Sebulan yang lalu, pada mata kuliah Struktur Kalimat
Bahasa Indonesia, dosen gue yang kepalanya mengalami kebotakan akut memberi
tugas kepada mahasiswa untuk membuat tulisan dalam waktu setengah jam. Dan
beginilah jadinya:
BELAJAR DARI BULE
Sebulan yang lalu batin
saya dibuat tertohok oleh mahasiswa asing yang berasal dari Korea. Peristiwa
itu bermula ketika saya mengikuti mata kuliah Ketrampilan Wicara, dimana setiap
mahasiswa diharuskan menguasai seni mengolah kata. Dosen yang baru saja
memasuki kelas, dengan pakaian yang serba rapi dan tanpa membawa buku pegangan
seperti dosen lain, berdiri di depan deretan bangku yang sudah terisi oleh
puluhan mahasiswa. Ia kemudian melontarkan senyum, berkacak pinggang dan mulai
membuka perkuliahan. “Selamat pagi, teman-teman. Semua yang ada di kelas ini
akan saya beri nilai A.” Kalimat itu membuat semua mahasiswa bersorak dengan
riuh, seolah-olah Indonesia baru saja memenangi gelar Piala Dunia. Dosen yang
menyasikan peristiwa itu menggeleng, kemudian melanjutkan kalimatnya. “Asalkan,
kalian semua berani untuk berbicara. Anda tahu, mencoba adalah tolak ukur
keberanian. Ada yang ingin maju ke depan untuk mencoba berbicara? Ayoh,
silahkan maju!”
Kelas yang tadinya
ramai seperti pasar malam, sekarang mendadak hening menyerupai kuburan. Tanpa
perlu dikomando, seluruh mahasiswa menundukkan kepala. Keheningan ini
berlangsung sekitar lima belas menit, tanpa ada satu pun makhluk hidup yang
mengeluarkan suara. “Mencoba adalah tolak ukur keberanian,” dosen mengulangi
kalimatnya. “Tanpa pernah mencoba sesuatu, seseorang tak akan pernah
mendapatkan sesuatu. Tidak adakah di antara teman-teman yang mau mencoba berbicara
di depan?”
Lagi-lagi kelas menjadi
hening dan semua mahasiswa masih terkubur dengan kediamannya. Dosen saya memancarkan raut muka yang resah,
mata beliau sedikit berkaca-kaca. Ia memutarkan kepalanya ke seluruh penjuru
kelas dan tatapan mata beliau terhenti pada seorang mahasiswa asing. “Kamu mau
maju ke depan untuk berbicara?” tanya dosen. Mahasiswa asing itu mengangguk,
kemudian melenggang ke depan kelas.
Semua mahasiswa
bertepuk tangan dengan riuh. Malahan, saya bertepuk tangan sambil berdiri
sebagai wujud apresiasi saya yang amat sangat tinggi. Ini pelajaran pertama
yang saya dapat dari mahasiswa asing: mereka tak pernah takut untuk mencoba.
Mereka tak pernah takut untuk mengambil kesempatan. Sedangkan saya? Saya, yang
notebene orang Indonesia, takut untuk mencoba berbicara dengan bahasa Ibu saya
sendiri. Saya terlalu pengecut maju ke depan karena takut dikira cari perhatian
oleh teman-teman satu kelas. Saya takut ditertawakan teman satu kelas karena gaya
bicara saya yang belepotan.
Dengan keterbatasannya
berbahasa Indonesia, mahasiswa asing itu terus nyerocos. Ia bercerita bahwa
berasal dari salah satu universitas terkondang di Korea. Ia mengetahui ada
program pertukaran pelajar ke Indonesia dari pihak kampus. Awalnya, berita
pertukaran pelajar itu ibarat angin lalu. Baru kemudian, ia mencari tahu lebih
dalam tentang Indonesia melalui internet dan mulai tertariklah ia dengan negeri
ini. Ia malahan mengikuti kursus Bahasa Indonesia selama satu tahun saking pengennya
belajar di negeri ini.
Setengah jam sudah
mahasiswa asing itu bercerita. Lalu ada salah satu teman wanita saya yang
berceletuk. “Kamu kenal Suju? Super Junior?” mahasiswa asing itu garuk-garuk
kepala. Ia terlihat kebingungan. “Suju itu siyapa?” tanyanya. “Boy Band asal
Korea,” timpal teman saya. Mahasiswa asing itu tersenyum. “Saya kok tidak tahu
Suju itu siapa, ya? Padahal saya dari Korea. Kalian memang hebat, bisa kenal Suju,”
lanjut mahasiswa asing itu. “Padahal, saya sendiri tidak tahu Suju itu siapa.
Sementara kalian, yang ada di negeri Indonesia, lebih tahu band-band Korea
melebihi saya. Justru saya lebih tertarik dengan Indonesia. Saya tertarik
dengan kebudayaan Indonesia. Saya kagum dengan orang Indonesia yang ramah.
O—ya, saya mulai tertarik melihat wayang kulit. Saya juga ingin belajar bahasa
Jawa. Saya.., saya mencintai Indonesia.”
Hati kecil saya seperti
disambar petir. Saya malu dihadapan mahasiswa asing itu. Saya, yang lahir di
negeri ini, dibesarkan di negeri ini dan hidup di negeri ini malahan jarang
sekali menghargai tanah kelahiran saya sendiri. Saya lebih memilih produk luar
negeri ketimbang produk dalam negeri. Saya mengagumi kemajuan teknologi bangsa
Eropa. Saya selalu mendengarkan musik-musik dari luar negeri. Saya selalu
mengagung-agungkan apa pun yang berbau luar negeri. Sedangkan tepat di depan
mata kepala saya sendiri, ada mahasiswa asing yang sebegitu cintanya kepada Indonesia—tanah
air saya.
Tanpa terasa kepala
saya tertunduk dan pipi saya membasah. Saya benar-benar malu di hadapan Ibu
Pertiwi. Saya seperti anak durhaka yang tak penah tahu terima kasih. Seharusnya saya sadar, bahwa negeri ini adalah
negeri yang kaya raya. Negeri ini merupuakan negeri kepualauan terbesar di
seluruh dunia. Negeri ini memiliki candi Borobudur, yang merupakan salah satu
keajaiban dunia. Negeri ini memiliki pulau Komodo, yang dihuni oleh komodo,
dimana tak ada satu negeri di dunia
manapun memiliknya! Negeri ini memiliki
tanah yang subur, dimana semua jenis tanaman bisa berkehidupan. Negeri ini
menjujung tinggi Ketuhanan. Negeri ini masih melestarikan adat istiadat dan
budi pekerti luhur. Negeri ini, negeri ini mempunyai begitu banyak kekayaan,
yang bahkan oleh sejuta lembar kertas pun tak akan cukup untuk menuliskan
betapa kayanya negeri ini!
Maka, semenjak
peristiwa itu, saya tiada henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan karena telah
dilahirkan di negeri ini. Negeri paling kaya di seluruh dunia. Indonesia.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar