diriku
yang ambruk.
Aku bertanya kepada Melati darimana ia berasal.
Kemudian ia menjawab berasal dari kota M. Aku bertanya lagi, ia indekos atau
mengontrak dan ia menjawab, indekos di daerah kampus. Semua mengalir seperti
air, tanpa pernah aku rencanakan. Kami saling melontarkan pertanyaan dan
mengobrol—sekitar satu jam.
Sampai akhirnya, teman sekelasku dan Melati meminta
diri untuk meninggalkanku. Mereka berdua harus segera sampai ke gedung
pertemuan dan mengurusi para mahasiswa baru. Aku mengangguk.
Melati berdiri dari tempat duduk, melirikku sebentar
untuk tersenyum, dan mulai berjalan membelakangiku. Ia berajalan dengan anggun
seperti putri domas dalam acara mantenan dalam adat Jawa. Mataku tak bisa lepas
darinya, seolah ada tali yang mengikat dan terhubung dengan Melati dan berusaha
menarikku dengan kuat.
Dengan modal nekat, aku berdiri dari kursi. Aku hirup
udara dalam-dalam, lalu kuhempaskan lewat mulut.
“Melati!” teriakku. Aku berlari. Ia menoleh ke belakang,
berjalan ke arahku.
“Ada apa, Ahmad?”
“Kamu bawa obeng?”
“Tidak, Ahmad. Buat apa bawa obeng?”
“Oh,” kataku. Lalu aku menatap Melati. “Tapi kalau
nomer telefon bawa, kan?”
Melati tersipu. Pipinya memerah. Ia mengambil secarik
kertas dalam tas dan menuliskan deretan angka. Tangannya menyodorkan kertas itu
sambil tertunduk, dengan pipi yang masih memerah.
Aku tersenyum, dan terus menerus tersenyum ketika
mengingat peristiwa ini. (Mungkin sampai matipun aku tak akan pernah melupakan
pertemuan ini). Sungguh pertemuan pertama yang indah, bukan? Ingin rasanya
percakapanku aku tulis, lalu kuceritakan kepada seluruh dunia betapa indahnya
perjuampaan pertamaku dengan Melati.
Orang pertama yang kuceritai adalah Piter—aku tidak
menggunakan nama yang sebenarnya. Satu minggu setelah acara penerimaan
mahasiswa baru, aku mendatangi kamar kosnya. Uh, kamar kosnya benar-benar mirip
kapal pecah. Tumpukan buku bertebaran di lantai. Dinding kamarnya penuh dengan
tempelan kata-kata umpatan yang dilontarkan teman kuliahnya, dan diabadikan
lewat tulisan. Bendera merah putih berkibar di langit-langit. Lengkap dengan
gambar Soekarno dan Chairil Anwar terpajang di pojokan kamar—kabarnya dia
menyukai dua tokoh ini.
“Kamarmu sungguh indah,” kataku.
“Oh, ada kau,” katanya. Dia membalikkan badan kepadaku.
Diletakkannya buku tebal yang sedari tadi dibacanya. Dan tangannya masih saja
memegang sebatang rokok.
“Kelihatannya kau sedang sibuk,” kataku. “Mungkin
sebentar lagi, kamarmu akan berubah jadi Gua.”
“Ah, tidak,” katanya. “Maklum, aku malas membersihkan
kamar.”
Kuceritakan sedikit tentang Piter: dia adalah pemuda
asal Purwodadi, Jawa Tengah. Datang ke kota ini, untuk kuliah (pernyataan ini
masih kuragukan kebenarannya). Ketika siang hari seperti ini, tak perlu menjadi
dukun pun, sudah bisa kutebak kalau dia lebih sering mendekam di dalam kamar,
membaca, bermain laptop, dan tentunya merokok. Dan ketika malam hari, dia
sering sekali mengobrol dengan sahabatnya di warung kopi dan berbagi
fikirannya—tentang kehidupan, impian, kemanusiaan dan nasionalisme. Yah, anak
ini memang aneh.
“Kenapa kau cengengesan terus?” tanya Piter.
“Kesurupan?”
“Waktu aku jadi panitia penerimaan mahasiswa baru,”
kataku, “aku bertemu dengan seorang gadis…”
Lalu aku menceritakan pertemuanku dengan Melati. Piter,
mendengarkan ceritaku dengan antusias. Ini yang aku suka dari dia: dia takkan
pernah memotong pembicaraan orang lain sebelum mereka selesai bercerita.
“Sungguh tak kusangka, Ahmad, ternyata kau bukan bukan
pecinta sesama jenis,” kata Piter, setelah aku selesai bercerita. Dia tertawa
terbahak-bahak.
“Sialan!” umpatku.
“Tapi harus kuakui, itu pertemuan pertama yang indah,”
katanya lagi. “Bolehkah kelak, aku menuliskan ceritamu itu?”
“Ceritaku? Untuk apa?”
“Siapa tahu ada yang membacanya dan bermanfaat.
Kalaupun tak ada, paling tidak aku sudah bahagia bisa menuliskan ceritamu. Mungkin
juga aku bisa belajar.”
“Apa yang bisa kau pelajari dari pertemuan dua insan
manusia?”
Piter menyulut rokok, entah untuk keberapa kalinya. Dia
lalu tersenyum.
“Belajar tidak hanya kita dapat dari bangku sekolah,”
kata Piter dengan takzim. “Semesta amatlah luas, dan ruang kelas hanyalah butir
debu dihadapannya. Apa jadinya kalau kita hanya mengandalkan bangku sekolah? Kau
tahu, Tuhan menciptakan sesuatu bukan tanpa alasan. Barangkali semua yang ada
di muka bumi ini dapat kita jadikan acuan untuk belajar.”
Apa kubilang. Piter ini bawel sekali. Dia keranjingan
jika berbicara tentang kehidupan.
“Contohnya?” tanyaku, menantangnya. Biar dia tahu rasa.
Piter memutar-mutarkan kepalanya ke seluruh penjuru
kamar. Ditunjuknya dinding kamar itu dengan tangan kanan.
“Kau lihat mereka?” dia menunjuk segerombolan semut
yang berjalan di dinding. “Kita bahkan dapat belajar dari mereka sekalipun.”
“Bisa kau jelaskan?”
“Semut itu makluk yang tidak berakal. Tidak mempunyai
budi pekerti. Tidak pernah belajar tentang moral dan norma. Tapi kau lihatlah
mereka. Mereka bergotong-royong ketika hendak mengangkut makanan, saling
membantu, lalu berbaris secara runtut,” dia terdiam sejenak untuk menghela
nafas. “Kau tahu manusia? Ya, kau pasti tahu. Mereka dikaruniai akal oleh
Tuhan. Dikaruniai moral. Dikaruniai budi pekerti. Tapi kau lihat kelakuan
mereka? Saling membunuh demi kedudukan, bertengkar demi makanan, saling
mengkhianati demi kesenangan pribadi. Mungkin mereka harus belajar dari semut
sekalipun.”
Aku terdiam. Harus kuakui kalau dia memang hebat.
Nyaliku menciut. Tak kusangka mahasiswa yang lebih sering duduk di bangku
warung kopi ketimbang bangku kuliahan, bisa berbicara seperti itu. Bahkan
seumur hidup aku mengenyam bangku pendidikan, tak pernah seorang pun guru
mengajarkan kalau kita bisa belajar dari seekor semut.
Piter terus berbicara tentang kehidupan. Dan aku
mendengarkan, lalu menyanggahnya. Dua jam sudah kami berdiskusi dan saling
melontarkan isi kepala lewat mulut. Berdebat dengan dia memang tak ada
habisnya. Lebih baik aku menghindar saja. Otakku sudah terlalu pening untuk
berfikir.
“Bagaimana menurutmu kalau aku dengan Melati?” tanyaku.
“Aku akan bahagia kalau kaupun bahagia,” katanya.
“Kau memang teman terbaikku,” kataku. “Rencananya aku
akan menjadikan dia kekasih. Pendamping hidup. Kau tahu, Piter, dia wanita
terindah yang pernah kutemui. Tak hanya kecantikannya, melainkan juga
kepribadiannya. Dia berkerudung, rajin mengaji, dan tak pernah meninggalkan
shalat lima waktu. Tidak terpengaruh pergaulan anak muda zaman sekarang. Sangat
polos.”
“Baguslah kalau kau sudah menemukan wanita idamanmu.
Hanya saja…”
“Hanya saja apa? Katakanlah, Piter.”
Piter terdiam sejenak. Dia menghidap rokoknya dalam-dalam,
lalu menepuk pundakku.
“Kau ini sahabatku,” katanya, “aku tak ingin terjadi
apa-apa padamu.”
“Maksudmu?”
“Jangan pernah menilai orang lain sebelum kau benar-benar
mengenalnya.”
“Jadi... kau meragukan Melati?”
“Bukan, bukan itu maksudku. Zaman sudah berubah, Kawan.
Semua orang berusaha menutupi dirinya dengan selimut kemunafikan. Menutupi jati
diri mereka yang sebenarnya. Aku hanya tak ingin kau terlalu cepat menyimpulkan
sesuatu—tentang Melati.”
“Jaga mulutmu! Melati gadis yang baik!”
“Maaf. Maafkan aku, Ahmad, sejujurnya aku hanya tak
ingin…”
“PERSETAN!”
Anak ini sungguh keterlaluan. Mulutnya mungkin tak
pernah disekolahkan. Dasar tidak berpendidikan!
Aku menengok ke arah Piter. Raut wajahnya berubah,
seolah ada penyesalan yang mendalam. Lalu tanpa berpamitan, aku melangkahkan kaki
meninggalkan kamar Piter. Meninggalkan dia dengan fikrannya…
***
Hubunganku dengan Melati semakin dekat, seperti dua kutub
magnet yang berlainan ketika dipertemukan. Bahkan boleh dibilang, aku tak
sampai hati melewatkan sedetikpun waktu tanpa Melati. Pada bulan pertama ia
selalu menelfonku sebelum tidur, membangunkanku waktu pagi, dan juga selalu
mengingatkanku ketika jam makan tiba.
Pada bulan kedua hubungan kami semakin terjalin dengan
erat. Pagi hari sekali ia kujemput untuk berangkat ke kampus bersama. Siang
harinya ia menemaniku makan. Sore hari ia mengajakku lari sore. Malam hari pun
ia bersamaku untuk makan malam atau sekedar jalan-jalan.
Lain halnya dengan Piter. Aku memang sengaja menjauh.
Orang seperti dia memang pantas dijauhi. Dia membikin pernyataan yang
dibikin-bikin dan serampangan, seolah-olah aku belum mengenal Melati. Aku
yakin, Piter hanya iri hati karena aku telah menemukan pujaan hatiku. Iri karena
melihat temannya ini sudah bisa menggandeng wanita dan dia sendiri hanya bisa
menggandeng buku. Hanya buku! Malang benar nasibmu, Piter!
Ingin sekali rasanya aku berteriak di depan Piter: Kau
salah, Piter! Melati adalah wanita paling sempurna di seluruh dunia. Tidak
sepertimu, pembual besar yang mempunyai impian selangit!
Kehidupanku memang jauh lebih baik semenjak ada Melati.
Tak hanya urusan dunia. Tapi juga soal agama. Contohnya saja siang ini. Ia
sudah setia menungguku dengan kerudung berwarna ungu—yang membuatnya semakin
cantik, berdiri di depan musholla
kampus. Aku berjalan mendekat dan ia tersenyum. Kemudian kami berdua berjalan ke tempat wudhu, lalu beribadah
secara berjamaah. Aku menjadi imam dan ia menjadi makmum. Uh, Melati sungguh
wanita idamanku. Setelah beribadahpun ia tak lupa membaca ayat-ayat suci.
Telakadku jadi semakin bulat untuk menjadikannya kekasih.
“Nanti malam kamu ada acara?” tanyaku, ketika ia keluar
dari mushola.
“Sepertinya tidak,” kata Melati. “Kenapa Ahmad?”
“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Ada sesuatu yang
ingin aku ungkapkan kepadamu.”
Melati mengangguk. Itu artinya, ia menerima ajakanku.
Lalu aku melirik arlojiku. Masih beberapa jam lagi menjelang malam. Padahal aku
sudah tak sabar ingin menembaknya. Sampai rasanya aku ingin mengganti baterai
arlojiku dengan aki motor supaya jarumnya muter lebih cepat.
Tak perlu kaget kenapa aku bergitu mendamba Melati. Kau
tahu, ialah wanita yang aku nantikan seumur hidupku. Wanita yang paling
mengerti aku. Wanita berbudi luhur. Wanita sholehah. Wanita penyebar. Dan yang
terpenting, ialah wanita yang menerima keadaanku apa adanya meskipun stuktur tubuhku
menyerupai tapir.
Jalan Malioboro ketika malam memang sangat indah. Aku
berjalan bergandengan dengan Melati. Di samping kanan dan kiri toko pakaian
berjejer dengan rapi. Para musisi yang memainkan musik tradisionil juga tak
kalah hebohnya menarik perhatian, lengkap dengan seorang bencong yang berjoget
dan meniru goyangan vulgar para biduan dangdut.
Aku menghentikan langkahku waktu sampai di benteng
Vandenburg. Tangan Melati aku genggam lebih erat, menatapnya, lalu ia kutarik
masuk. Benteng itu terlihat besar dan kokoh dengan sorotan lampu berwarna
kuning—ciri khas kota ini. Kabarnya, bangunan ini warisan dari Belanda.
Di sebuah ruangan—menyerupai sebuah penjara dan di
dinding tembok terdapat bermacam-macam lukisan— kami duduk berdua dengan posisi
saling berhadapan. Rasanya ini tempat yang tepat, fikirku. Dan lagi, suasana
memang sepi. Uh, seolah-olah semesta memberiku kesempatan untuk berdua dengan Melati.
Hanya berdua.
Kemudian aku kembali menggenggam tangan kanan Melati.
Kutatap matanya dalam-dalam, dan ia tersenyum.
“Aku mencintaimu, Melati,” kataku.
“Benarkah?” tanya Melati. Ia tersenyum.
“Sungguh, aku mencintaimu,” kataku lagi. “Aku ingin
menjadikanmu pendamping hidupku.”
Melati menatapku dan lagi-lagi hanya tersenyum. Ia kelihatan tiga kali lebih cantik.
Pelan-pelan, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya Melati. Pelan-pelan, aku
mengecup bibir Melati. Pelan-pelan, ia membalas kecupanku dan nafas kami saling
memburu. Semua terjadi pelan-pelan, mengalir seperti air.
“Itu adalah ciuman pertamaku,” kataku.
“Aku juga,” katanya. “Ini ciuman pertamaku, Ahmad.
Pertama.”
Aku tersenyum dan terus menerus tersenyum
berminggu-minggu kemudian. Setiap malam aku tak bisa tidur dibuatnya. Selalu
terbanyang oleh Melati. Bahkan dalam tidur, aku bermimpi tentangnya.
Lima bulan sudah semenjak pertemuanku dengan Melati.
Semua terasa indah. Sampai akhirnya peristiwa itu terjadi. Entah ada angin apa,
aku bertingkah seperti orang kerasukan.
Pada suatu malam, aku baru saja selesai makan malam
bersama Melati. Kebetulan malam itu adalah malam minggu, malam dimana anak muda
bersua dengan kekasihnya. Kami berdua kebingungan setengah mati mau kemana
lagi. Hampir semua obyek wisata di kota ini sudah kami jelajahi.
Tiba-tiba saja aku terikat akan flashdisc—alat
penyimpan data zaman modern. Di dalam alat kecil itu, terdapat sebuah film yang
aku download dari warung internet beberapa hari yang lalu. Lalu aku mengambil
inisiatif untuk mengajak Melati nonton film itu di kamar kosku. (Sebetulnya aku
ingin sekali mengajaknya ke bioskop, tapi dengan pertimbangan keuanganku yang
menipis seperti seorang pengemis, niat itu aku urungkan).
Sebuah kamar kos kecil yang berantakan menyambut kami
berdua. Ukuran 3x4 meter. Kaos kotor menumpuk di pojokan kamar dan lembaran
tugas kuliah bertebaran di lantai. Lampu kecil di atas atap yang berwarna putih
seolah-olah memperkuat argumen betapa kacaunya keadaan kamarku.
Melati memperhatikan sekitar dan menggeleng. Nampaknya
ia sedikit risih dengan keadaan kamarku. Ia mengajakku untuk membersihkan
kamar. Kita membersihkan kamar dulu, baru nonton film, katanya kemudian.
Setengah jam kami membersihkan kamar dan keadaan
kamarku berubah, sangat bersih dan rapi. Melati menatapku dan mengangkat jempol.
Aih, sepertinya ia memang calon istri idaman. Aku lalu menghidupkan laptop dan
memutar film.
Film mulai menyala. Kami bedua melihat dengan serius. Film
ini mengambil latar di Eropa pada zaman dahulu dimana Archilies, yang menjadi
tokoh utama dalam film ini, dengan gagahnya memimpin pasukan Yunani untuk
menaklukan Roma. Ditengah pertempuran, sang tokoh utama ini bertemu seorang
gadis suci—pemuja para Dewa. Gadis suci ini ditawan oleh anak buah Archilies
karena ingin memberontak dan Archilies menyelamatkannya. Diajaknya gadis itu di
tenda pribadinya, lalu dirawatnya. Awalnya gadis itu ingin membunuh Archilies
dan diletakkan pisaunya di leher sang tokoh utama. Sang tokoh utama terbangun,
lalu berkata, “Apa yang kau tunggu? Bunuhlah aku!” Sang gadis suci hanya
terdiam. Ditariknya gadis suci itu di pangkuannya, dikecupnya, dan mereka
berdua bersetubuh dengan mesranya.
Aku melirik Melati. Ia melihat adegan itu dengan wajah
yang melongo. Digigitnya bibir merahnya. Lalu ia menggeleng dan tersenyum.
Seolah-olah
diberi perintah langsung oleh setan, fikiranku mendadak kacau dan adegan
setubuh itu terus menggelayuti fikiranku. Imajinasiku melayang. Dan tanpa tersadar,
otakku berontak dan membayangkan adegan tadi terjadi kepadaku dan Melati. Maka
dengan nekat setelah menonton film, aku berbicara secara ngelantur—seakan-akan
mulutku berbicara sendiri.
“Melati,” panggilku lirih.
“Iya, Ahmad,” sahutnya.
“Kamu masih inget adegan film tadi?” tanyaku. “Kamu
ingin mempraktekkannya?”
“Hus! Kita masih mahasiswa, Ahmad.”
“Memangnya kenapa? Toh sebentar lagi kita lulus kuliah
dan aku berjanji akan mempersuntingmu.”
“Jangan, Ahmad. Jangan…”
Sungguh usaha yang sia-sia, fikirku. Telingaku menuli.
Fikiranku gelap, diselubungi oleh hawa nafsu. Seluruh tubuhku memanas,
seolah-olah darahku mendidih. Aku bertingkah seperti orang kesetanan.
Pelan tapi penuh nafsu, aku mendekati Melati. Ia hanya
memejamkan mata. Lalu kukecup bibirnya dengan lembut. Tanganku mulai menyusuri
setiap lekuk tubuhnya. Tangan Melati menyilang, ia berusaha untuk melindungi
diri. Tapi aku semakin beringas. Aku terus mengecup bibirnya dan menggerayangi
sekujur tubuhnya.
Aku mendorong tubuhnya ke dinding. Lalu kucumbui dia.
Melati mulai menggelijang, dan membalas kecupanku. Tubuh kami saling
bergelayutan. Pelan-pelan, aku melepas kancing bajuku dan Melati melakukan hal
yang sama.
Detik kemudian, kami berdua telah telanjang bulat.
Malam itu aku kehilangan keperjakaanku….
***
Sekarang aku
semester empat. Dua tahun lagi lulus kuliah. Tiga tahun lagi mendapat
perkerjaan. Empat tahun lagi bisa bikin rumah lalu nikah dengan Melati. Tapi
sebelum itu, aku harus kuliah dulu.
Pagi ini, aku berangkat ke kampus kesayangan bersama
gadis kesayangan. Kami berjalan di pelataran kampus dengan tangan saling
bergandengan. Aku menengok ke kiri untuk menatap Melati. Ya Tuhan, ia benar-benar
indah. Tak pernah aku bermimpi mendapatkan bidadari, walaupun wajahku mirip
orang utan. Seolah-olah aku mengulang cerita dongeng Beauty and The Beast.
“Melati sayangku,” panggilku pelan.
Ia menoleh, lalu tersenyum.
“Iya, sayang?”
“Taukah kau satu hal, Melati?”
“Apa, Ahmad?
“Kamu adalah wanita terindah yang pernah kutemui dan aku
bahagia memilikimu. Sangat bahagia.”
Melati tersenyum kembali. Ia menyandarkan kepalanya di
pundakku sambil menggelendot. Lalu kami berdua berjalan beriringan melewati
pelataran kampus.
Selanjutnya, aku sudah berada dalam kelas. Bangku duduk
sudah mulai penuh oleh para mahasiswa. Kebetulan aku mendapati bangku paling
depan. Persis di depan dosen yang kepalanya mulai menggundul.
Disaat dosen mulai mengoceh tentang materi perkuliahan,
fikiranku justru melayang. Papan tulis yang ada di depan kelas, tiba-tiba
memunculkan gambaran wajah Melati. Aku kembali memikirkan Melati. Terhitung
sejak pertama bertemu, sudah tujuh bulan lebih aku mengenal ia. Dan hampir
semua yang aku punyai di dunia sudah aku berikan kepadanya—perhatian, kasih
sayang, materi, bahkan kesucianku.
Untuk merayakan hubunganku dengan Melati yang hampir
genap tujuh bulan itu, rencananya aku ingin sekali mengajak ia melancong ke
Pantai. Dengan pertimbangan, semua
tempat yang ada di kota ini sudah aku jelajahi bersama Melati.
Dua minggu kemudian, aku merealisasikan rencanaku itu.
Melati menyambut ajakanku dengan sukacita.
Kami berdua naik motor, berboncengan menuju pantai Drini, di daerah
Gunung Kidul.
Hamparan pasir putih bertebaran di sepanjang pesisir
pantai. Ombak bergulung-gulung tiada henti, meyebabkan suara derunya saling
bersahut-sahutan. Angin bersemilir dengan lembut, menerjang wajah kami berdua
yang sudah berdiri di tepian laut dengan tangan saling bergandengan. Dan
matahari sudah mulai turun, membuat cahaya di langit berwara jingga. Senja.
Sungguh pemandangan yang sangat indah.
Melati lalu melepas genggamanku. Ia berlari membelakangiku,
menoleh sebetar, kemudian menjulurkan lidah. Ia terlihat sangat menggoda.
“Tangkap aku, sayang!” teriaknya.
Aku mengayunkan kakiku ke depan. Ia berlari. Aku
mengejar. Ia berlari. Aku mengejar. Kami berdua berkejar-kejaran di pinggiran
pantai seperti dua orang anak kecil. Polos. Tanpa beban. Seolah-olah tiada
pernah ada kata beban dalam kehidupan.
Entah tebakanku betul apa tidak, Melati seolah-olah
memelankan larinya. Ia kemudian menengok kebelakang. Aku mempercepat langkahku
dan menangkapnya. Dan kami berdua berpelukan.
“Kamu lihat itu?” aku menunjuk sebuah tebing yang berdiri
dengan kokoh. “Lihat, kan?”
“Lihat, lihat,” kata Melati.
“Mau kesana? Sepertinya indah sekali menikmati matahari
tenggelam disana. Hanya berdua. Kamu dan aku.”
“Aku takut, Ahmad. Aku takut.”
“Jangan takut. Nanti naiknya aku bantu.”
Melati tersenyum. Kami berdua lalu berjalan, mendaki ke
atas tebing dengan hati-hati. Kondisi tebing yang sedikit curam, membuat
perjalanan sedikit menakutkan. Butuh waktu lama untuk sampai ke atas.
Selanjutnya kami berdua sudah duduk di atas tebing,
yang lumayan luas. Kami duduk bagian tepi tebing. Tepat di bawah kami terhampar
samudera yang terhampar amat luas. Dan di depan kami, matahari mulai turun
perlahan.
“Pemandangannya indah, ya?” kata Melati.
“Masih ada yang lebih indah, Melati,” kataku.
“Apa coba?”
“Gadis berkerudung yang sekarang duduk di sampingku.
Kamu.”
Melati tertunduk sejenak. Pipinya memerah seperti
irisan semangka.
“Benarkah itu?” kata Melati.
Aku mengangguk. “Kamu adalah wanita paling indah di
seluruh dunia. Kamu wanita paling baik. Kamu wanita yang taat beragama. Kamu
wanita yang suka mengaji. Kamu wanita yang penyabar. Kamu wanita yang polos.
Kamu.. kamu… wanita paling sempurna di dunia, Melati.”
Melati memalingkan wajahnya dariku dan menunduk.
Kulihat matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku tidak sebaik yang kamu kira, Ahmad,” kata Melati.
“Maksud kamu?”
“Ada beberapa hal yang belum kamu ketahui. Sebenarnya...”
Melati tak meneruskan kalimatnya. Ia tiba-tiba membisu.
Diam seribu bahasa.
“Sebenarnya apa, Melati?” tanyaku.
“Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kuceritakan
padamu,” kata Melati, “tapi aku masih menunggu waktu yang tepat.”
“Kenapa harus menunggu? Bukankah sekarang aku ada di
depanmu?”
“Jangan sekarang, Ahmad. Jangan.”
“Ceritakan sekarang, Melati.”
Melati membisu. Seolah-olah mulutnya ditikam oleh
pisau. Ia lalu menghela nafas panjang setelah menunggu waktu lama.
“Baiklah, Ahmad. Aku akan bercerita,” kata Melati.
“Tapi aku minta sebuah permintaan?”
“Apa?” tanyaku.
“Setelah aku cerita, jangan marah ya?”
“Ya.”
Melati menggeser posisi duduknya mendekatiku. Ia
menggenggam tangan kiriku dengan erat.
“Ahmad,” kata Melati. “Selama aku hidup, kamulah pria
paling baik yang pernah aku kenal. ”
Aku mengangkat bahu.
“Aku mencintaimu, Ahmad. Demi Tuhan!” kata Melati.
“Masih ingatkah kamu waktu kita pertama kali bertemu? Waktu itu aku sedang duduk
berdua dengan teman sekelasmu. Lalu, tiba-tiba saja kamu muncul. Kamu muncul
dengan gaya yang aneh, salah tingkah, nada bicaramu sedikit belepotan seperti
orang gugup. Kamu mengulurkan tanganmu yang sedikit gemetaran itu. Aku
menyambutnya. Kemudian kamu menyebutkan namamu.
Awalnya aku ragu denganmu, Ahmad. Perbincangan pertama
kita kacau. Kamu sering bertingkah dengan aneh. Tapi kemudian kamu bisa mengembalikan
semuanya. Kamu menanyakan dari mana asalku, dan aku indekos dimana. Sedikit
demi sedikit, aku mulai menyadari ada yang berbeda dengan dirimu. Berbeda! Apalagi,
waktu aku pamit dan mengejarku, kemudian kamu bertanya apakah aku bawa obeng.
Aku jawab tidak. Lalu kamu membalas, kalau nomer hape bawa, kan? Aku tak pernah lupa percakapan itu, Ahmad.
Itu pertemuan yang sangat indah. Semenjak saat itu aku selalu memikirkanmu dan
mencari tahu siapa kamu yang sebenarnya.
Lewat teman sekelasmu itu, aku mencari tahu siapa kamu
yang sebenarnya. Dan, dari situ aku tahu kalau kamu orang yang baik. Selalu
rajin berangkat kuliah. Tidak pernah meninggalkan shalat. Ramah dengan orang
lain. Semenjak saat itu pula, aku berdoa kepada Tuhan supaya kamu menguhubungiku.
Tiga hari kemudian doaku terkabul, Ahmad. Kamu
mengirimiku sebuah pesan singkat bertuliskan, Hallo, Melati. Ini ahmad. Cuma mau
mastiin aja kalau nomer yang kamu berikan masih aktif. Tahukah kamu,
Ahmad? Aku senang bukan kepalang ketika mendapat SMS darimu. Semalaman penuh
aku pandangi terus kalimat itu dan tersenyum. Bahkan aku sampai loncat-loncat
kegirangan. Itu semua karena kamu, Ahmad. Karena kamu!
Hubungan kita kemudian berlanjut, semakin lebih dekat.
Setiap hari kita beradu pesan singkat. Kemudian kamu mulai berani mengajakku
berangkat bareng ke kempus dan makan malam bareng. Malahan kamu mengajakku
sholat berjamaah berjamah, dimana aku menjadi makmum dan aku menjadi imam. Dan
seiring berjalannya waktu, aku tak bisa memungkiri kalau aku mulai
menyayangimu. Ketika malam hari aku selalu berharap waktu berputar lebih cepat,
supaya bisa bertemu denganmu. Rasanya aku tak bisa hidup tanpamu, Ahmad! Aku
mencintaimu! Benar-benar mencintaimu!
Sampai akhirnya kamu mengajakku ke Benteng Vandenburg,
lalu kamu menyatakan perasaanmu. Aku bahagia setengah mati. Tapi disisi lain
aku merasa berdosa sama kamu, Ahmad. Setiap hari aku selalu diselimuti rasa
bersalah. Sampai saat ini aku belum berkata jujur kepadamu…”
Melati menghentikan ceritanya. Ia menangis
tersedu-sedu.
“Berkata apa, Melati?”
“Aku mendustaimu, Ahmad! Aku seorang pendusta,” kata
Melati. “Waktu kamu mengecup bibirku untuk kali pertama, aku berkata kalau
itulah ciuman pertamaku. Padahal...”
“Padahal apa?!”
“Padahal aku sudah pernah berciuman, Ahmad. Kamu bukan
orang pertama yang mengecup bibirku. Itu bukan ciuman pertamaku.”
Gleg!
Jantungku seperti digorok dengan pisau. Darahku
mendidih. Kepalaku mulai terasa panas. Aku cemburu buta. Kenapa ia setega ini
membohongiku? Tujuh bulan! Bayangkan, tujuh bulan, bukan waktu yang singkat. Setiap malam aku
selalu membayangkan betapa indahnya mendapat ciuman pertama dari Melati, dan ia
juga baru kali pertama berciuman. Padahal aku sudah memberikan semuanya kepadanya. Semuanya. Kenapa ia setega
ini? Anjing! Anjing! Anjing!
“Pasti kau bohong! Pasti kau bohong!” teriakku. “Jawab
aku, Melati! Akulah orang pertama yang menciummu! Jawab aku!”
Melati terdiam. Ia terus menangis tiada henti.
“Kau tahu, aku sudah memberikan semuanya kepadamu,”
kataku, “bahkan kesucianku”.
“Maafkan aku, Ahmad. Aku hanya tak ingin kehilanganmu.”
“Lalu… soal hubungan intim kita. Jangan-jangan kamu
sudah pernah melakukannya dengan orang lain?”
Melati mengangguk lemas.
“ANJING!”
“Dengarkan penjelasanku dulu, Ahmad,” kata Melati.
“Persetan!”
Melati memeluk tubuhku. Tapi aku menghindar. Rasanya jijik melihat ia.
“Aku dipaksa oleh mantanku, Ahmad,” kata Melati. “Ia
mengerayangi tubuhku, lalu aku dipaksa. Aku dipaksa, Ahmad! Demi Tuhan, aku tak
pernah merencakan ini semua. Kalaupun waktu bisa diputar, pasti aku akan
memberi kesucianku kepadamu, Ahmad. Bukan dengan Bajingan itu!”
“Omong Kosong!”
“Aku sama sekali tidak bermaksud menyatikimu, Ahmad.
Tolong dengarkan penjelasanku dulu. Semenjak peristiwa itu, aku bertaubat.
Setiap hari aku berdoa supaya diberi hidayah oleh Tuhan. Maka dari itulah aku
berkerudung, sholat lima waktu, rajin membaca kitab suci. Aku juga berdoa
kepada Tuhan supaya dikirimkan seorang lelaki yang baik, berbudi luhur, bisa
menjadi imam bagiku. Dan kamulah orangnya, Ahmad. Kamu adalah jawaban dari
semua doaku…”
Aku terdiam. Kututup telingaku. Sungguh muak aku
mendengarkannya. Jiwaku seperti orang sekarat.
Tanpa tersadar, pipiku sudah berlumuran air mata.
***
Rasanya tak ada artinya aku hidup lagi di dunia ini.
Semua yang aku punya di dunia ini telah kuberikan kepada Melati, dan semua itu
pula seolah-olah tak berarti. Setiap detik aku membayangkan tubuh Melati
digerayangi oleh orang lain, lalu dicumbuinya, disetubuhinya oleh orang lain!
Orang lain! Dan aku, hanya menerima bekas. Hanya bekas! Kesuciannya sudah
direnggut. Apalah artinya wanita jika sudah hilang keperawanannya? Tak beda
jauh dengan seekor binatang yang menjajakan tubuhnya untuk semua orang.
Menjijikkan.
Seminggu penuh sejak pengakuan hina dari Melati,
hidupku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku lebih sering mengurung diri
di dalam kamar, merokok, dan mulai mengkonsumsi minuman beralkohol. Tubuhku
mengurus karena jarang makan. Aku juga jarang berangkat kuliah. Ujian Akhir
Semester pun aku jalani tanpa belajar dan hasilnya sangat mengecewakan.
Hubungan sosialku rusak karena semenjak menjalin
hubungan dengan Melati, aku tak pernah bergaul dengan siapapun. Aku bingung mau
cerita dengan siapa. Semua orang seperti menjauhiku dan aku tak berani
bercerita kepada siapapun—termasuk Piter. Aku merasa bersalah dengan dia. Andai
saja aku dulu mendengarkan Piter pasti..., anjing. Sesal memang datang di
akhir.
Besoknya kuputuskan untuk pulang ke kota C. Mungkin aku
perlu memberi waktu kepada jiwaku dan fikiranku untuk rehat sejenak, pulang ke
rumah, dan melupakan masalahku sejenak pula, dan bersua dengan ibuku.
Aku sampai di Kota C. ketika adzan magrib berkumandang.
Ibuku menyambutku dengan wajah penuh haru di depan rumah. Sepertinya beliau
kangen karena sudah tiga bulan aku tak pulang ke rumah.
Aku memarkirkan motor di garasi. Lalu berjalan
mendekati Ibu. Kucium tangannya.
“Maafkan aku, Ibu,” kataku.
“Kenapa, Nak?” tanya ibuku. Ia tampaknya bingung dengan
perubahan sikapku.
“Tak ada apa-apa,” kataku menenangkan ibuku.
Kemudian aku melangkahkan kakiku dengan gontai menuju
kamar. Aku menghempaskan badanku di atas kasur dan menatap langit-langit rumah.
Tiba-tiba fikiranku kembali teringat kepada Melati. Ya Allah, kenapa semua ini
harus terjadi? Kenapa gadis yang pertama kali kukira bisa menuntunku untuk
dekat denganmu, justru membuatku jauh kepadaMu? Menjauhimu, Tuhan! MengkhianatiMu
dengan perilakuku yang tak jauh beda dengan binatang. Kenapa Kau
mempertemukanku dengan ia, Tuhan? Kenapa?!
Sampai jam makan malam, aku masih terus terdiam dan
memasang wajah aneh. Ibu sepertinya menyadari keadaanku yang sungguh berbeda. Beliau
menatapku dengan wajah keheranan, lalu menggeleng. Kemudian setelah selesai
makan siang, beliau mengajakku untuk mengobrol di teras rumah.
Di sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu, aku
dan Ibu duduk berdua. Seperti patung, aku hanya bisa membisu. Mataku
kulemparkan jauh ke angkasa. Gelap. Tanpa bintang. Tanpa cahaya. Seperti
hidupku sekarang, sekarat, tak pernah tahu hendak dibawa kemana.
Udara malam menghantam tubuhku dengan lembut, membuat
hatiku semakin membeku. Jalanan depan rumahku, juga lengang. Hanya ada deretan
perabot rumah yang dipajang di teras rumah, seolah-olah memperhatikan dua insan
manusia yang saling membeku.
“Apa yang sedang terjadi, Nak?” tanya ibuku. “Kau terlihat beda sekali hari
ini.”
“Aku lelah, Ibu,” kataku. “Perjalanan dari Kota Y.
menuju Kota C. kan lumayan jauh.”
“Bohong!” katanya kemudian. Keningnya menyergit. “Aku
ini ibumu, Nak. Dalam darahmu mengalir darahku. Kau pasti sedang dalam
masalah?”
Aku terdiam.
“Masalah cinta?” tanya Ibuku.
Aku terdiam lagi.
“Sudahlah, Nak, jangan terlalu kau fikirkan masalah
cinta,” kata Ibuku. “Kau ini masih muda, masa depanmu masih panjang. Kejarlah
dulu impianmu. Kelak kalau kau sudah jadi orang, wanita akan menghampirimu
dengan sendirinya.”
Aku terdiam lagi. Bisa apa aku untuk menjawabnya?
“Ya, kau hanya diam. Pasti tebakan ibumu ini benar.
Soal cinta. Masalah anak muda,” kata Ibuku. “Kau ini sudah besar, sudah bisa
memikirkan sesuatu yang baik dan buruk. Tapi sudikah kau mendengarkan nasihat
ibumu ini?”
“Injih, Ibu,” kataku dalam bahasa Jawa. “Ahmad hanya capek,
Bu. Saestu (sungguh).”
“Jangan kau bohongi ibumu ini terus-terusan, Nak. Dari
matamu ibu bisa membaca perasaanmu. Kau tahu, Nak, mata tak pernah bisa berbohong,” kata Ibu. “Bolehlah saja kau
memikirkan cinta, tapi ibu harap, janganlah kau jadikan cinta penghambat bagimu
untuk maju.”
Ibu mengela nafas sejenak. Lalu menggelengkan
kepalanya.
“Zaman memang berubah, Nak,” kata ibu, “tidak seperti
zaman ibu dulu. Budaya barat sudah menguasai bangsa kita, sampai-sampai kita
melupakan jati diri kita yang sebenarnya—bangsa yang berbudi pekerti luhur dan
berakhlak mulia. Anak muda zaman sekarang
sudah lupa daratan. Lebih sibuk memikirkan pacaran ketimbang masa depan. Mereka
sudah terpengaruh dengan budaya Eropa yang tak beradap. Janganlah kau tiru
mereka, Nak. Jangan. Kita ini orang jawa yang berbudi luhur. Kita ini penganut
ajaran agama Islam. Janganlah kau lupa akan budaya dan agama kita. Ibu hanya
mengingatkan, Nak. Ibu hanya tak ingin kau terjebak dengan racun yang sengaja disebarkan
oleh budaya barat, dan bertingkah seperti binatang. Apalagi seks bebas. Ibu
percaya kau tak akan melakukan itu. Hanya saja, sudah selayaknya tugasku
sebagai ibu untuk memperingatkan anaknya agar tak terpengaruh budaya timur.
Sekali lagi, ibu hanya ingin mengingatkan supaya kau tak terjerumus dengan
pergaulan bebas. Maaf kalau ibu banyak sekali berbicara dan kadang cerewet.
Dimana-mana ibu memang begini: mengingatkan anaknya. Kau tahu kenapa semua ibu
cerewet? Karena anak itu amanah, Nak. Aku hanya ingin menjaga amanah itu dengan
sebaik-baiknya. Karena itulah dulu, waktu kau SMA, aku melarangmu untuk
berpacaran. Selain juga gelar bapakmu sebagai Bupati, yang harus bisa memberi
contoh bagi masyarakat. Tapi sekarang kau sudah besar, yah? Ibu tahu, kau sudah
bisa menentukan hal yang baik dan buruk. Ibu sayang kamu, Nak. Anakku sekarang
memang sudah besar.”
Telingaku seperti ditusuk dengan linggis. Jantungku
seperti dibakar dengan minyak tanah. Kepalaku menunduk. Semua rasa bersalah menggerogoti
aliran darahku.
Anakmu sudah durhaka, Ibu. Anakmu sekarang tak jauh
beda dengan binatang. Aku mengkhianati kepercayaanmu. Maafkan aku, Ibu. Anakmu
sudah menodai amanahmu. Aku sudah hina, Ibu. Aku sudah melakukan zinah. Aku
sudah melanggar ketentuan agama. Anakmu ini, yang selalu kau gadang-gadang, tak
lebih baik dari seorang pendosa ibu. Pendosa!
Rasa berdosa terus mengambang, seperti mendung, lalu
menjelma petir, menusuk-nusuk sukmaku. Aku kembali menunduk. Air mataku tak henti-hentinya
menetes. Dan…
“Kenapa kau menangis, Nak?” tanya ibuku.
“Maafkan aku, Ibu,” kataku. “Maafkan anakmu.”
“Apa yang terjadi, Nak? Apa yang terjadi?”
Aku memeluk ibuku. Beliau kelihatan bingung.
“Besok aku akan kembali lagi ke kota.Y., Ibu.”
“Kenapa secepat itu?” tanyanya.
“Aku harus menyelesaikan sebuah urusan, Ibu.”
“Selesaikanlah, Nak. Ibu tak akan melarangmu. Pesan ibu,
jagalah diri baik-baik.”
Aku berlali ke dalam kamar. Mataku berkeliaran mencari
tas, lalu mulai berkemas. Waktu fajar menyinsing, aku mengendarai motor menuju
Kota.Y.
Benar pesan ibuku, aku tak boleh larut akan cinta. Aku
sudah memutuskan: akan mengakhiri hubunganku dengan Melati. Kalau aku fikirkan,
tak ada guna juga aku mempertahan hubunganku. Semua yang telah kuberikan hanya
dibalas dusta: sekali orang berdusta, maka sering-seringlah orang itu berdusta
pula. Gadis berkerudung itu hanya membuatku menjadi pendosa. Runtuh sudah
segala kekagumanku dari dirinya. Aku jijik. Sungguh mati, aku jijik. Ya Allah,
tak kukira gadis yang berkerudung itu… Ya Allah.
Siang harinya
aku sampai pula di kota. Y. Aku harus segera menemui Melati dan memutuskannya.
Sudah seminggu aku tak membalas pesan singkatnya. Aku benar-benar muak dengan segala
dustanya. Muak!
Sebuah raungan menyambutku ketika sampai di depan kamar
Melati. Pintunya tidak dikunci dan aku membukanya. Kulihat Melati tidak memakai
berkerudung. Rambutnya kusut seperti baju lusuh yang belum disetrika. Matanya
membengkak. Air mata terus mengalir dari bola matanya. Tubuhnya mengurus,
tulang-tulang di tubuhnya terlihat. Suara raungan terdengar lirih dari mulut
Melati.
“Ahmad!” seru Melati. “Maafkan aku, Ahmad. Seminggu sudah kamu menghilang. Aku
menghubungi nomor telefonmu, tapi tak bisa.”
“Ya,” jawabku pelan.
“Kau masih marah denganku karena pengakuanku kemarin?”
“Sudahlah. Aku tak ingin membahas itu,” kataku. “Aku
hanya ingin membahas tentang hubungan kita.”
“Hubungan kita?”
“Aku ingin mengakhiri hubungan kita.”
Tangis Melati semakin menjadi-jadi. Ia bangkit dari
duduknya, lalu memeluk tubuhku dengan erat.
“Aku mencintaimu, Ahmad!” teriak Melati.
Aku mengangkat bahu.
“Kau benar-benar ingin mengakhiri hubungan kita?”
“Ya.”
Aku mendorong
tubuh melati sampai terjatuh. Lalu memalingkat muka darinya. Tanpa berpamitan
aku berjalan membelakangi Melati. Dan ketika aku menengok ke belakang lagi,
Melati sudah memegang sebuah botol Baygon—obat pembunuh nyamuk.
Anak ini sudah gila, fikirku. Aku merampas botol Baygon,
yang digenggam oleh Melati, dan melemparnya jauh-jauh.
“Apa yang kau fikirkan?” tanyaku. “Itu Baygon, Melati.
Baygon!”
“Kau tahu, aku sangat mencitaimu, Ahmad. Aku
mencintaimu, lebih dari mencintai diriku sendiri,” kata Melati. “Aku tak sanggup
hidup tanpamu. Tak sanggup! Lebih baik aku mampus jika hidup tanpamu.”
Melati menatap mataku. Mata itu, mata yang dulu begitu
indah sampai menerbangkanku ke kahyangan, sekarang tampak rapuh. Layu. Seolah-olah
mata memberi tahu: si empunya memendam sebuah rasa bersalah yang akan dipikulnya
sampai mati. Aku kemudian dipeluknya dengan erat. Kurasakan tubuhnya sangat
ringkih, seperti orang penyakitan. Air matanya tak henti-hentinya meneteskan
air mata. Dan mulutnya terus meraung-raung seperti orang kesetanan.
“Maafkan aku, Ahmad. Maafkan aku,” kata Melati. “Aku
tahu kamu kecewa denganku. Aku tahu kamu marah denganku. Kalau kamu ingin
tanpar, tamparlah aku. Kalau kamu ingin memaki, makilah aku sesuka hatimu. Tapi
ada satu hal yang harus kamu tahu: aku sangat mencitaimu, Ahmad. Sangat mencintaimu.”
Giliran aku yang menatap mata Melati. Matanya nampak
berbinar. Ia tak berbohong. Ia benar-benar mencintaiku. Keparat! Kenapa
semuanya harus seperti ini? Kenapa hatiku berdebar dengan kencang ketika
menatap matanya? Kenapa aku merasa sakit ketika melihat Melati sakit? Kenapa
aku merasa menderita ketika melihat Melati menderita? Kenapa aku begitu sulit
menghapus wajah Melati dari fikiranku? Kenapa aku tak pernah rela meninggalkan
Melati meskipun hanya sedetik? Kenapa? Kenapa? Kenapa?!
Bangsat!
Semakin aku membohongi diri sendiri, semakin sadar pula
kalau aku begitu mencintai Melati. Asu tenan.
Melati kembali memelukku dengan erat. Air matanya terus
saja menetes.
“Melati sayang Ahmad,” katanya. “Jangan pernah tinggalkan
Melati, ya?”
Kepalaku mengangguk dengan lemas.
Aku menyesal telah jatuh cinta. Sangat menyesal.[]
*Untuk Ahmad, aku sudah menyanggupi tantanganmu: "Kelak kau harus menuliskan uripku yang nggateli, koyok asu. Dibuat cerpen kek. Kalau perlu mini novel!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar