6 Oktober 2014

CERITA BUAT AHMAD


Ada kalanya dalam hidup, kau akan muak dengan rasa cinta dan bertanya-tanya kepada Tuhan kenapa Dia menganugerahkan cinta kepada manusia. Seperti menggenggam pisau, itulah yang kurasakan saat ini. Semakin erat menggenggam, samakin sering juga aku tertikam. Semakin aku bertahan, rasa sakit yang berdatangan semakin tak tertahankan dan semakin banyak juga darah yang bercucuran. Ya, tumpahan rasa sayang yang berujung pada kebodohan. Cinta yang saling berbalas dengan luka. Pelan-pelan, rasa cinta itu berubah laksana racun yang mengaliri seluruh aliran darahku, lalu menuntunku dalam pelukan kematian.

Aku bertemu gadis itu delapan bulan yang lalu pada sebuah acara penyambutan mahasiswa baru di kampusku. Kau tahu, aku ini salah satu pemuda yang tergolong culun. Pasti kau bertanya-tanya, kenapa aku disebut culun oleh semua temanku. Sebenarnya aku malu menceritakan ini, tapi apa daya, kau pasti sudah penasaran dengan ceritaku; seumur hidup aku belum pernah pacaran, bahkan aku belum pernah memegang tangan wanita (kecuali tangan ibuk-ibuk penjual nasi goreng samping  kampus sewaktu ia menyerahkan uang kembalian). Bapakku berprofesi sebagai Bupati di  kota C., sedangkan ibuku berprofesi sebagai guru agama. Bisa kau tebak, keluargaku adalah panutan bagi warga di daerahku. Golongan ningrat. Dan, bisa ditebak pula, orang tuaku selalu mendidikku dengan keras, sesuai dengan ajaran agama. Menurut mereka pacaran adalah satu satu hal yang  mendekati zinah dan karena itulah mereka melarangku untuk pacaran.

Tapi aku hanyalah pemuda biasa yang normal. Bukan seorang homoseksual. Sejujurnya hormon lelakiku selalu memuncak ketika melihat video porno. Air lirku menetes ketika melihat payudara yang menyembul dari dada kaum hawa. Hatiku berdegup dengan kencang ketika melihat gadis yang cantik. Dan hal yang paling tak bisa kuhindari adalah, aliran darahku yang berdesir dengan lembut ketika melihat wanita berkerudung, seolah-olah kepalaku baru saja diguyur dengan es cendol. Menentramkan hati. Menentramkan jiwa. Menentramkan fikiran. Bagiku, gadis berkerudung merupakan sosok istri idaman, pasangan hidup yang bisa menemani baik dunia maupun akherat. Pasangan yang bisa menjembataniku menuju kedamaian sejati—Tuhan. Dan, seperti itulah hal yang pertama kali kurasakan ketika melihat gadis kecil itu.


Gadis itu masih duduk dengan anggun di depan sebuah mushola, di sebuah kursi yang terbuat dari plastik. Disampingnya duduk seorang gadis lain—teman sekelasku. Mereka berdua tampak asyik mengobrol. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tak bisa mendengar suara mereka. Jarang berprasangka buruk dulu kalau aku ini budek. Aku tidak bisa mendengar mereka karena jarak kami berjauhan. Sekitar seratus meter.

 Seperti orang tolol, aku berdiri seorang diri di samping pohon kelapa sembari melihat mereka tanpa berkedip. Sesekali menggaruk-garukan tangan kananku ke kepala. Aku lalu melihat ke atas. Matahari menyilaukan dan panas terasa sangat terik, seolah-olah berusaha membakar tubuhku. Lalu, aku mencuri pandangan kepada gadis kecil itu, dan menunduk. Kupandangi terus dadaku. Sungguh mati, ini sungguh tak masuk akal. Dadaku terasa sejuk.       

Aku melihat gadis kecil itu lagi. Dan hal yang tak masuk akal terjadi untuk kedua kalinya. Denting waktu seakan berhenti. Semesta seolah berhenti berputar. Semua pandangan menghilang, dan hanya gadis itu seorang yang nampak. Tiba-tiba seperti muncul semilir angin yang halus menerjang wajah gadis itu, yang dibalut oleh kerudung warna merah, berhembus dengan lembutnya. Mirip adegan yang sering kutonton di film-film.

“Ilermu netes!” teriak seorang pemuda di sebelahku, dia menepuk pundakku dengan keras.

 “Astaghfirullah!” kataku, kaget. “Kau ini, merusak kesenangan orang saja! Enyah sana.”

“Ada masalah apa, Dab? Aku perhatikan ,daritadi kowe melamun terus,” kata pemuda itu dalam bahasa Jawa. “Banyak utang?”

“Nganu…” Aku berkata dengan lirih. Perlahan, jari telunjukku aku arahkan kepada gadis kecil itu. “Kau tahu siapa dia?”

Pemuda itu tertawa keras dan menepuk lututnya.

“Owalah, itu toh,” kata pemuda itu. “Namanya Melati. Satu  jurusan sama kita. Cuma beda kelas. Kau rupanya naksir sama dia?”

Aku menepuk keras kepalaku dengan tangan kanan. Sungguh culun benar aku ini. Sama teman satu jurusan saja sampai tak tahu. Barangkali ini karena aku terlalu sibuk belajar dan menjejali otakku dengan ilmu pengetahuan. Sampai-sampai tak ada ruang untuk tempat singgah wanita.

“Kau sepertinya sudah gila,” kata pemuda itu. “Kelakuanmu mirip monyet yang kelaparan.”

“Aku hanya penasaran dengan gadis itu,” kataku.

Ta’ kenalin piye?”

“Jangan!”

“Kenapa?”

 “Aku cukup melihatnya dari sini.”

Pemuda itu menggelengkan kepala. Dia menepuk pundakku sekali lagi. “Sesal datang di akhir, Dab,” dan dia berjalan menjauh.

Sesal datang di akhir? Aku bertanya dalam hati. Mataku kuarahkan lagi kepada gadis kecil itu.  Mungkin apa yang dikatakan pemuda itu bisa jadi benar adanya. Kesempatan hanya datang sekali dalam hidup dan aku tak ingin menyesal melewatkan kesempatan ini.  Belum tentu juga aku bisa melihat Melati lagi. Ini kesempatan emas dua puluh empat karat untuk mengajak kenalan.  Tapi…, tapi…, kenapa hati ini rasanya memberat seperti ditindih berat ratusan ton? Padahal hanya kenalan saja. Tinggal jalan mendekat, melontarkan senyum, lalu menjabat tangan. Tapi.., tapi.., bagaimana kalau aku diacuhkan? Bagaimana kalau dia risih karena melihat wajahku yang mirip Benyamin?

Satu detik.

Dua detik.

Satu menit.

Dua menit.

Lima menit.

Aku masih saja mematung. Mataku terus memperhatikan gadis kecil itu dan sialnya hatiku semakin membeku. Dasar pengecut, umpatku dalam hati. Sampai kapan aku harus diam? Sampai kapan mau menutup hati? Mau jadi bujang lapuk? Hah? Bukannya di depanku sudah ada seorang gadis kecil yang cantiknya menyerupai seorang permaisuri dalam cerita dongeng-dongeng? Uh, aku tak bisa seperti ini terus. Tak bisa. Semasa bodoh gadis kecil itu ingin mengacuhkan, ingin meludah, atau malah ingin muntah ketika melihat aku.

Kuberanikan diri melangkahkan kaki mendekatinya. Kedua kakiku aku paksa untuk berjalan meskipun terasa mau patah seperti onderdil mesin yang kurang oli. Di dalam hati kupanjatkan nama Tuhan terus-menerus demi mengurangi rasa grogi ini. Yah, sebentar lagi aku akan menemuinya—kurang dari sepuluh meter lagi. Dan…

“Ahmad!” panggil teman sekelasku. Dia melambaikan tangan. Disampingnya duduk Melati, yang juga tersenyum.

“O—ya,” kataku. “Namaku memang Ahmad.”

Mereka berdua tertawa cekikikan. Apanya yang lucu?

“Kesini, Ahmad,” kata teman kelasku lagi,”ikut duduk bareng.”

Aku mengangguk. Lalu berjalan terhuyung-huyung, menghampiri sebuah kursi yang terbuat dari plastik. Aku duduk di sebelah teman sekelasku, yang juga duduk di kursi plastik. Tepat di depanku, duduk seorang gadis kecil—Melati.

Ya Allah, sekarang gadis kecil itu duduk di depanku; berkulit putih, halus, berwajah Jawa. Dan mata itu, mata itu berkilauan seperti komet Halley—sangat menyilaukan dan membawa jiwaku terbang sangat tinggi, tingi sekali, seolah-olah terbang ke kahyangan; dan bibir merahnya tersenyum indah bagaikan bunga-bunga yang sedang bermekaran—membuat imanku hancur seketika. Gusti… sungguh mati, ia benar-benar indah—wanita paling indah yang pernah kutemui seumur hidupku.

“Mau kemana kau, Ahmad?” tanya teman sekelasku, membuka percakapan.

“Sekedar jalan-jalan. Cari Angin.” Aku bohong. Aku bukan cari angin. Tapi cari jodoh.

“Kukira ada pekerjaaan baru—mengurusi para mahasiswa baru,” katanya lagi. “Oya, aku sampai lupa.” Dia menunjuk gadis kecil yang sedari tadi duduk termenung. “Perkenalkan, dia temanku.”

Aku mengulurkan tangan kananku dengan perlahan. Gadis itu juga mengulurkan tangannya. Tangan kami bersentuhan. Dan.. kuberi tahu kau: tanggannya sungguh lembut!

“Ahmad,” kataku.

“Melati,” sahutnya, pelan.

“Senang berkenalan denganmu, Melati.”

Ia hanya tersenyum kecil.

Aku balik tersenyum. Dengan tangan masih bersalaman, aku perhatikan sekilas sosok gadis yang terlah menyihirku ini; ia memakai bawahan jeans belel berwarna hitam, dan kemeja berwarna pink membalut tubuh putih langsat—lekuk tubuh yang indah, seperti membentuk gitar spanyol. Untung saja aku tidak sampai ngiler.

Mataku kugerakkan ke atas menatap matanya. Sekarang mata kami saling bertatapan. Sial! Kenapa mata itu begitu indah? Sial, sial, sial. Rasanya ingin sekali kutatap mata itu selamanya.  Aku jadi kikuk begini. Sepertinya tubuhku mematung. Degup jantungku  memompa cepat, hampir meledak. Seluruh tubuhku dialiri oleh darah panas. Dan jiwaku seakan menyerah. Pasrah. Bertekuk lutut di hadapan gadis ini. Kenapa lelaki begitu lemah dihadapan para wanita?

“Ehem,” teman sekelasku berdehem. Dia kemudian tertawa.

Tangan kami lalu saling menarik. Tanganku lalu menggaruk kepala, seperti seekor kera yang salah tingkah. Aku melirik ke arah Melati. Ia lalu tersenyum kecil, dan menunduk. Apakah Melati merasakan apa yang aku rasakan? Apakah hatinya berdegub dengan kencang pula ketika ia menatap mataku? Aku bertanya dalam hati. Entahlah. Hati manusia tak pernah bisa ditebak.

Keadaan berubah: tiga orang saling membisu. Saling sibuk dengan pedalamannya sendiri. Situasi menjadi canggung.

“Melati ini, dia teman satu angkatan kita, Ahmad,” kata teman sekelasku dan tersenyum. “Hanya beda kelas.”

Aku mengangguk dan tersenyum. Sial, kenapa dia seola-olah bisa membaca isi hatiku?

“Kenapa kau jadi pendiam, Ahmad?” tanya teman sekelasku menyelidik. “Padahal, waktu di kampus, kau begitu cerewet seperti burung Beo. Ha-ha.”

“Tidak setiap hari aku berkenalan dengan wanita cantik,” jawabku.

Teman sekelasku tertawa. Melati tak urung menyembungikan suara tawanya yang kecil—setidaknya keadaan ini membuatku lebih nyaman. Aku mulai bisa menguasai medan, dan mengembalikan kepercayaan diriku yang ambruk.

Aku bertanya kepada Melati darimana ia berasal. Kemudian ia menjawab berasal dari kota M. Aku bertanya lagi, ia indekos atau mengontrak dan ia menjawab, indekos di daerah kampus. Semua mengalir seperti air, tanpa pernah aku rencanakan. Kami saling melontarkan pertanyaan dan mengobrol—sekitar satu jam.

Sampai akhirnya, teman sekelasku dan Melati meminta diri untuk meninggalkanku. Mereka berdua harus segera sampai ke gedung pertemuan dan mengurusi para mahasiswa baru. Aku mengangguk.

Melati berdiri dari tempat duduk, melirikku sebentar untuk tersenyum, dan mulai berjalan membelakangiku. Ia berajalan dengan anggun seperti putri domas dalam acara mantenan dalam adat Jawa. Mataku tak bisa lepas darinya, seolah ada tali yang mengikat dan terhubung dengan Melati dan berusaha menarikku dengan kuat.

Dengan modal nekat, aku berdiri dari kursi. Aku hirup udara dalam-dalam, lalu kuhempaskan lewat mulut.

“Melati!” teriakku. Aku berlari. Ia menoleh ke belakang, berjalan ke arahku.

“Ada apa, Ahmad?”

“Kamu bawa obeng?”

“Tidak, Ahmad. Buat apa bawa obeng?”

“Oh,” kataku. Lalu aku menatap Melati. “Tapi kalau nomer telefon bawa, kan?”

Melati tersipu. Pipinya memerah. Ia mengambil secarik kertas dalam tas dan menuliskan deretan angka. Tangannya menyodorkan kertas itu sambil tertunduk, dengan pipi yang masih memerah.

Aku tersenyum, dan terus menerus tersenyum ketika mengingat peristiwa ini. (Mungkin sampai matipun aku tak akan pernah melupakan pertemuan ini). Sungguh pertemuan pertama yang indah, bukan? Ingin rasanya percakapanku aku tulis, lalu kuceritakan kepada seluruh dunia betapa indahnya perjuampaan pertamaku dengan Melati.

Orang pertama yang kuceritai adalah Piter—aku tidak menggunakan nama yang sebenarnya. Satu minggu setelah acara penerimaan mahasiswa baru, aku mendatangi kamar kosnya. Uh, kamar kosnya benar-benar mirip kapal pecah. Tumpukan buku bertebaran di lantai. Dinding kamarnya penuh dengan tempelan kata-kata umpatan yang dilontarkan teman kuliahnya, dan diabadikan lewat tulisan. Bendera merah putih berkibar di langit-langit. Lengkap dengan gambar Soekarno dan Chairil Anwar terpajang di pojokan kamar—kabarnya dia menyukai dua tokoh ini.

“Kamarmu sungguh indah,” kataku.

“Oh, ada kau,” katanya. Dia membalikkan badan kepadaku. Diletakkannya buku tebal yang sedari tadi dibacanya. Dan tangannya masih saja memegang sebatang rokok.

“Kelihatannya kau sedang sibuk,” kataku. “Mungkin sebentar lagi, kamarmu akan berubah jadi Gua.”

“Ah, tidak,” katanya. “Maklum, aku malas membersihkan kamar.”

Kuceritakan sedikit tentang Piter: dia adalah pemuda asal Purwodadi, Jawa Tengah. Datang ke kota ini, untuk kuliah (pernyataan ini masih kuragukan kebenarannya). Ketika siang hari seperti ini, tak perlu menjadi dukun pun, sudah bisa kutebak kalau dia lebih sering mendekam di dalam kamar, membaca, bermain laptop, dan tentunya merokok. Dan ketika malam hari, dia sering sekali mengobrol dengan sahabatnya di warung kopi dan berbagi fikirannya—tentang kehidupan, impian, kemanusiaan dan nasionalisme. Yah, anak ini memang aneh.

“Kenapa kau cengengesan terus?” tanya Piter. “Kesurupan?”

“Waktu aku jadi panitia penerimaan mahasiswa baru,” kataku, “aku bertemu dengan seorang gadis…”

Lalu aku menceritakan pertemuanku dengan Melati. Piter, mendengarkan ceritaku dengan antusias. Ini yang aku suka dari dia: dia takkan pernah memotong pembicaraan orang lain sebelum mereka selesai bercerita.

“Sungguh tak kusangka, Ahmad, ternyata kau bukan bukan pecinta sesama jenis,” kata Piter, setelah aku selesai bercerita. Dia tertawa terbahak-bahak.

“Sialan!” umpatku.

“Tapi harus kuakui, itu pertemuan pertama yang indah,” katanya lagi. “Bolehkah kelak, aku menuliskan ceritamu itu?”

“Ceritaku? Untuk apa?”

“Siapa tahu ada yang membacanya dan bermanfaat. Kalaupun tak ada, paling tidak aku sudah bahagia bisa menuliskan ceritamu. Mungkin juga aku bisa belajar.”

“Apa yang bisa kau pelajari dari pertemuan dua insan manusia?”

Piter menyulut rokok, entah untuk keberapa kalinya. Dia lalu tersenyum.

“Belajar tidak hanya kita dapat dari bangku sekolah,” kata Piter dengan takzim. “Semesta amatlah luas, dan ruang kelas hanyalah butir debu dihadapannya. Apa jadinya kalau kita hanya mengandalkan bangku sekolah? Kau tahu, Tuhan menciptakan sesuatu bukan tanpa alasan. Barangkali semua yang ada di muka bumi ini dapat kita jadikan acuan untuk belajar.”

Apa kubilang. Piter ini bawel sekali. Dia keranjingan jika berbicara tentang kehidupan.

“Contohnya?” tanyaku, menantangnya. Biar dia tahu rasa.

Piter memutar-mutarkan kepalanya ke seluruh penjuru kamar. Ditunjuknya dinding kamar itu dengan tangan kanan.

“Kau lihat mereka?” dia menunjuk segerombolan semut yang berjalan di dinding. “Kita bahkan dapat belajar dari mereka sekalipun.”

“Bisa kau jelaskan?”

“Semut itu makluk yang tidak berakal. Tidak mempunyai budi pekerti. Tidak pernah belajar tentang moral dan norma. Tapi kau lihatlah mereka. Mereka bergotong-royong ketika hendak mengangkut makanan, saling membantu, lalu berbaris secara runtut,” dia terdiam sejenak untuk menghela nafas. “Kau tahu manusia? Ya, kau pasti tahu. Mereka dikaruniai akal oleh Tuhan. Dikaruniai moral. Dikaruniai budi pekerti. Tapi kau lihat kelakuan mereka? Saling membunuh demi kedudukan, bertengkar demi makanan, saling mengkhianati demi kesenangan pribadi. Mungkin mereka harus belajar dari semut sekalipun.”

Aku terdiam. Harus kuakui kalau dia memang hebat. Nyaliku menciut. Tak kusangka mahasiswa yang lebih sering duduk di bangku warung kopi ketimbang bangku kuliahan, bisa berbicara seperti itu. Bahkan seumur hidup aku mengenyam bangku pendidikan, tak pernah seorang pun guru mengajarkan kalau kita bisa belajar dari seekor semut.

Piter terus berbicara tentang kehidupan. Dan aku mendengarkan, lalu menyanggahnya. Dua jam sudah kami berdiskusi dan saling melontarkan isi kepala lewat mulut. Berdebat dengan dia memang tak ada habisnya. Lebih baik aku menghindar saja. Otakku sudah terlalu pening untuk berfikir.

“Bagaimana menurutmu kalau aku dengan Melati?” tanyaku.

“Aku akan bahagia kalau kaupun bahagia,” katanya.

“Kau memang teman terbaikku,” kataku. “Rencananya aku akan menjadikan dia kekasih. Pendamping hidup. Kau tahu, Piter, dia wanita terindah yang pernah kutemui. Tak hanya kecantikannya, melainkan juga kepribadiannya. Dia berkerudung, rajin mengaji, dan tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Tidak terpengaruh pergaulan anak muda zaman sekarang. Sangat polos.”

“Baguslah kalau kau sudah menemukan wanita idamanmu. Hanya saja…”

“Hanya saja apa? Katakanlah, Piter.”

Piter terdiam sejenak. Dia menghidap rokoknya dalam-dalam, lalu menepuk pundakku.

“Kau ini sahabatku,” katanya, “aku tak ingin terjadi apa-apa padamu.”

“Maksudmu?”

“Jangan pernah menilai orang lain sebelum kau benar-benar mengenalnya.”

“Jadi... kau meragukan Melati?”

“Bukan, bukan itu maksudku. Zaman sudah berubah, Kawan. Semua orang berusaha menutupi dirinya dengan selimut kemunafikan. Menutupi jati diri mereka yang sebenarnya. Aku hanya tak ingin kau terlalu cepat menyimpulkan sesuatu—tentang Melati.”

“Jaga mulutmu! Melati gadis yang baik!”

“Maaf. Maafkan aku, Ahmad, sejujurnya aku hanya tak ingin…”

“PERSETAN!”

Anak ini sungguh keterlaluan. Mulutnya mungkin tak pernah disekolahkan. Dasar tidak berpendidikan!

Aku menengok ke arah Piter. Raut wajahnya berubah, seolah ada penyesalan yang mendalam. Lalu tanpa berpamitan, aku melangkahkan kaki meninggalkan kamar Piter. Meninggalkan dia dengan fikrannya…
                                                                        
                                                   ***


Hubunganku dengan Melati semakin dekat, seperti dua kutub magnet yang berlainan ketika dipertemukan. Bahkan boleh dibilang, aku tak sampai hati melewatkan sedetikpun waktu tanpa Melati. Pada bulan pertama ia selalu menelfonku sebelum tidur, membangunkanku waktu pagi, dan juga selalu mengingatkanku ketika jam makan tiba.

Pada bulan kedua hubungan kami semakin terjalin dengan erat. Pagi hari sekali ia kujemput untuk berangkat ke kampus bersama. Siang harinya ia menemaniku makan. Sore hari ia mengajakku lari sore. Malam hari pun ia bersamaku untuk makan malam atau sekedar jalan-jalan.

Lain halnya dengan Piter. Aku memang sengaja menjauh. Orang seperti dia memang pantas dijauhi. Dia membikin pernyataan yang dibikin-bikin dan serampangan, seolah-olah aku belum mengenal Melati. Aku yakin, Piter hanya iri hati karena aku telah menemukan pujaan hatiku. Iri karena melihat temannya ini sudah bisa menggandeng wanita dan dia sendiri hanya bisa menggandeng buku. Hanya buku! Malang benar nasibmu, Piter!

Ingin sekali rasanya aku berteriak di depan Piter: Kau salah, Piter! Melati adalah wanita paling sempurna di seluruh dunia. Tidak sepertimu, pembual besar yang mempunyai impian selangit!

Kehidupanku memang jauh lebih baik semenjak ada Melati. Tak hanya urusan dunia. Tapi juga soal agama. Contohnya saja siang ini. Ia sudah setia menungguku dengan kerudung berwarna ungu—yang membuatnya semakin cantik, berdiri  di depan musholla kampus. Aku berjalan mendekat dan ia tersenyum.         Kemudian kami berdua berjalan ke tempat wudhu, lalu beribadah secara berjamaah. Aku menjadi imam dan ia menjadi makmum. Uh, Melati sungguh wanita idamanku. Setelah beribadahpun ia tak lupa membaca ayat-ayat suci. Telakadku jadi semakin bulat untuk menjadikannya kekasih.

“Nanti malam kamu ada acara?” tanyaku, ketika ia keluar dari mushola.

“Sepertinya tidak,” kata Melati. “Kenapa Ahmad?”

“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Ada sesuatu yang ingin aku ungkapkan kepadamu.”

Melati mengangguk. Itu artinya, ia menerima ajakanku. Lalu aku melirik arlojiku. Masih beberapa jam lagi menjelang malam. Padahal aku sudah tak sabar ingin menembaknya. Sampai rasanya aku ingin mengganti baterai arlojiku dengan aki motor supaya jarumnya muter lebih cepat.

Tak perlu kaget kenapa aku bergitu mendamba Melati. Kau tahu, ialah wanita yang aku nantikan seumur hidupku. Wanita yang paling mengerti aku. Wanita berbudi luhur. Wanita sholehah. Wanita penyebar. Dan yang terpenting, ialah wanita yang menerima keadaanku apa adanya meskipun stuktur tubuhku menyerupai tapir.

Jalan Malioboro ketika malam memang sangat indah. Aku berjalan bergandengan dengan Melati. Di samping kanan dan kiri toko pakaian berjejer dengan rapi. Para musisi yang memainkan musik tradisionil juga tak kalah hebohnya menarik perhatian, lengkap dengan seorang bencong yang berjoget dan meniru goyangan vulgar para biduan dangdut.

Aku menghentikan langkahku waktu sampai di benteng Vandenburg. Tangan Melati aku genggam lebih erat, menatapnya, lalu ia kutarik masuk. Benteng itu terlihat besar dan kokoh dengan sorotan lampu berwarna kuning—ciri khas kota ini. Kabarnya, bangunan ini warisan dari Belanda.

Di sebuah ruangan—menyerupai sebuah penjara dan di dinding tembok terdapat bermacam-macam lukisan— kami duduk berdua dengan posisi saling berhadapan. Rasanya ini tempat yang tepat, fikirku. Dan lagi, suasana memang sepi. Uh, seolah-olah semesta memberiku kesempatan untuk berdua dengan Melati. Hanya berdua.

Kemudian aku kembali menggenggam tangan kanan Melati. Kutatap matanya dalam-dalam, dan ia tersenyum.

“Aku mencintaimu, Melati,” kataku.

“Benarkah?” tanya Melati. Ia tersenyum.

“Sungguh, aku mencintaimu,” kataku lagi. “Aku ingin menjadikanmu pendamping hidupku.”

Melati menatapku dan lagi-lagi hanya tersenyum. Ia kelihatan tiga kali lebih cantik. Pelan-pelan, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya Melati. Pelan-pelan, aku mengecup bibir Melati. Pelan-pelan, ia membalas kecupanku dan nafas kami saling memburu. Semua terjadi pelan-pelan, mengalir seperti air.

“Itu adalah ciuman pertamaku,” kataku.

“Aku juga,” katanya. “Ini ciuman pertamaku, Ahmad. Pertama.”

Aku tersenyum dan terus menerus tersenyum berminggu-minggu kemudian. Setiap malam aku tak bisa tidur dibuatnya. Selalu terbanyang oleh Melati. Bahkan dalam tidur, aku bermimpi tentangnya.

Lima bulan sudah semenjak pertemuanku dengan Melati. Semua terasa indah. Sampai akhirnya peristiwa itu terjadi. Entah ada angin apa, aku bertingkah seperti orang kerasukan.

Pada suatu malam, aku baru saja selesai makan malam bersama Melati. Kebetulan malam itu adalah malam minggu, malam dimana anak muda bersua dengan kekasihnya. Kami berdua kebingungan setengah mati mau kemana lagi. Hampir semua obyek wisata di kota ini sudah kami jelajahi.

Tiba-tiba saja aku terikat akan flashdisc—alat penyimpan data zaman modern. Di dalam alat kecil itu, terdapat sebuah film yang aku download dari warung internet beberapa hari yang lalu. Lalu aku mengambil inisiatif untuk mengajak Melati nonton film itu di kamar kosku. (Sebetulnya aku ingin sekali mengajaknya ke bioskop, tapi dengan pertimbangan keuanganku yang menipis seperti seorang pengemis, niat itu aku urungkan).

Sebuah kamar kos kecil yang berantakan menyambut kami berdua. Ukuran 3x4 meter. Kaos kotor menumpuk di pojokan kamar dan lembaran tugas kuliah bertebaran di lantai. Lampu kecil di atas atap yang berwarna putih seolah-olah memperkuat argumen betapa kacaunya keadaan kamarku.

Melati memperhatikan sekitar dan menggeleng. Nampaknya ia sedikit risih dengan keadaan kamarku. Ia mengajakku untuk membersihkan kamar. Kita membersihkan kamar dulu, baru nonton film, katanya kemudian.

Setengah jam kami membersihkan kamar dan keadaan kamarku berubah, sangat bersih dan rapi. Melati menatapku dan mengangkat jempol. Aih, sepertinya ia memang calon istri idaman. Aku lalu menghidupkan laptop dan memutar film.

Film mulai menyala. Kami bedua melihat dengan serius. Film ini mengambil latar di Eropa pada zaman dahulu dimana Archilies, yang menjadi tokoh utama dalam film ini, dengan gagahnya memimpin pasukan Yunani untuk menaklukan Roma. Ditengah pertempuran, sang tokoh utama ini bertemu seorang gadis suci—pemuja para Dewa. Gadis suci ini ditawan oleh anak buah Archilies karena ingin memberontak dan Archilies menyelamatkannya. Diajaknya gadis itu di tenda pribadinya, lalu dirawatnya. Awalnya gadis itu ingin membunuh Archilies dan diletakkan pisaunya di leher sang tokoh utama. Sang tokoh utama terbangun, lalu berkata, “Apa yang kau tunggu? Bunuhlah aku!” Sang gadis suci hanya terdiam. Ditariknya gadis suci itu di pangkuannya, dikecupnya, dan mereka berdua bersetubuh dengan mesranya.

Aku melirik Melati. Ia melihat adegan itu dengan wajah yang melongo. Digigitnya bibir merahnya. Lalu ia menggeleng dan tersenyum.

 Seolah-olah diberi perintah langsung oleh setan, fikiranku mendadak kacau dan adegan setubuh itu terus menggelayuti fikiranku. Imajinasiku melayang. Dan tanpa tersadar, otakku berontak dan membayangkan adegan tadi terjadi kepadaku dan Melati. Maka dengan nekat setelah menonton film, aku berbicara secara ngelantur—seakan-akan mulutku berbicara sendiri.

“Melati,” panggilku lirih.

“Iya, Ahmad,” sahutnya.

“Kamu masih inget adegan film tadi?” tanyaku. “Kamu ingin mempraktekkannya?”

“Hus! Kita masih mahasiswa, Ahmad.”

“Memangnya kenapa? Toh sebentar lagi kita lulus kuliah dan aku berjanji akan mempersuntingmu.”

“Jangan, Ahmad. Jangan…”

Sungguh usaha yang sia-sia, fikirku. Telingaku menuli. Fikiranku gelap, diselubungi oleh hawa nafsu. Seluruh tubuhku memanas, seolah-olah darahku mendidih. Aku bertingkah seperti orang kesetanan.

Pelan tapi penuh nafsu, aku mendekati Melati. Ia hanya memejamkan mata. Lalu kukecup bibirnya dengan lembut. Tanganku mulai menyusuri setiap lekuk tubuhnya. Tangan Melati menyilang, ia berusaha untuk melindungi diri. Tapi aku semakin beringas. Aku terus mengecup bibirnya dan menggerayangi sekujur tubuhnya.

Aku mendorong tubuhnya ke dinding. Lalu kucumbui dia. Melati mulai menggelijang, dan membalas kecupanku. Tubuh kami saling bergelayutan. Pelan-pelan, aku melepas kancing bajuku dan Melati melakukan hal yang sama.

Detik kemudian, kami berdua telah telanjang bulat.

Malam itu aku kehilangan keperjakaanku….
                                                                                 
                                                     ***


Sekarang aku semester empat. Dua tahun lagi lulus kuliah. Tiga tahun lagi mendapat perkerjaan. Empat tahun lagi bisa bikin rumah lalu nikah dengan Melati. Tapi sebelum itu, aku harus kuliah dulu.

Pagi ini, aku berangkat ke kampus kesayangan bersama gadis kesayangan. Kami berjalan di pelataran kampus dengan tangan saling bergandengan. Aku menengok ke kiri untuk menatap Melati. Ya Tuhan, ia benar-benar indah. Tak pernah aku bermimpi mendapatkan bidadari, walaupun wajahku mirip orang utan. Seolah-olah aku mengulang cerita dongeng Beauty and The Beast.

“Melati sayangku,” panggilku pelan.

Ia menoleh, lalu tersenyum.

“Iya, sayang?”

“Taukah kau satu hal, Melati?”

“Apa, Ahmad?

“Kamu adalah wanita terindah yang pernah kutemui dan aku bahagia memilikimu. Sangat bahagia.”

Melati tersenyum kembali. Ia menyandarkan kepalanya di pundakku sambil menggelendot. Lalu kami berdua berjalan beriringan melewati pelataran kampus.

Selanjutnya, aku sudah berada dalam kelas. Bangku duduk sudah mulai penuh oleh para mahasiswa. Kebetulan aku mendapati bangku paling depan. Persis di depan dosen yang kepalanya mulai menggundul.

Disaat dosen mulai mengoceh tentang materi perkuliahan, fikiranku justru melayang. Papan tulis yang ada di depan kelas, tiba-tiba memunculkan gambaran wajah Melati. Aku kembali memikirkan Melati. Terhitung sejak pertama bertemu, sudah tujuh bulan lebih aku mengenal ia. Dan hampir semua yang aku punyai di dunia sudah aku berikan kepadanya—perhatian, kasih sayang, materi, bahkan kesucianku.

Untuk merayakan hubunganku dengan Melati yang hampir genap tujuh bulan itu, rencananya aku ingin sekali mengajak ia melancong ke Pantai. Dengan pertimbangan, semua tempat yang ada di kota ini sudah aku jelajahi bersama Melati.

Dua minggu kemudian, aku merealisasikan rencanaku itu. Melati menyambut ajakanku dengan sukacita.  Kami berdua naik motor, berboncengan menuju pantai Drini, di daerah Gunung Kidul.

Hamparan pasir putih bertebaran di sepanjang pesisir pantai. Ombak bergulung-gulung tiada henti, meyebabkan suara derunya saling bersahut-sahutan. Angin bersemilir dengan lembut, menerjang wajah kami berdua yang sudah berdiri di tepian laut dengan tangan saling bergandengan. Dan matahari sudah mulai turun, membuat cahaya di langit berwara jingga. Senja. Sungguh pemandangan yang sangat indah.

Melati lalu melepas genggamanku. Ia berlari membelakangiku, menoleh sebetar, kemudian menjulurkan lidah. Ia terlihat sangat menggoda.

“Tangkap aku, sayang!” teriaknya.

Aku mengayunkan kakiku ke depan. Ia berlari. Aku mengejar. Ia berlari. Aku mengejar. Kami berdua berkejar-kejaran di pinggiran pantai seperti dua orang anak kecil. Polos. Tanpa beban. Seolah-olah tiada pernah ada kata beban dalam kehidupan.

Entah tebakanku betul apa tidak, Melati seolah-olah memelankan larinya. Ia kemudian menengok kebelakang. Aku mempercepat langkahku dan menangkapnya. Dan kami berdua berpelukan.

“Kamu lihat itu?” aku menunjuk sebuah tebing yang berdiri dengan kokoh. “Lihat, kan?”

“Lihat, lihat,” kata Melati.

“Mau kesana? Sepertinya indah sekali menikmati matahari tenggelam disana. Hanya berdua. Kamu dan aku.”

“Aku takut, Ahmad. Aku takut.”

“Jangan takut. Nanti naiknya  aku bantu.”

Melati tersenyum. Kami berdua lalu berjalan, mendaki ke atas tebing dengan hati-hati. Kondisi tebing yang sedikit curam, membuat perjalanan sedikit menakutkan. Butuh waktu lama untuk sampai ke atas.

Selanjutnya kami berdua sudah duduk di atas tebing, yang lumayan luas. Kami duduk bagian tepi tebing. Tepat di bawah kami terhampar samudera yang terhampar amat luas. Dan di depan kami, matahari mulai turun perlahan.

“Pemandangannya indah, ya?” kata Melati.

“Masih ada yang lebih indah, Melati,” kataku.

“Apa coba?”

“Gadis berkerudung yang sekarang duduk di sampingku. Kamu.”

Melati tertunduk sejenak. Pipinya memerah seperti irisan semangka.

“Benarkah itu?” kata Melati.

Aku mengangguk. “Kamu adalah wanita paling indah di seluruh dunia. Kamu wanita paling baik. Kamu wanita yang taat beragama. Kamu wanita yang suka mengaji. Kamu wanita yang penyabar. Kamu wanita yang polos. Kamu.. kamu… wanita paling sempurna di dunia, Melati.”

Melati memalingkan wajahnya dariku dan menunduk. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku tidak sebaik yang kamu kira, Ahmad,” kata Melati.

“Maksud kamu?”

“Ada beberapa hal yang belum kamu ketahui. Sebenarnya...”

Melati tak meneruskan kalimatnya. Ia tiba-tiba membisu. Diam seribu bahasa.

“Sebenarnya apa, Melati?” tanyaku.

“Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu,” kata Melati, “tapi aku masih menunggu waktu yang tepat.”

“Kenapa harus menunggu? Bukankah sekarang aku ada di depanmu?”

“Jangan sekarang, Ahmad. Jangan.”

“Ceritakan sekarang, Melati.”

Melati membisu. Seolah-olah mulutnya ditikam oleh pisau. Ia lalu menghela nafas panjang setelah menunggu waktu lama.

“Baiklah, Ahmad. Aku akan bercerita,” kata Melati. “Tapi aku minta sebuah permintaan?”

“Apa?” tanyaku.

“Setelah aku cerita, jangan marah ya?”

“Ya.”

Melati menggeser posisi duduknya mendekatiku. Ia menggenggam tangan kiriku dengan erat.

“Ahmad,” kata Melati. “Selama aku hidup, kamulah pria paling baik yang pernah aku kenal. ”

Aku mengangkat bahu.

“Aku mencintaimu, Ahmad. Demi Tuhan!” kata Melati. “Masih ingatkah kamu waktu kita pertama kali bertemu? Waktu itu aku sedang duduk berdua dengan teman sekelasmu. Lalu, tiba-tiba saja kamu muncul. Kamu muncul dengan gaya yang aneh, salah tingkah, nada bicaramu sedikit belepotan seperti orang gugup. Kamu mengulurkan tanganmu yang sedikit gemetaran itu. Aku menyambutnya. Kemudian kamu menyebutkan namamu.

Awalnya aku ragu denganmu, Ahmad. Perbincangan pertama kita kacau. Kamu sering bertingkah dengan aneh. Tapi kemudian kamu bisa mengembalikan semuanya. Kamu menanyakan dari mana asalku, dan aku indekos dimana. Sedikit demi sedikit, aku mulai menyadari ada yang berbeda dengan dirimu. Berbeda! Apalagi, waktu aku pamit dan mengejarku, kemudian kamu bertanya apakah aku bawa obeng. Aku jawab tidak. Lalu kamu membalas, kalau nomer hape bawa, kan?  Aku tak pernah lupa percakapan itu, Ahmad. Itu pertemuan yang sangat indah. Semenjak saat itu aku selalu memikirkanmu dan mencari tahu siapa kamu yang sebenarnya.

Lewat teman sekelasmu itu, aku mencari tahu siapa kamu yang sebenarnya. Dan, dari situ aku tahu kalau kamu orang yang baik. Selalu rajin berangkat kuliah. Tidak pernah meninggalkan shalat. Ramah dengan orang lain. Semenjak saat itu pula, aku berdoa kepada Tuhan supaya kamu menguhubungiku.

Tiga hari kemudian doaku terkabul, Ahmad. Kamu mengirimiku sebuah pesan singkat bertuliskan, Hallo, Melati. Ini ahmad. Cuma mau mastiin aja kalau nomer yang kamu berikan masih aktif.  Tahukah kamu, Ahmad? Aku senang bukan kepalang ketika mendapat SMS darimu. Semalaman penuh aku pandangi terus kalimat itu dan tersenyum. Bahkan aku sampai loncat-loncat kegirangan. Itu semua karena kamu, Ahmad. Karena kamu!

Hubungan kita kemudian berlanjut, semakin lebih dekat. Setiap hari kita beradu pesan singkat. Kemudian kamu mulai berani mengajakku berangkat bareng ke kempus dan makan malam bareng. Malahan kamu mengajakku sholat berjamaah berjamah, dimana aku menjadi makmum dan aku menjadi imam. Dan seiring berjalannya waktu, aku tak bisa memungkiri kalau aku mulai menyayangimu. Ketika malam hari aku selalu berharap waktu berputar lebih cepat, supaya bisa bertemu denganmu. Rasanya aku tak bisa hidup tanpamu, Ahmad! Aku mencintaimu! Benar-benar mencintaimu!

Sampai akhirnya kamu mengajakku ke Benteng Vandenburg, lalu kamu menyatakan perasaanmu. Aku bahagia setengah mati. Tapi disisi lain aku merasa berdosa sama kamu, Ahmad. Setiap hari aku selalu diselimuti rasa bersalah. Sampai saat ini aku belum berkata jujur kepadamu…”

Melati menghentikan ceritanya. Ia menangis tersedu-sedu.

“Berkata apa, Melati?”

“Aku mendustaimu, Ahmad! Aku seorang pendusta,” kata Melati. “Waktu kamu mengecup bibirku untuk kali pertama, aku berkata kalau itulah ciuman pertamaku. Padahal...”

“Padahal apa?!”

“Padahal aku sudah pernah berciuman, Ahmad. Kamu bukan orang pertama yang mengecup bibirku. Itu bukan ciuman pertamaku.”

Gleg!

Jantungku seperti digorok dengan pisau. Darahku mendidih. Kepalaku mulai terasa panas. Aku cemburu buta. Kenapa ia setega ini membohongiku? Tujuh bulan! Bayangkan, tujuh bulan,  bukan waktu yang singkat. Setiap malam aku selalu membayangkan betapa indahnya mendapat ciuman pertama dari Melati, dan ia juga baru kali pertama berciuman. Padahal aku sudah memberikan semuanya kepadanya. Semuanya. Kenapa ia setega ini?  Anjing! Anjing! Anjing!

“Pasti kau bohong! Pasti kau bohong!” teriakku. “Jawab aku, Melati! Akulah orang pertama yang menciummu! Jawab aku!”

Melati terdiam. Ia terus menangis tiada henti.

“Kau tahu, aku sudah memberikan semuanya kepadamu,” kataku, “bahkan kesucianku”.

“Maafkan aku, Ahmad. Aku hanya tak ingin kehilanganmu.”

“Lalu… soal hubungan intim kita. Jangan-jangan kamu sudah pernah melakukannya dengan orang lain?”

Melati mengangguk lemas.

“ANJING!”

“Dengarkan penjelasanku dulu, Ahmad,” kata Melati.

“Persetan!”

Melati memeluk tubuhku. Tapi aku menghindar. Rasanya jijik melihat ia.

“Aku dipaksa oleh mantanku, Ahmad,” kata Melati. “Ia mengerayangi tubuhku, lalu aku dipaksa. Aku dipaksa, Ahmad! Demi Tuhan, aku tak pernah merencakan ini semua. Kalaupun waktu bisa diputar, pasti aku akan memberi kesucianku kepadamu, Ahmad. Bukan dengan Bajingan itu!”

“Omong Kosong!”

“Aku sama sekali tidak bermaksud menyatikimu, Ahmad. Tolong dengarkan penjelasanku dulu. Semenjak peristiwa itu, aku bertaubat. Setiap hari aku berdoa supaya diberi hidayah oleh Tuhan. Maka dari itulah aku berkerudung, sholat lima waktu, rajin membaca kitab suci. Aku juga berdoa kepada Tuhan supaya dikirimkan seorang lelaki yang baik, berbudi luhur, bisa menjadi imam bagiku. Dan kamulah orangnya, Ahmad. Kamu adalah jawaban dari semua doaku…”

Aku terdiam. Kututup telingaku. Sungguh muak aku mendengarkannya. Jiwaku seperti orang sekarat.                                                                                                                 

Tanpa tersadar, pipiku sudah berlumuran air mata.

***
                                                                       
Rasanya tak ada artinya aku hidup lagi di dunia ini. Semua yang aku punya di dunia ini telah kuberikan kepada Melati, dan semua itu pula seolah-olah tak berarti. Setiap detik aku membayangkan tubuh Melati digerayangi oleh orang lain, lalu dicumbuinya, disetubuhinya oleh orang lain! Orang lain! Dan aku, hanya menerima bekas. Hanya bekas! Kesuciannya sudah direnggut. Apalah artinya wanita jika sudah hilang keperawanannya? Tak beda jauh dengan seekor binatang yang menjajakan tubuhnya untuk semua orang. Menjijikkan.        

Seminggu penuh sejak pengakuan hina dari Melati, hidupku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku lebih sering mengurung diri di dalam kamar, merokok, dan mulai mengkonsumsi minuman beralkohol. Tubuhku mengurus karena jarang makan. Aku juga jarang berangkat kuliah. Ujian Akhir Semester pun aku jalani tanpa belajar dan hasilnya sangat mengecewakan.

Hubungan sosialku rusak karena semenjak menjalin hubungan dengan Melati, aku tak pernah bergaul dengan siapapun. Aku bingung mau cerita dengan siapa. Semua orang seperti menjauhiku dan aku tak berani bercerita kepada siapapun—termasuk Piter. Aku merasa bersalah dengan dia. Andai saja aku dulu mendengarkan Piter pasti..., anjing. Sesal memang datang di akhir.

Besoknya kuputuskan untuk pulang ke kota C. Mungkin aku perlu memberi waktu kepada jiwaku dan fikiranku untuk rehat sejenak, pulang ke rumah, dan melupakan masalahku sejenak pula, dan bersua dengan ibuku.

Aku sampai di Kota C. ketika adzan magrib berkumandang. Ibuku menyambutku dengan wajah penuh haru di depan rumah. Sepertinya beliau kangen karena sudah tiga bulan aku tak pulang ke rumah.

Aku memarkirkan motor di garasi. Lalu berjalan mendekati Ibu. Kucium tangannya.

“Maafkan aku, Ibu,” kataku.

“Kenapa, Nak?” tanya ibuku. Ia tampaknya bingung dengan perubahan sikapku.

“Tak ada apa-apa,” kataku menenangkan ibuku.

Kemudian aku melangkahkan kakiku dengan gontai menuju kamar. Aku menghempaskan badanku di atas kasur dan menatap langit-langit rumah. Tiba-tiba fikiranku kembali teringat kepada Melati. Ya Allah, kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa gadis yang pertama kali kukira bisa menuntunku untuk dekat denganmu, justru membuatku jauh kepadaMu? Menjauhimu, Tuhan! MengkhianatiMu dengan perilakuku yang tak jauh beda dengan binatang. Kenapa Kau mempertemukanku dengan ia, Tuhan? Kenapa?!

Sampai jam makan malam, aku masih terus terdiam dan memasang wajah aneh. Ibu sepertinya menyadari keadaanku yang sungguh berbeda. Beliau menatapku dengan wajah keheranan, lalu menggeleng. Kemudian setelah selesai makan siang, beliau mengajakku untuk mengobrol di teras rumah.

Di sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu, aku dan Ibu duduk berdua. Seperti patung, aku hanya bisa membisu. Mataku kulemparkan jauh ke angkasa. Gelap. Tanpa bintang. Tanpa cahaya. Seperti hidupku sekarang, sekarat, tak pernah tahu hendak dibawa kemana.

Udara malam menghantam tubuhku dengan lembut, membuat hatiku semakin membeku. Jalanan depan rumahku, juga lengang. Hanya ada deretan perabot rumah yang dipajang di teras rumah, seolah-olah memperhatikan dua insan manusia yang saling membeku. 

“Apa yang sedang terjadi, Nak?”  tanya ibuku. “Kau terlihat beda sekali hari ini.”

“Aku lelah, Ibu,” kataku. “Perjalanan dari Kota Y. menuju Kota C. kan lumayan jauh.”

“Bohong!” katanya kemudian. Keningnya menyergit. “Aku ini ibumu, Nak. Dalam darahmu mengalir darahku. Kau pasti sedang dalam masalah?”

Aku terdiam.

“Masalah cinta?” tanya Ibuku.

Aku terdiam lagi.

“Sudahlah, Nak, jangan terlalu kau fikirkan masalah cinta,” kata Ibuku. “Kau ini masih muda, masa depanmu masih panjang. Kejarlah dulu impianmu. Kelak kalau kau sudah jadi orang, wanita akan menghampirimu dengan sendirinya.”

Aku terdiam lagi. Bisa apa aku untuk menjawabnya?

“Ya, kau hanya diam. Pasti tebakan ibumu ini benar. Soal cinta. Masalah anak muda,” kata Ibuku. “Kau ini sudah besar, sudah bisa memikirkan sesuatu yang baik dan buruk. Tapi sudikah kau mendengarkan nasihat ibumu ini?”

“Injih, Ibu,” kataku dalam bahasa Jawa. “Ahmad hanya capek, Bu. Saestu (sungguh).”

“Jangan kau bohongi ibumu ini terus-terusan, Nak. Dari matamu ibu bisa membaca perasaanmu. Kau tahu, Nak, mata tak pernah bisa  berbohong,” kata Ibu. “Bolehlah saja kau memikirkan cinta, tapi ibu harap, janganlah kau jadikan cinta penghambat bagimu untuk maju.”

Ibu mengela nafas sejenak. Lalu menggelengkan kepalanya.

“Zaman memang berubah, Nak,” kata ibu, “tidak seperti zaman ibu dulu. Budaya barat sudah menguasai bangsa kita, sampai-sampai kita melupakan jati diri kita yang sebenarnya—bangsa yang berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia. Anak muda zaman sekarang sudah lupa daratan. Lebih sibuk memikirkan pacaran ketimbang masa depan. Mereka sudah terpengaruh dengan budaya Eropa yang tak beradap. Janganlah kau tiru mereka, Nak. Jangan. Kita ini orang jawa yang berbudi luhur. Kita ini penganut ajaran agama Islam. Janganlah kau lupa akan budaya dan agama kita. Ibu hanya mengingatkan, Nak. Ibu hanya tak ingin kau terjebak dengan racun yang sengaja disebarkan oleh budaya barat, dan bertingkah seperti binatang. Apalagi seks bebas. Ibu percaya kau tak akan melakukan itu. Hanya saja, sudah selayaknya tugasku sebagai ibu untuk memperingatkan anaknya agar tak terpengaruh budaya timur. Sekali lagi, ibu hanya ingin mengingatkan supaya kau tak terjerumus dengan pergaulan bebas. Maaf kalau ibu banyak sekali berbicara dan kadang cerewet. Dimana-mana ibu memang begini: mengingatkan anaknya. Kau tahu kenapa semua ibu cerewet? Karena anak itu amanah, Nak. Aku hanya ingin menjaga amanah itu dengan sebaik-baiknya. Karena itulah dulu, waktu kau SMA, aku melarangmu untuk berpacaran. Selain juga gelar bapakmu sebagai Bupati, yang harus bisa memberi contoh bagi masyarakat. Tapi sekarang kau sudah besar, yah? Ibu tahu, kau sudah bisa menentukan hal yang baik dan buruk. Ibu sayang kamu, Nak. Anakku sekarang memang sudah besar.”   

Telingaku seperti ditusuk dengan linggis. Jantungku seperti dibakar dengan minyak tanah. Kepalaku menunduk. Semua rasa bersalah menggerogoti aliran darahku.

Anakmu sudah durhaka, Ibu. Anakmu sekarang tak jauh beda dengan binatang. Aku mengkhianati kepercayaanmu. Maafkan aku, Ibu. Anakmu sudah menodai amanahmu. Aku sudah hina, Ibu. Aku sudah melakukan zinah. Aku sudah melanggar ketentuan agama. Anakmu ini, yang selalu kau gadang-gadang, tak lebih baik dari seorang pendosa ibu. Pendosa!

Rasa berdosa terus mengambang, seperti mendung, lalu menjelma petir, menusuk-nusuk sukmaku. Aku kembali menunduk. Air mataku tak henti-hentinya menetes. Dan…

“Kenapa kau menangis, Nak?” tanya ibuku.

“Maafkan aku, Ibu,” kataku. “Maafkan anakmu.”

“Apa yang terjadi, Nak? Apa yang terjadi?”

Aku memeluk ibuku. Beliau kelihatan bingung.

“Besok aku akan kembali lagi ke kota.Y., Ibu.”

“Kenapa secepat itu?” tanyanya.

“Aku harus menyelesaikan sebuah urusan, Ibu.”

“Selesaikanlah, Nak. Ibu tak akan melarangmu. Pesan ibu, jagalah diri baik-baik.”

Aku berlali ke dalam kamar. Mataku berkeliaran mencari tas, lalu mulai berkemas. Waktu fajar menyinsing, aku mengendarai motor menuju Kota.Y.

Benar pesan ibuku, aku tak boleh larut akan cinta. Aku sudah memutuskan: akan mengakhiri hubunganku dengan Melati. Kalau aku fikirkan, tak ada guna juga aku mempertahan hubunganku. Semua yang telah kuberikan hanya dibalas dusta: sekali orang berdusta, maka sering-seringlah orang itu berdusta pula. Gadis berkerudung itu hanya membuatku menjadi pendosa. Runtuh sudah segala kekagumanku dari dirinya. Aku jijik. Sungguh mati, aku jijik. Ya Allah, tak kukira gadis yang berkerudung itu… Ya Allah.

 Siang harinya aku sampai pula di kota. Y. Aku harus segera menemui Melati dan memutuskannya. Sudah seminggu aku tak membalas pesan singkatnya. Aku benar-benar muak dengan segala dustanya. Muak!

Sebuah raungan menyambutku ketika sampai di depan kamar Melati. Pintunya tidak dikunci dan aku membukanya. Kulihat Melati tidak memakai berkerudung. Rambutnya kusut seperti baju lusuh yang belum disetrika. Matanya membengkak. Air mata terus mengalir dari bola matanya. Tubuhnya mengurus, tulang-tulang di tubuhnya terlihat. Suara raungan terdengar lirih dari mulut Melati.

“Ahmad!” seru Melati. “Maafkan aku, Ahmad.  Seminggu sudah kamu menghilang. Aku menghubungi nomor telefonmu, tapi tak bisa.”

“Ya,” jawabku pelan.

“Kau masih marah denganku karena pengakuanku kemarin?”

“Sudahlah. Aku tak ingin membahas itu,” kataku. “Aku hanya ingin membahas tentang hubungan kita.”

“Hubungan kita?”

“Aku ingin mengakhiri hubungan kita.”

Tangis Melati semakin menjadi-jadi. Ia bangkit dari duduknya, lalu memeluk tubuhku dengan erat.

“Aku mencintaimu, Ahmad!” teriak Melati.

Aku mengangkat bahu.

“Kau benar-benar ingin mengakhiri hubungan kita?”

“Ya.”

Aku  mendorong tubuh melati sampai terjatuh. Lalu memalingkat muka darinya. Tanpa berpamitan aku berjalan membelakangi Melati. Dan ketika aku menengok ke belakang lagi, Melati sudah memegang sebuah botol Baygon—obat pembunuh nyamuk.

Anak ini sudah gila, fikirku. Aku merampas botol Baygon, yang digenggam oleh Melati, dan melemparnya jauh-jauh.

“Apa yang kau fikirkan?” tanyaku. “Itu Baygon, Melati. Baygon!”

“Kau tahu, aku sangat mencitaimu, Ahmad. Aku mencintaimu, lebih dari mencintai diriku sendiri,” kata Melati. “Aku tak sanggup hidup tanpamu. Tak sanggup! Lebih baik aku mampus jika hidup tanpamu.”

Melati menatap mataku. Mata itu, mata yang dulu begitu indah sampai menerbangkanku ke kahyangan, sekarang tampak rapuh. Layu. Seolah-olah mata memberi tahu: si empunya memendam sebuah rasa bersalah yang akan dipikulnya sampai mati. Aku kemudian dipeluknya dengan erat. Kurasakan tubuhnya sangat ringkih, seperti orang penyakitan. Air matanya tak henti-hentinya meneteskan air mata. Dan mulutnya terus meraung-raung seperti orang kesetanan.

“Maafkan aku, Ahmad. Maafkan aku,” kata Melati. “Aku tahu kamu kecewa denganku. Aku tahu kamu marah denganku. Kalau kamu ingin tanpar, tamparlah aku. Kalau kamu ingin memaki, makilah aku sesuka hatimu. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu: aku sangat mencitaimu, Ahmad. Sangat mencintaimu.”

Giliran aku yang menatap mata Melati. Matanya nampak berbinar. Ia tak berbohong. Ia benar-benar mencintaiku. Keparat! Kenapa semuanya harus seperti ini? Kenapa hatiku berdebar dengan kencang ketika menatap matanya? Kenapa aku merasa sakit ketika melihat Melati sakit? Kenapa aku merasa menderita ketika melihat Melati menderita? Kenapa aku begitu sulit menghapus wajah Melati dari fikiranku? Kenapa aku tak pernah rela meninggalkan Melati meskipun hanya sedetik? Kenapa? Kenapa? Kenapa?!

Bangsat!

Semakin aku membohongi diri sendiri, semakin sadar pula kalau aku begitu mencintai Melati. Asu tenan.

Melati kembali memelukku dengan erat. Air matanya terus saja menetes.

“Melati sayang Ahmad,” katanya. “Jangan pernah tinggalkan Melati, ya?”

Kepalaku mengangguk dengan lemas.

Aku menyesal telah jatuh cinta. Sangat menyesal.[] 



*Untuk Ahmad, aku sudah menyanggupi tantanganmu: "Kelak kau harus menuliskan uripku yang nggateli, koyok asu. Dibuat cerpen kek. Kalau perlu mini novel!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar