31 Desember 2014

Tamparan



Sebelum kau bertanya, “Kenapa cerita ini berjudul tamparan?” manusia lebih dahulu diperbudak oleh uang.

Gadis itu bernama Lastri. Dia berkerudung, dan juga cantik. Beruntunglah Lastri ini, dia dilahirkan di keluarga yang mampu dan jauh dari kata melarat─golongan pejabat. Orang-orang menyebutnya anak kesayangan karena semenjak bayi dia tak pernah mengenal mencuci baju, setrika, memasak, apalagi macul di sawah. Boro-boro mencocok tanam, menginjakkan kaki di genangan air saja membuat Lastri risih.

Pernah suatu ketika, dia menginjak genangan air ketika berjalan di sepanjang jalan Malioboro bersama seorang pemuda. Dan saat itu juga, dia langsung menjerit, “Ihh.. jorok banget!” Seperti orang yang kebakaran jenggot, Lastri langsung berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan kakinya yang kotor.

“Ihh.. jorok banget!”
                                               
                                                       ***    
                                                                         
Bagaimana mungkin ada orang yang berkata kalau Indonesia adalah bangsa yang kere? Lihat saja tempat parkir kampus itu. Sudah penuh sesak oleh ratusan motor dan Lastri kebingungan setengah mati mencari lahan kosong guna memarkir motornya. Dia terpaksa berkeliling, kesana-kemari, tengok kanan-tengok kiri demi memarkirkan motornya.           

Dan ketika dia mulai turun dari motor, di kejauhan seorang gadis terlihat berteriak memanggili namanya; tanggannya dilambai-lambaikan dan dia berjalan mendekat.


“Lastri!” kata gadis itu. “Masih inget aku?”  

“Eh, Arimbi ya?” tanya Lastri. “Mau kemana?”

“Ini mau kuliah. Tapi masih nanti jam satu.”

“Duduk dulu aja, yuk! Udah lama nggak ketemu kamu.”

Mereka berdua kemudian berjalan beriringan menuju lingkungan kampus. Di sebuah kursi kayu yang berderet rapi, yang berada di samping musholla, mereka berdua duduk. Tepat di depan mereka, mahasiswa berlalu-lalang tiada hentinya seperti sekerumunan semut yang sibuk mencari makan. Suara mahasiswa yang bercanda gurau juga terdengar riuh. Lengkap dengan ocehan Lastri dan Arimbi yang saling beradu suara.

Arimbi adalah gadis yang dikenal Lastri ketika OSPEK dulu. Sudah setahun mereka tidak bertemu. Kau tahu, tugas kuliah yang memilukam serta kehidupan kuliah yang terkesan egois membuat mahasiswa lupa akan segalanya─termasuk teman mereka sendiri. Dan seperti para wanita umumnya, pada akhirnya mereka berdua asyik bercerita sembari menggosip tentang kehidupan pribadi mereka.

“Kamu sekarang gimana, Lastri?” tanya Arimbi menyelidik. “Udah punya pacar belum?”

Wajah Lastri mulai memerah seperti irisan semangka. Dia tersenyum ke arah Arimbi.

“Kamu inget Emon, nggak?” tanya Lastri.

“Inget, inget!” jawab Arimbi. “Temen OSPEK kita, bukan?”

“Iya. Sekarang aku jadian sama Emon.”

“Ya ampun. Selamat ya!”

Arimbi memeluk Lastri, seakan dia ikut merasakan kebahagiaan yang Lastri rasakan. Lalu fikiran Lastri membumbung tinggi, seolah berusaha menyentuh langit tertinggi, dimana tambatan hatinya seolah menjelma jadi awan dan dengan setia menungguinya disana. Seorang pemuda berambut cepak, bertubuh tebal yang terlihat seperti badak hamil, berkacamata tebal, dan berdompet tebal tentunya.

Senyum kecil tersungging dari bibir Lastri yang merah. Jiwanya seolah terbang ke kahyangan ketika ia membayangkan Emon─kekasihnya. Wajah Emon mungkin menyerupai celeng dan tak akan pernah bisa menandingi ketampanan para artis meskipun dia melakukan operasi plastik. Namun kehidupannya, tak perlu diragukan lagi. Tanpa perlu pergi ke dukun untuk menggadakan uang atau menjaga lilin untuk mengepet, dompet Emon selalu penuh dengan puluhan lembar uang bergambar Soekarno. Ketika berpacaran dengan Lastri, Emon sangat anti dengan kendaraan roda dua. Paling jelek naik taksi. Ketika makan, tak pernah di warung bertenda. Ketika berpacaran, selalu di mall. Uang telah menyelimuti kisah asmara mereka. Pasangan yang satu ini sepertinya mengeluarkan uang lebih sering daripada mengeluarkan udara ketika bernafas.

Khayalan Lastri rontok akibat tepukan tangan yang dilayangkan Arimbi di pundaknya.

“Eh, Lastri,” kata Arimbil. “Lihat cowok itu, deh!”  

Arimbil menunjuk seorang pemuda berambut jambul dan bertubuh gagah yang sedang duduk di taman kampus dan terlihat sibuk merokok, pada sebuah bangku di bawah pohon beringin. Dia memakai kemeja berwarna biru muda yang dilinting dan jam tangan di tangan sebelah kiri. Celanan jeans belel warna hitam nampak berwarna elok ketika dipadukan dengan sepatu Converse warna hitam. Dan dipangkuan pemuda itu terdapat sebuah laptop biru, dan jari-jemarinya memencet tombol keyboard.

“Kamu sadar nggak, sih,” kata Arimbi. “Daritadi dia ngeliatin kamu terus, loh!”

“Oalah, orang yang lagi duduk mirip patung pancoran?  Itu temenku─Bejo,” kata Lastri.  “Anak Sastra Fisika”

“Lumayan ganteng ya? Dia juga keren, deh,” kata Arimbi. “Jarang banget ngeliat anak kampus sini yang suka dandan kayak gitu.”

“Biasa aja, Arimbi. Orang nggak ganteng gitu! Cuma gayanya aja yang keren.”

“Kok kayaknya daritadi sibuk maenan laptop terus?”

“Tauk, deh. Bejo emang selalu sibuk dengan laptopnya. Ngetik gitu. Katanya, sih, lagi nulis cerita hidupnya, sekalian bikin tulisan buat ngepost di blognya. Padahal blognya sepi. Nggak ada yang baca!”

Lastri tertunduk. Sedikit ada niat penghinaan dibalik senyumnya yang sinis.

“Orang aneh,” kata Lastri.

“Aneh gimana?”

“Dia itu tukang bolos. Kalo di kelas kerjaannya baca buku. Jeda kuliah maenan laptop sambil ngetik. Pengendiri gitu, deh. Tapi kalau bertemu sahabatnya, tingkahnya pecicilan persis orang kesetanan. Mirip psikopat.”

“Mau jadi penulis, kali.”

Lastri tertawa terbahak-bahak.

“Penulis dari Hongkong? Orang kayak dia mana mungkin jadi penulis,” kata Lastri. “Kuliah aja sering bolos gara-gara tidur. IPK jeblok. Pokoknya kayak nggak punya masa depan! Mending juga Emon. Kalau pacaran naik mobil. Masa depan cerah.”

“Eh, Lastri, kamu nyadar nggak sih?” Arimbi kembali menepuk pundak Lastri. ”Bejo diam-diam ngeliatin kamu terus, lho.”

“Biasa aja, deh. Bejo kan temen aku.”

“Jangan-jangan…”

“Jangan-jangan apa, Arimbi?”

“Jangan-jangan Bejo suka kamu, Lastri.”

“Najis! Aku nggak mau sama Bejo!” 

“Loh? Kenapa? Dia kan lumayan ganteng. Keren lagi.”

“Aku sebenernya lumayan deket sama Bejo. Kita sering makan malam bareng. Tapi…”

Lastri berdiri, berkacak pinggang dan jari telunjuknya diarahkan kepada Bejo.

“Bejo tuh ya,” kata Lastri, “Kalau ngajak makan pasti di angkringan. Nggak level! Aku aja kalau makan sama Emon, pasti di warung makan yang mewah. Jijik banget harus makan di pingggir jalan. Mana kumuh. Kotor. Ogah, pake banget!”

“Oh.., gitu ya, Lastri.”

Arimbi menggelengkan kepalanya. Dia tak habis pikir, di dunia ini masih ada wanita seperti Lastri. Karena merasa tidak nyaman dengan keadaan ini, Arimbi lalu mulai berdiri.

“Aku kuliah dulu,” kata Arimbi.

“Loh, kok keburu-buru?”

Tapi Arimbi sudah berjalan menjauh. Meninggalkan Lastri dengan penuh tanda tanya.      

***
     
Bejo mempunyai kebiasaan buruk yang susah sekali dihilangkan, yaitu bangun kesiangan. Dia bangun pukul sebelas. Padahal kuliah dimulai pukul sembilan. Maka tanpa rasa sesal, dia duduk sendiri di sebuah bangu, di depan ruang kelas. Disampingnya berdiri sebuah tong sampah. Dan setiap orang yang berjalan melewati Bejo, pasti terlihat tertawa geli. Sungguh hal yang wajar. Antara Bejo dengan tong sampah memang mempunyai kemiripan. Pasti mereka berfikiran bahwa Bejo sedang duduk dengan saudara kembarnya.

Kemudian dilayangkannya pandangan mata ke sekeliling. Semua orang masih saja menatapnya dengan tatapan, yang kurang lebih bermaksud menghina dan menyamakannya dengan tong sampah. Lalu dia memutuskan untuk mulai berdiri dan berjalan ke pinggir gedung perkuliahan. Tepat disini─gedung lantai dua─, bangku taman kampus terlihat ramai. Sekerumunan gadis berkerudung saling bergerombol dan berbincang-bincang serta pasangan kekasih yang saling bergandengan. Sungguh pemandangan yang mengiris hati. Kesepian perlahan terasa menggerogoti.

Dan, tanpa terduga, seorang gadis berkerudung terlihat berlari di ujung koridor. Dia terus saja meneriaki nama Bejo. Bejo menengok, aliran darahnya terasa memanas akibat perubahan hormon lelaki. Gadis itu membuat fikirannya kocar-kacir seperti seorang pengemis yang baru saja menang judi lotre senilai seratus juta. Dilihatnya gadis itu tanpa berkedip dan celananya tiba-tiba terasa ketat. Kerudung biru tua membungkus wajahnya yang putih. Matanya menyipit dan alisnya tipis menyerupai gadis keturunan Tionghoa. Bibirnya tipisnya merah merona. Kemeja coklat muda yang ketat dan celana jeans berwarna biru membuat gadis itu terlihat memikat; dadanya terlihat sedikit menyembul dan lekuk tubuhnya yang memesona itu terlihat dengan jelas, membuat lelaki mana pun di dunia menelan ludah.

“Lastri?” kata Bejo. “Habis darimana?”

“Seharusnya aku yang bilang kayak gitu!” kata Lastri. “Kamu kemana aja kok nggak berangkat kuliah? Aku cariin di kelas nggak ada.”

“Baru bangun tidur.”

“Kamu udah sebulan nggak kuliah. Kamu pernah mikirin kondisi perkuliahanmu, apa?”

“Bahas kuliahku nanti dulu, Lastri. Sekarang ada yang jauh lebih penting.”

“Apa?”


“Hari ini kamu cantik. Sangat cantik.”

Dipuji seperti itu membikin Lastri tersenyum dan pipinya memerah. Namun tak lama, senyum itu memudar, seperti bintang yang kehilangan cahayanya. Hampa. Dia menduduk dan keningnya mengerut. Fikirannya seolah sedang memikirkan suatu masalah yang begitu memilukan.  

“Ada apa, Lastri?” tanya Bejo, yang mulai mengerti perubahan pada raut wajah Lastri. Dia tak perlu meraih gelar sarjana untuk menyadari keadaan ini. “Apakah ada masalah?”

“Nggak papa, Bejo,” kata Lastri.

“Kalau seorang wanita mengucapkan kata nggak papa, itu artinya ada apa-apa.”

“Aku nggak papa, Bejo. Cuma sedikit nggak enak badan aja.”

Bejo tersenyum kecil. Tangan kananya mulai meraih sebungkus rokok dan mengambil sebatang, dan dinyalakannya rokok itu. Pandangannya melayang jauh ke angkasa sambil mengepulkan asap rokok itu.   

“Aku kenal kamu nggak sehari-dua hari,” kata Bejo. “Kamu mau cerita sama aku, tapi ragu, kan?”

Lastri terdiam. Tubuhnya membeku dan mulutnya membisu.

“Kalau ragu nggak usah cerita aja,” kata Bejo. Mulai berjalan menjauh. “Aku mau beli kopi dulu.”

Lastri samakin termangu. Tangan kananya diangkat dan digunakan untuk menggaruk-garu kepalanya. Digigitnya bibir bawah yang berwarna merah itu. Kegelisahan telah mengalahkan keraguannya. Lalu, dia berlari ke arah Bejo dan menarik tangannya.

“Kenapa kamu malah pergi?” tanya Lastri. “Jahat! Jahat! Jahat!”    

“Karena kamu tidak percaya aku,” kata Bejo.

“Sebegitu pentingkah arti sebuah kepercayaan bagimu? Sampai tega sekali ninggalin aku sendirian.”

“Ibuku pernah berpesan, jangan pernah mudah percaya pada siapa pun. Amanah itu akan aku ingat sampai kapan pun,” kata Bejo. “Aku tidak pernah bercerita tentang kehidupanku kepada orang yang tak pernah kupercaya. Maka, sudah selayaknya aku tidak memaksa seorang pun di dunia untuk percaya kepadaku.”

“Maafkan aku, Bejo, bukan maksudku buat nggak mempercayaimu. Aku cuma malu menceritakan kisah ini.”

“Tidak apa-apa.”

“Kan sekarang kamu mau mendengarkan ceritaku? Sumpah! Aku galau tingkat dewa.”

“Dengan senang hati, Lastri. Siapa tahu aku bisa membantumu.”    

“Ini semua tentang Emon.”

“Emon? Temennya Nobita yang punya kantong ajaib?”

“Itu Doraemon! Aku serius, Bejo! Aku lagi cerita tentang pacarku.”

Bejo tertawa.

“Sudah kutebak,” kata Bejo. “Lebih dari seribu kali kamu mengeluhkan pacarmu itu.”

“Tapi kali ini dia keterlaluan,” kata Lastri. “Di SMS nggak mbales. Ditelfon nggak diangkat. Udah seminggu dia nggak ngasih kabar. Diajak ketemu buat sekedar ngobrol aja nggak bisa. Keadaanya kayak gini terus. Nggak berubah. Udah hampir satu tahun sifatnya bikin aku sumpek. Yang lebih parah, kalau semisal kita ketemuan, dia selalu menganggap peristiwa itu nggak pernah terjadi. Kalau diterusin bakal berantem. Dan yang paling nggak aku suka, dia suka banget maen tangan dan nampar aku sesuka hatinya.”

“Siapa tahu dia lagi sibuk?”

“Enggak, Bejo. Kalau siang aja aku lihat dia maen sama temen-temennya. Padahal bilangnya sama aku lagi tidur siang. Dia tuh penipu! Cowok bajingan!

“Lha kamu kok masih mau aja pacaran sama Emon?”

“Aku tuh pacaran udah hampir 1 tahun, Bejo. Masak putus gitu aja?”

“Kalau aku beneran sayang sama pasanganku, satu hari  saja tidak bertemu serasa satu abad. Setahu aku, kalau cowok beneran sayang cewek,  pasti bakal menjaga pasangannya, bakal perhatian sama pasangannya, bakal membuat pasangannya tersenyum, tertawa lebar, selalu berusaha membuat pasangannya bahagia. Dan yang pasti, tidak akan membiarkan pasangannya selalu merasa sendiri. Nah, ini cowokmu, tidak menghubungi kamu seminggu, lho. Kamu tahu apa artinya kan? Kamu masih mau meneruskan hubunganmu?”

“Terus aku harus gimana, Bejo?”

“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.“

“Tapi aku sayang dia, Bejo. Aku cinta banget sama dia.”

“Hidup itu pilihan, Lastri. Hubungan itu ibarat membangun sebuah rumah. Kamu bakal  tetep berusaha mati-matian membangun rumah, padahal udah sadar kalau rumah yang kamu bangun tidak akan jadi. Kamu juga harus menerima kenyataan pahit, kalau pasangan kamu cuma diam dan selalu merusak rumah yang berusaha kamu buat. Atau, kamu  akan berhenti membangun rumah. Kamu bakal  membangun rumah baru dengan orang baru. Orang  yang dengan ikhlas membantu membangun rumah kamu. Menjaga rumah kamu. Merawat rumah kamu agar selalu kokok dan terlihat indah.”

“Iya sih. Tapi dia emang tipikalnya cuek, kok. Tapi kalau sekalinya ketemu, dia tuh romatis banget.”

“Bagus.”

“Kok bagus?”

“Katamu orangnya romantis?”

“Tapi aku nggak suka sikapnya yang kayak gitu. Tapi, dia sebenarnya orang yang baik. Romantis. Kalau makan aja, nggak pernah di angkringan. Nggak level deh kita di warung makan yang bertenda. Kalau ke mall gitu, aku dibeliin tas, sepatu. Mana kemaren aku sempet diajak keluarganya liburan ke luar Jawa.”

“Oh..” kata Bejo lirih. Dia lebih memilih terdiam.

Petuah dari seorang mahasiswa kere yang menyerupai gembel tidak akan pernah digubris oleh seorang permaisuri cantik yang bertahtakan harta.                                                                       

                                                  ***

Kamar itu semakin pengap akibat kelupan asap rokok yang mulai memenuhi ruangan. Pertama, asap itu menyentuh puluhan buku berceceran di lantai. Kemudian menjalar ke dinding kamar, menerjang gambar Soekarno dan Chairil Anwar yang terpajang disana. Dan pada akhirnya, membasuh seluruh dinding kamar yang penuh dengan kata cacian─dasar tukang bolos, dasar goblok, dasar penyendiri, dasar tukang tidur, dasar masa depan suram, mahasiswa nggak punya masa depan, dan sebagainya.

Bejo menghempaskan tubuhnya di kasur. Kepalanya menengadah dan fikirannya dilayangka ke atas, tinggi sekali, seolah-olah ingin menembus langit-langit kamar dan berusaha untuk melayang disana, berterbangan, melepaskan belenggu kepedihan yang merantainya. Perlahan,  dia memejamkan mata dan dirabanya pedalaman hatinya. Lalu didapatkannya sebuah perasaan yang terus meronta-ronta, menunggu untuk dibebaskan dari jeruji kemunafikan. Perasaan yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan Tuhan.

Sekeras mungkin Bejo berusaha untuk melenyapkan perasaan itu. Namun  tak kunjung hilang. Gambaran gadis berkerudung masih saja membanjiri batok kepalanya. Lastri! Lalu, tanpa dikomando, syaraf-syaraf otaknya terus saja memikirkan gadis berkerudung itu.

Semakin Bejo membohongi diri sendiri, semakin sadar pula bahwa dia begitu mendambanya. Pertemanan yang mereka rajut, telah menumbuhkan benih cinta di hati Bejo. Lama-kelamaan, benih cinta itu semakin tumbuh dengan subur tanpa perlu dipupuk dan tanpa pernah bisa dikendalikan. Dan, rasa cinta itu kian lama menjalar ke seluruh tubuhnya, sampai ke pedalaman dan menggerogotinya.

Setiap malam dia selalu membayangkan wajah Lastri. Mengaguminya secara diam-diam. Membuka facebooknya dan mengunduhnya, dan menyimpannya dalam laptopnya. Kemudian, sebelum tidur, dipandangi terus foto itu. Berharap Tuhan mempertemukannya lewat mimpi, sehingga dia bisa memeluknya dengan erat.

Namun kenyataan membuat hatinya ngilu, seolah-olah dadanya dipukul berkali-kali dengan martil. Setiap kali, ketika mereka berdua keluar bersama, Lastri selalu bercerita tentang kekasihnya. Disaat Lastri sedih, dia bercerita tentang betapa biadapnya kekasihnya dan membuat Bejo geram. Dan disaat Lastri bahagia, dia bercerita tentang betapa baik kekasihnya dan membuat Bejo cemburu buta. Bejo selalu menjadi pendengar setia Lastri, dengan harapan, kelak suatu saat Lastri akan sadar bahwa dialah pria terbaik baginya.

Andai Lastri jadi kekasihku, fikir Bejo, aku tak akan pernah membiarkan dia terluka dan   melindunginya; selalu ada untuknya setiap detik tanpa pernah membiarkan dia merasa sendirian. Tapi, apakah itu mungkin? Aku hanya mahasiswa amburadul dan seorang pemimpi besar. Sedangkan Emon? Dia pemuda yang kaya raya. Anjing, umpat Bejo. Lasti tak akan pernah mau menjadi pendamping hidupku. Tapi, tapi bagaimana aku bisa tahu kalau aku tidak menyatakan perasaanku? Lastri toh bukanlah seorang dukun yang bisa membaca isi hati manusia?

Pegolakan hati Bejo malam itu menghasilkan satu keputusan: dia akan menyatakan cintanya kepada Lastri. Tak peduli apa pun yang peduli. Tak peduli! Maka, dia mulai berlari menutup pintu dan mengendarai motor menuju kos Lastri. Malam tanpa bintang. Kerumunan awan tebal berwarna hitam bergerombol di udara. Bejo terus mengendarai motornya dan tanpa terduga, jutaaan tetes air hujan mulai turun dari langit.

Dia berdiri di sebuah jalan kecil di sebuah deretan rumah yang menyerupai perumahan, dan diambilnya sebuah handphone guna menghubungi Lastri. Hujan semakin menderas. Angin mulai menderu dengan lebat, yang membuat pepohonan di sekitar jalanan bergoyang ke kanan dan ke kiri.  Bajunya mulai basah kuyup. Udara dingin mulai menusuk-nusuk kulitnya. Namun dia masih mencoba bertahan. Tubuh yang membeku tak lebih memberi penderitaan daripada hati yang membeku. Dan…

Persetan dengan hujan, fikir Bejo. Tanpa perlu menunggu hujan reda, dia bahkan bisa melihat gadis yang lebih indah dari pelangi sekali pun. Dia lalu tersenyum. Lastri berjalan dari dalam rumah dengan tangan kanan memegang payung berwarna merah. Dia tidak berkerudung; rambutnya yang panjang menyentuh pundak, memakai kaos oblong berwarna biru tua dan celana pendek dari jeans.

“Ada apa menelfonku malam-malam begini, Bejo?” tanya Lastri. “Mana hujannya deres banget kayak gini.”

“Aku mencintaimu, Lastri.”

“Ha?”

“Aku benar-benar mencintaimu,” ulang Bejo.

“Plis. Bercandanya besok aja.”

“Aku sama sekali tidak bercanda. Kamu tahu, Lastri, aku sangat mencintaimu. Sudah lama aku memendam rasa ini. Setiap malam aku selalu memikirkanmu. Setiap malam aku selalu membayangkan kamu, lalu berdoa kepada Tuhan supaya kita berdua dipertemukan lewat mimpi.”

“Kamu gila, Bejo!”

Bejo memberanikan diri menarik tangan Lastri untuk digenggamnya. Dia lalu menatap mata Lastri dalam-dalam dan mengulangi kalimatnya seperti orang kerasukan.       

“Aku mencintaimu, Lastri!” kata Bejo.

“Udah, Bejo, udah,” kata Lastri.

Kepala Lastri tertunduk. Perlahan dia menarik kedua tangan yang digenggam Bejo, lalu digunakannya untuk menyeka kedua matanya yang mulai berkaca-kaca.  

“Aku akui, kamu memang pemuda paling baik yang pernah aku kenal,” kata Lastri. “Tapi hubungan kita hanya sebatas teman. Nggak lebih. Dan lagi, kamu tahu kalau aku sudah punya Emon.”

“Tapi pacar kamu tuh bajingan! Dia sama sekali tidak pernah mempedilikan kamu. Ada aku, Lastri, yang siap menemanimu baik suka maupun duka. Tangis maupun tawa. Sedih maupun bahagia. Ada aku, Lastri, yang selalu menyayangimu, melindungimu dan tak akan pernah membiarkan kamu merasa sendirian. Aku jauh lebih baik daripada pacar kamu, Lastri.

“Ngaca, Bejo, ngaca. Kamu nggak lebih baik daripada Emon!”

“Tapi aku akan berusaha untuk membuatmu bahagia.”

“Bahagia? Dengan apa? Dengan nilaimu yang jeblok itu? Dengan buku yang selalu kamu kempit di ketiakmu? Dengan segudang impian bersarmu yang nggak masuk akal? Atau, dengan tulisan-tulisan konyolmu yang nggak pernah diterbitin? Hah?”

“Paling tidak aku berusaha untuk berdiri di bawah kaki sendiri. Tidak seperti pacarmu yang bisanya nyakitin kamu; anak manja yang mengandalkan kekayaan orang tua.”

“Tutup mulut kamu, Bejo! Kamu sudah keterlaluan,”  kata Lastri. “Emon jauh lebih baik dari kamu! Dan satu lagi, jangan pernah bermimpi mendapatkan cintaku!”

Lastri lalu berpaling muka, dan mulai berjalan memasuki rumah. Menghilang dari pemandangan mata.

Bejo meraih sebungkus rokok di sakunya dan pemantik api. Dia  hidupkan rokok itu─yang barangkali hanya dapat bertahan beberapa detik sebelum hujan membasahinya, dihisapnya dalam-dalam dan dihembuskan ke udara. Lalu dia menatap langit dengan penuh kekecewaan.

Dan hujan mulai mereda menjadi gerimis...
                                                                           

                                                        ***  

Barangkali kau tak pernah menyadari betapa berartinya waktu. Seolah-olah bertambahnya usia manusia hanyalah sebuah takhayul, kau terlantarkan begitu saja, lalu setelah menjadi tua dan keriput kau akan lebih sering melamun dan meratapi  impian besarmu yang tak pernah bisa kau capai, dan menyesali gunungan kebodohan yang pernah kau lakukan di masa lalu.  

Tujuh tahun telah berlalu, dan Lastri sudah menentukan pilihaan terbesar dalam hidupnya; dia menikah dengan Emon─pemuda yang dikenalnya sewaktu mahasiswa dulu. Bisa kau tebak, karena faktor gengi, kedua belah pihak mempelai mengadakan pesta pernikahan besar-besaran di sebuah gedung auditorium  universitas swasta di kota M.─kota dimana Lastri berasal. Ribuan undangan disebar ke seluruh penjuru kabupaten. Bupati, pejabat, pegawai negeri, perangkat desa, dan orang berpangkat lainnya datang berduyun-duyun.

Dan seperti pasangan yang baru saja menikah, tiga hari kemudian mereka  berbulan madu ke pulau Bali. Sungguh berbahagialah Lastri. Impiannya semenak kuliah untuk pergi ke Bali bersama orang terkasih terwujud. Satu minggu penuh di pulai Bali, jalan-jalan di Garuda Wisnu Kencana, menikmati matahari tenggelam di Tanah Lot, mencicipi kuliner di sepanjang pantai Jimbaran, berpetualang di setiap sudut kota dan shopping, berfoto ria sana-sini lalu di upload  ke instargram miliknya. Mungkin ini akan jadi minggu terindah dalam hidup Lastri.

Namun Tuhan memang Maha Adil. Dalam hidup, kau tahu, kebahagiaan dan penderitaan saling bersahut-sahutan. Belum genap sehari menikmati liburan, tiba-tiba telephone genggam milik Bimo bergetar. Dia mengangkatnya dan tangannya menggigil. Hatinya terhentak seperti disetrum jutaan volt listrik. Telinganya seolah ditusuk linggis. Dia kemudian tertunduk, dan tanpa tersadar cucuran air mata membahasahi pipinya. Dan dengan jalan yang gontai, dia mendekati Lastri, yang sedang memilah-milah pakaian di sebuah butik.

“Kanapa, sayang?” tanya Lastri. “Kok kamu cemberut gitu?”

“Papah sama mamahku.”

“Kenapa sama papah-mamah? Barusan mereka terlfon kamu, ya? Pasti mereka iri, deh, nggak bisa ikut liburan bareng kita. Atau, mereka malah mau nyusul kita ke sini?”

“Papah-mamah meninggal dalam perjalanan pulang dari kota M. Mobil mereka mengalami kecelakaan dan terlindas truck. Hari ini juga kita harus pulang.”

Maka, berangkatlah mereka hari ini juga menuju kota B.─tempat kelahiran Emon. Mereka terpaksa naik pesawat dahulu ke Singapura, lalu dengan kapal pesiar kecil menuju kota B. karena jadwal penerbangan pesawat domestik baru ada esok hari.     

Rumah gedong itu sudah penuh dengan puluhan pelayat yang sudah memadai kediaman orang tua Emon. Di ruang tamu, dua pasang tubuh membujur kaku dan bau wangi-wangian terasa menusuk hidung. Disekelilingnya, sekerumunan orang menitihkan air mata sambil membacakan ayat-ayat suci.

Emon dan Lastri datang tak lama kemudian, diantarkan oleh sebuah taksi berwarna biru. Para pelayat terlihat lega, karena Emon adalah anak tunggal dan acara pemakaman tidak bisa dimulai sebelum Emon datang. Mereka lalu menuntun Emon ke mendiang orang tuanya dan para pelayat mulai berkicau tanpa henti, berbisik-bisik, lalu menggerombol dan berdengung seperti segerombolan lebah.

“Lihat tuh, Emon. Anak manja. Dari kecil selalu dimanja. Hidup kok nggak ada perjuangannya!”

“Sampai sekarang masih belum dapet kerjaan. Eh, udah berani ngajak anak orang nikah!”

“Mana liburan ke luar Bali segala!”

“Kasihan ya, almarhum. Punya anak kayak dia!”

Namun Emon bukanlah kelelawar yang mempunyai tingkat pendengaran super, sehingga kalimat itu tak pernah sampai didengarnya. Dia masih saja berjalan dengan tuntunan sanak saudara. Dan ketika melihat kedua mendiang orang tuanya, dia sontak berlari, menunduk dan bersujud. Air matanya mengalir dengan deras. Dia pandangi wajah ibunya; bibirnya sudah membiru dan mata itu, mata yang penuh dengan kasih sayang dan meneduhkan, kini mata itu telah tertutup untuk selamanya. Lalu dia memandang wajah ayahnya, pria berkumis itu, yang selalu melindunginya, telah tertidur untuk selamanya.

Sekarang, dihadapannya sendiri, dia harus menyaksikan orang yang paling dicintainya terbujur kaku, dimandikan, disholatkan, sampai dikuburkan. Dia menangis dan terus menerus menangis berhari-hari kemudian. Sampai kemudian, tangisan Emon terhenti dan tiba-tiba dia bertingkah seperti orang yang terkena gangguan jiwa.

Pada suatu siang, tiga orang pria bertubuh kekar dan membawa clurit mendatangi rumahnya. Mereka memasuki gerbang, berjalan sempoyongan, lalu menggedor-gedor pintu rumah. Emon, yang saat itu duduk termenung di ruang tamu sambil memandangi foto kedua orang tuanya, membuka pintu. Betapa terkejutnya dia. Tubuhnya mendadak menggigil dan degup jantungnya memompa lebih cepat.

“Siapa yang bertanggung jawab di rumah ini!” kata salah satu pria kekar itu.

“Saya, Bang,” kata Emon. “Tapi ada istri saya juga, kok.”

Ketiga pria kekar mengangkat bahu. Lalu Emon memanggil-manggil istrinya.Lastri, yang belajar memasak di dapur, terpaksa berlarian ke pintu rumah dan kebingungan.

“Ada urusan apa ya, Mas?” tanya Lastri.

“Anda tahu,  bapak-ibuk anda telah berhutang banyak kepada bos kami dengan alasan mengembangkan perusahaan mereka,” kata salah satu pria bertubuh kekar dan menyerahkan surat-surat. “Kalau tidak percaya, silahkan lihat sendiri.  Sekarang bapak-ibuk saudara sudah meninggal. Kami terpaksa akan menyita semua aset yang almarhum miliki sebagai penebus hutang.”

“Tapi, Bang,” timpal Emon, “Kami sama sekali tidak tahu menahu soal urusan bisnis mamah-ayah. Apalagi sampai keuangan.”

“Tidak tahu? Anak macam apa kau ini!”

Ketiga pria kekar itu tertawa terbahak-bahak.

“Keuangan keluarga saja sampai tidak tahu,” kata salah satu pria kekar. “Makanya, kalau utang jangan serampangan!”           

Lastri mendekati telinga Bimo untuk berbisik.

“Gimana, sayang?” tanya Lastri.

“Aku juga nggak tahu!”

“Pokoknya kami tidak mau tahu,” kata pria kekar. “Kalau dalam waktu tiga bulan utang kalian tidak lunas? Rumah, mobil, deposito, atm, semua akan kami sita. Dan kalau kalian minggat, akan kami laporkan ke pihak yang berwajib!”

Tiga orang preman itu kemudian berjalan menjauh. Lastri menutup pintu. Dia menghampiri Emon yang sudah duduk di sebuah kursi sofa berwarna merah di ruang tamu. 

“Gimana, sayang?” tanya Lastri.

“Gimana mata kamu!” bentak Emon. “Aku juga lagi mikir.”

“Kamu cari kerja aja, sayang. Biar dapat uang,” kata Lastri. Lalu memeluk tubuh Emon dari belakang. “Kita berjuang bareng ya, biar bisa ngelunasin hutang bapak-ibuk.”

Emon melepas pelukan Lastri dan bangkit. Kemudian, mengacung-acungkan jarinya ke wajah Lastri.

“Uang, uang, uang ! Hanya ada uang yang ada di otak kamu!” lanjut Emon. “Sejak kita pacaran, kerjaanmu tiap hari cuma ngabisin uang. Belanja ke mall, makan di rumah makan mewah, nonton di bioskop!”

“Kok kamu gitu?”

“Kamu emang istri yang nggak tahu diri. Kamu itu wanita murahan yang cuma mikir kekayaan!”

“Aku emang wanita murahan yang selalu mikirin uang,”  Lastri terdiam sejenak. Dia meneteskan air mata, lalu berteriak histeris, “Kalau memang aku wanita murahan, lalu kamu apa? Kamu cuma suami bajingan. Kamu pria manja  yang ngandelin kekayaan orang tua.  Kamu, kamu pengangguran, Mas ! Mimpin diri kamu aja nggak becus. Apalagi kamu mimpin aku!”  

“Kamu ngomong apa?! ASU!

Plak! Sebuah tamparan keras dilayangkan Emon dan darah segar mengalir dari sudut bibir Lastri.

“Istri nggak tahu diuntung,” kata Emon. “Salah siapa nikah sama aku!”      

Emon memalingkan muka, mulai berjalan mengambil sepatu dan pakaiannya. Kemudian terdengar dengan keras pintu rumah dibanting. Yang dibarengi dengan jeritan suara Lastri yang melengking.

                                                   ***

Gadis berkerudung itu duduk di sebuah teras rumah, memandangi matahari yang mulai turun dengan perlahan. Senja. Keadaan hati Lastri semakin porak-poranda, seolah-olah baru saja diterjang ombak Tsunami. Tubuhnya semakin mengurus dan matanya selalu terlihat membengkak seperti maling yang habis dikeroyok massa karena ketahuan mencopet.

Dua bulan sudah berlalu semenjak kematian mertuanya dan cobaan bertubi-tubi selalu melandanya. Pertama, suaminya, yang tingkahnya semakin menyerupai binatang. Emon, yang dulunya hanya mengenal susu kaleng, sekarang mulai kecanduan minuman beralkohol. Hampir setiap hari, pagi sampai sore hari dia kelayapan dan pada malam hari dia pulang ke rumah dengan fikiran yang sempoyongan dan tangan yang menggenggam botol anggur merah di sebelah kiri dan foto papah-mamahnya di sebelah kanan.

Kedua, kondisi keuangannya, yang mulai amburadul. Untuk menyambung hidup, Lastri terpaksa menghubungi keluarganya di kota M. dan meminta jatah kiriman setiap minggu guna membeli beras, air galon, dan bumbu masak. Emon sendiri sama sekali tak bisa diandalkan. Lelaki pengangguran itu hanya bisa menyusahkan, fikir Lastri. Kerjaannya di rumah hanya merenung dan memandangi foto mamah-papahnya yang sudah meninggal.

Kerapkali Lastri mendekatinya, memeluknya, dan membujuknya untuk mencari pekerjaan karena sudah kewajibannya sebagai seorang suami mancari nafkah. Tapi bujukan itu disambut Emon dengan sebuah pertengkaran dan kata-kata kotor. Dan ketika Lastri mencoba memberontak, puluhan tamparan dan pukulan diterimanya.

Matahari mulai menghilang dari pandangan dan berubah menjadi gelap. Sunyi. Lalu, gerombolan awan hitam mulai menyelimuti. Malam berwarna gelap pekat. Dan, titik-titik hujan mulai turun dari langit, seolah-olah ikut menangis.

Apa yang dibutuhkan wanita dari seorang pria? Ketampanan? Harta? Tahta? Sama sekali bukan. Para wanita, kau tahu, mereka hanya membutuhkan perhatian dan kenyamanan. Seorang pria yang tak pernah membiarkan mereka merasa sendiri; bisa mereka ajak untuk bercerita ngalor-ngidul─dari hal sepele sampai hal berat yang membuat kepala puyeng; seorang pria selalu ada bagi bagi pasangannya meskipun wajah mereka berubah menjadi keriput dan beruban.

Lastri kemudian menunduk. Wajah suaminya melayang-layang di batok kepalanya. Lelaki yang dipilihnya sebagai suami dengan akal waras, kini sedang berusaha membuat akalnya tidak waras. Pengangguran. Suami tidak bertanggung jawab. Suka nampar. Bajingan. Pemabuk. Pengecut. Apa lagi? Hampir semua yang ada diri Emon memuakkan dan Lastri seringkali membayangkan tubuh suaminya menyerupai tong sampah yang berbentuk manusia.

Andai saja Emon selalu mendampinginya dan selalu ada untuknya, jangankan hutang uang, badai topan sekali pun akan diterjang Lastri. Andaikan Emon mengajaknya berbicara, membagi beban dan bahu-membahu menyelesaikan masalah yang dihadapi olehnya. Andaikan Emon seorang nahkoda yang tangguh dan mati-matian memperjuangkan bahtera rumah tangganya, pasti Lastri rela mati dipelukannya. Andaikan Emon berusaha menjadi pesulap, yang bisa mengubah tangisannya menjadi tawa. Andaikan Emon seperti…. Tunggu dulu! Bejo?

Fikiran Lastri melayang jauh, menembus penderitaan, kemudian tersesat dalam lautan kenangan. Tenggelam dalam masa lalu. Lastri masih ingat dengan jelas tentang pemuda itu, pemuda yang seringkali mengajaknya makan malam di angkringan─Bejo. Pemuda yang dengan setia mendengarkan ceritanya. Pemuda yang dengan setia mendengarkan keluh kesahnya. Pemuda yang rela melakukan hal-hal konyol─seperti berpura-pura menjadi bencong yang sedang ngamen─ketika dia sedih dan membuatnya tertawa. Pemuda yang setiap malam mengiriminya untaian kata-kata lucu lewat pesan singkat, yang membuatnya tertawa cekikikan. Seorang pemuda, yang dulu, tak pernah membiarkan dia merasa sendirian dan begitu memujanya bagaikan seorang bidadari. Dan yang tak pernah dia lupa, seorang pemuda itu pernah disakitinya. Pemuda yang diacuhkannya, diterlantarkan, lalu dibuang dan dilupakan seperti seonggok sampah.

Lastri tersenyum kecil ketika mengingat semua tentang Bejo. Tanpa tersadar matanya sudah penuh dengan air. Pemuda idiot yang sukanya nulis, batin Lastri, kayak apa ya sekarang. Untuk sekali saja, dia ingin sekali bertemu Bejo. Bertutur sapa, lalu menceritakan kisah cintanya bersama Emon yang sungguh memilukan. Dia berharap, Bejo mendengarkan ceritanya dengan setia seperti dulu, bisa memberi solusi atau minimal menghiburnya dengan kelakuannya yang konyol. Atau bahkan mungkin, dia akan meminta maaf atas perlakuannya di masa lalu dan meminta keajaiban kepada Tuhan agar pemuda itu kembali mengisi hari-harinya yang kosong melompong.

Kemudian, Lastri berlarian menuju rumah. Masuk ke kamar dan mengambil sebuah handfone. Dicarinya nama itu dan ketika tersambung, dia segera berbicara.

“Halo? Ini bener nomornya Arimbi, kan?”

“Iya, Lastri. Ya Ampun, tumben menelfon. Ada angin apa, nih? Mau ngajak holiday bareng, yah? Atau, borong-borong?”        

“Bukan.”

“Lalu?”

“Kamu tahu alamat rumahnya Bejo?”

                                                      *** 
                                                                 
Sebuah taksi berwarna hijau muda menggiring Lastri menuju sebuah daerah di pinggiran Yogyakarta. Dia lalu melihat alamat yang diberikan oleh teman kuliahnya, mencocokkan dengan nama daerah yang terpasang di penunjuk arah dan menyetop taksinya untuk turun.

Suasana pedesaan masih terasa kental. Jalanan memang sudah di aspal, tapi deretan sawah yang masih terhampar di samping kanan dan kiri. Pohon-pohon besar menjulang di pinggir jalan dan burung-burung kecil beterbatangan. Rumah-rumah masih  sederhana─terbuat dari kayu dan bambu. Penduduk yang membawa caping dan cangkul berlalu-lalang tiada henti. Dia lalu menghirup nafas. Suasana sejuk dan menentramkan dirasakannya meskipun matahari sore sedikit menyilaukan. Tanpa ada kemacetan. Tanpa ada seruan kendaran bermotor. Tanpa ada asap yang membuat kerongkongannya terasa panas. Seolah-olah hiruk-pikuk kota Yogyakarta yang sudah menyerupai kota metropolitan enggan menyapa tempat ini.

Seorang ibuk-ibuk tua yang memakai kebaya dan bawahan batik nampak berjalan. Dia menenteng ember kecil dan menggendong bakul (wadah yang menyerupai ember, terbuat dari anyaman bambu) yang berisi botol-botol.

“Jamu, Mbak?” kata Ibuk itu.

“Tidak, Buk,” jawab Lastri, lirih.

Lastri kemudian tersenyum. Ditentengnya tas kecil dan dia berjalan. Di kejauhan ada sebuah warung kecil, dimana ada sekerumunan bapak-bapak sedang merokok. Awalnya dia ragu. Tapi kemudian memberanikan diri untuk mendekati. Berjalanan menunduk, lalu bertanya.

“Permisi, Pak,” kata Lastri.

“Iya, Mbak,” kata salah satu bapak.

“Saya boleh numpang tanya? Tahu alamat ini enggak, Pak? 

Bapak-bapak itu lalu menggaruk-garuk kepalanya─mungkin untuk mengingat. Dia lalu menepuk dengan keras lututnya.

Owalah! Iki alamat’e pak Bejo, kan?” tanya bapak itu dalam bahasa jawa kepada bapak-bapak yang lain.

Iyo, po? Tenan pora? Mengko salah.”

Iyo, Dab! Tontonen.”

“Rasah sok ngerti. Kowe SMP wae ra lulus goro-goro metengi anak’e wong!”

“Bajigur. Ngene-ngene aku iso moco, Dab!”

“Gundulmu! Iso moco apane?Huruf latin ora apal. Lulus SD yo goro-goro dikei kunci jawaban. Tulisan no smoking wae mbok kiro dilarang kencing.”

Lastri garuk-garuk kepala.

“Uwis, uwis. Panjenengan ki uwis tuwo malah do ribut,” kata ibuk-ibuk penjaga warung menengahi. “Kasihan mbaknya ini, lho. Udah nunggu. Maaf ya, Mbak. Bentar saya lihat dulu alamatnya.”

Lastri garuk-garuk kepala lagi.

“Ini bener alamatnya pak Bejo, Mbak,” kata Ibuk-ibuk penjaga warung. Dia lalu menunjuk sebuah rumah di seberang jalan. “Mbak tahu rumah itu?”

“Yang mana, Buk?”

“Rumah yang depannya ada gapura Bali.”

“Ha?”

Rumah sebesar itu? Bejo punya rumah sebesar itu? Pasti salah alamat, fikir Lastri. Tapi bagaimana kalau itu rumahnya Bejo? Kalau belum dicoba mana tahu?  Daripada penasaran, fikirnya lagi. Dan dia kembali berjalan. Mendekati rumah itu.

Sepasang gapura Bali berwarna coklat kehitaman menyambut Lastri ketika sampai di depan rumah, lengkap dengan dua ekor patung macan di masing-masing gapura. Gapura itu menjulang tinggi─sekitar lima meter, dan jarak antar gapura sekitar satu meter; ada semacam tangga bertingkat untuk memasuki rumah itu. Di depan gapura, bunga bougenvil setinggi satu meter berwarna merah dan putih dibuat bergerombol dan membulat, kemudian setiap bulatan disusun secara rapi dan berderet. Di samping kanan dan kiri gapura dibentangkan tembok berwarna coklat kehitaman pula. Dan dibelakang tembok, terdapat dua buah pohon beringin yang sangat besar.

Lastri memberanikan diri menengok ke dalam, mulai menaiki tangga di antara dua gapura. Halaman rumah itu sungguh luas. Dan… Joglo! Sebuah rumah Joglo berdiri kokoh dengan megah.  Dan dibelakang Joglo itu mungkin masih ada bangunan lagi! Sungguh gila, fikir Lastri.  Kemudian di sebelah kanan. Ada sebuang bangunan kecil menyerupai rumah di samping pohon beringin yang besar, dan di dinding tembok bangunan itu diberi gambar anak-anak sedang menggambar, bernyanyi, menari, dan menulis. Dan di depannya terdapat mainan untuk anak anak; ayunan, prosotan, bak yang penuh pasir pantai, jungkat-jungkit.

Dia lalu melihat ke sebelah kiri. Sebuah pohon beringin berdiri dengan kokoh, yang disampingnya terdapat bangunan kecil menyerupai candi. Di depan candi kecil itu, terdapat bunga yang dibungkus daun pisang (hal ini yang membuat Lastri semakin tidak percaya karena dia ingat betul bahwa Bejo termasuk golongan Abangan; orang yang mempercayai Gusti Allah, tetapi sekaligus suka hal yang berbau klenik-klenik). Diangkatnya tangan kanan dan ditamparkan ke pipinya. Sakit. Ini bukan mimpi. Lalu ingatannya seolah terlempar ke masa lalu. Tujuh tahun lalu. Pada suatu malam di sebuah angkringan yang berada di depan redaksi Kedaulatan Rakyat, di jalan Mangkubumi Yogyakarta, Bejo mengajaknya makan malam dan mereka berdua mengobrol. “Besok aku pengen jadi ibu rumah tangga,” kata Lastri, “punya rumah mewah yang megah. Lengkap dengan perabotan mahal. Kalau kamu, Bejo?” Dan pertanyaan itu membuat Bejo garuk-garuk kepala.“Aku sih pengennya nulis cerita. Cerita hidupku. Siapa tahu bisa dibuat buku dan bermanfaat. Kalau rumah? Daridulu sudah punya rencana bikin rumah Joglo, lalu di depannya ada gapura Bali. Syukur-syukur bisa bangun panti asuhan buat anak-anak yang putus sekolah, atau sanggar seni.” Lastri lalu tertawa terbahak-bahak. “Mau nulis cerita? Ya ampun, Bejo! Hidupmu itu nggak jelas. Mendingan juga kisah asmaraku sama Emon! Terus mau bangun rumah Joglo? Gapura bali? Panti asuhan? Kuliahmu aja nggak jelas kayak gini. Ngimpi! Hahaha.”

Suara bocah kecil yang sedang berlarian di halaman rumah membuyarkan lamunannya. Dipandanginya anak kecil tersebut dan dia tersenyum. Tapi anak itu berlarian ke dalam rumah Joglo, menghampiri puluhan anak kecil lainnya yang bergerombol dengan tangan memegang kuas cat. Kemudian mendekati seorang wanita muda yang berdiri sambil memperhatikan hasil gambar anak-anak itu.

“Ibu guru,” kata bocah itu. “Ada tamu.”

“Tamu?” tanya wanita muda itu. “Siapa?”    

“Ndak tahu, bu guru. Tuh orangnya lagi berdiri di depan. Celingukan kayak orang linglung.”

“Yaudah.., Anak-anak, ibu kesana sebentar ya? Ada tamu. Jangan lupa gambarnya diterusin.”

“Iya, bu guruuu!!”

Kemudian, wanita muda itu berjalan mendekat dan Lastri sedikit gelagapap karena ketahuan memasuki rumah orang tanpa permisi. Dia melihat wanita itu dan langsung melongo. Wanita itu berkacamata hitam dan rambut hitam panjangnya diikat simpul di bagian belakang serta memiliki poni yang menyamping ke kiri. Wajahnya yang putih bersih nampak berkilauan seperti permata dan terasa menentramkan. Alisnya tipis. Dan mata hitam itu, mata hitam itu begitu menghanyutkan─mata yang membuat lelaki mana pun di dunia rela bersimpuh dan bertekuk lutut. Bibirnya yang tipis berwarna merah muda. Tubuhnya yang padat dan memikat dibungkus kemeja kotak-kotak berwarna putih dengan garis hitam; dilinting sekitar satu jengkal dari pergelangan tangan. Jam tangan berwarna perak terpasang di tangan sebelah kanan serta gelang berwarna hitam di sebelah kiri. Kakinya diselimuti jeans warna hitam yang dipadukan dan mengenakan sepatu Converse berwarna hitam pula.

“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanya wanita itu.

“Mmhh, nganu,” kata Lastri, gugup. “Apakah ini benar rumahnya Bejo?”

“Iya, betul.”

“Bejonya ada?”

“Waduh, kebetulan mas Bejo sedang keluar, Mbak, ada urusan sebentar. Kalau boleh tahu, ada urusan apa ya, Mbak?”

“Saya Lastri, temen kuliahnya Bejo. Kalau anda sendiri?”

Wanita muda itu tersenyum kecil. Manis. Pipinya nampak memerah. Dia kemudian menjulurkan tangannya.

“Saya Ratna,” kata wanita muda itu. “Istrinya mas Bejo.”

Lastri terdiam. Hatinya sangat terguncang dan nafasnya ngos-ngosan, seolah-olah tubuhnya baru saja dihempaskan dari atas gedung yang berlantai 10 tanpa mengenakan parasut terlebih dahulu dan harga dirinya kocar-kacir berserakan di lantai; pria yang dulu dihinanya, diperlakukan bagaikan sampah, sekarang berhasil menikahi seorang wanita yang mempunyai kencatikan sempurna. Lihat saja senyum itu, batin Lastri, senyum yang mampu membuat lelaki di belahan bumi mana pun ingin sesegera mungkin menggotong Ratna ke KUA.

“Mbak?” panggil Ratna dan menggerak-gerakkan tangan kanannya di depan wajah Lastri. “Mbak nggak papa, kan?”

Tatapan Lastri masih kosong.

“Ayuk masuk ke dalam dulu, Mbak,” kata Ratna. “Pasti mbak Lastri capek. Istirahat dulu aja.”

Tetapi Ratna sudah menuntun tubuh Lastri berserta fikirannya yang sempoyongan menuju ke dalam rumah Joglo. Dia lalu mempersilahkan tamunya untuk duduk di salah satu kursi, yang terbuat dari kayu dan mengelilingi sebuah akar pohon raksasa yang dijadikan kursi. Di samping mereka, masih ada puluhan kursi lain dan di atasnya terlihat proyektor raksasa menggantung.

“Mirip café ya, Mbak,” kata Lastri.

“Ini mah kerjaannya mas Bejo. Katanya biar betah di rumah. Kalau lagi ngumpul sama temen-temennya atau rapat atau nonton film bareng nggak perlu jauh-jauh ngopi di café,” kata Ratna.

Lastri mengangguk dan mereka berdua lalu duduk. Tapi keadaan mendadak hening. Dilihatnya Ratna, yang sedaritadi melihat handfonenya dan cekikikan.

“Kayaknya mbak Ratna sibuk, ya?”   tanya Lastri, mencairkan suasana.

“Ini lho, Mbak,” kata Ratna, “Mas Bejo SMS. Padahal aku udah bilang kalo lagi sibuk ngabarinnya nanti aja nggak papa. Tapi emang dasar keras kepala. Katanya, mas Bejo nggak akan pernah membiarkan aku merasa sendirian. Sedetik pun. Lucu ya, Mbak? Aneh-aneh aja.

Nggak akan pernah membiarkan merasa sendirian? Itu kan kalimatnya… dug! Hati Lastri serasa digetok palu. Nyeri. Lalu, dia menunjuk tumpukan buku yang berserakan di meja untuk mengalihkan pembicaraan.

“Itu buku apa ya, Mbak?” kata Lastri. “Kok dibiarin bergeletakan di meja?”

“Bukunya mas Bejo, Mbak,” kata Ratna. “Dia kan emang suka nulis dari dulu.”

“Akhirnya Bejo bisa juga bikin buku, ya,” kata Lastri. “Padahal waktu kuliah bolosan melulu gara-gara tidur.”

“Iya, mas Bejo juga cerita. Dulu kalau kuliah sering bolos. Sampek pernah diusir dosennya juga dari kelas. Tapi, sebenernya mas Bejo itu bolos kuliah nggak gara-gara tidur, kok. Kalau malem dia itu nulis. Dia kan emang suka nulis, Mbak. Gimana mau bangun pagi? Dia aja kalau nulis kadang sampe subuh. Dia emang kalau ngaku ke temen-temennya tidur. Katanya, nggak ada gunanya ngomong sama orang-orang. Pasti dianggep gila. Lha wong dulu dia belum punya karya apa-apa, Mbak.”

“Jadi, selama ini….”

“Iya, Mbak. Katanya, sih, dia udah pernah cerita sama temen-temennya. Tapi dianggep gila. Dulu waktu kuliah dia selalu dihujat sama semua temen kuliahnya gara-gara bolosan. IPKnya jeblok. Yang lebih parah, mas Bejo waktu kuliah dulu pernah cerita kalo nekat nembak cewek yang ditaksir. Padahal ceweknya udah punya pacar kaya raya. Jelas aja ditolak mentah-mentah.”

“Uhuk!”

“Kenapa, Mbak?”

“Nggak papa, kok.”

Ratna lalu menatap Lastri, yang terbatuk-batuk. Di meja belum ada minuman. Mungkinkah ini sindiran karena dia belum menyuguhi minuman?  Fikir Ratna.
“Pasti mbak bosen ya mendengar cerita saya tentang mas Bejo? Iya juga, sih. Kan mbak temen kuliahnya. Pasti  udah tahu,” kata Ratna. “O, ya. Saya buatkan minuman dulu bentar ya, Mbak. Kayaknya mbak Lastri haus.”      

“Ya ampun, nggak usah repot-repot.”           

“Nggak papa, Mbak. Temennya mas Bejo kan temenku juga.”

Ditinggal sendirian di rumah sebesar ini membuat Lastri kebingungan. Namun juga penasaran. Dia melihat sekeliling, lalu menggeleng. Sebuah lukisan Soekarno yang berukuran besar menyapanya di sebelah kiri. Lalu disusul puluhan wayang kulit yang ditempelkan di dinding serta bermacam-macam keris. Dan di dinding bagian kanan terdapat lukisan Chairil Anwar yang besar pula, seolah-olah olah memandanginya dengan sinis sambil memegang putung rokok. Dibawahnya terdapat lemari dari kayu berderet, yang mungkin berisi ribuan buku. 

Kemudian, deretan foto itu. Fotonya Bejo! Dia kemudian melangkahkan kaki menuju foto itu, yang berada di dinding bagian belakang dan memandanginya. Anak ini memang tidak berubah, fikir Lastri, bahkan kekonyolannya masih tetap berlanjut sampai menikah. Di foto paling atas, terlihat Bejo yang meminta gendong Ratna dengan latar angkringan yang ramai; raut wajah Ratna yang meringis karena tertindih ditambah ekspresi muka Bejo yang konyol membuat siapapun yang melihatnya menahan geli. Dibawahnya, ada foto Bejo sedang melihat dua orang bencong sampai ngiler dan Ratna memukul kelapanya dari belakang. Ada juga foto Bejo yang berpura-pura menjadi tukang sapu jalanan dan Ratna memeluk tubuhnya dari belakang. Dan yang paling menyita perhatiannya adalah, foto ketika Bejo dan Ratna makan malam berdua di sebuah angkringan. Mereka berdua duduk dan saling menyuapi nasi kucing dengan tangan dan saling melontarkan senyum ketika mata mereka bertatapan; seluruh pengunjung di sekitarnya nampak tersenyum melihat adegan ini. Lantas di atas foto itu tertulis, bahagia itu sederhana.

Lastri tersenyum. Dirabanya foto-foto tersebut dengan tangan kanannya, begitu pula kenangan di pelupuk hatinya yang ikut tersentuh. Masih terasa hangat dan penat.  Dia lalu menitihkan air mata. Tujuh tahuh lalu, dialah yang ada di foto itu. Tujuh tahun lalu, dialah yang bersanding dengan pria konyol yang selalu memegang rokok dan mengepulkan asap putih seperti cerobong asap serta berkelakuan aneh menyerupai orang idiot. Menghabiskan waktu berjam-jam  di angkringan untuk sekedar mengobrol atau bercanda atau melakukan hal-hal yang konyol─seperti menggoda para bancong. Lalu malam harinya mengiriminya deretan kata-kata yang membuatnya geli dan cekikikan. Tujuh tahun lalu…

Dengan derap langkah yang sempoyongan, dia berjalan menuju gerbang keluar. Langkahnya semakin memberat. Namun dia memaksakan dirinya untuk terus berjalan tanpa melihat ke belakang. Dan tanpa tersadar, air matanya terus berjatuhan.[]




Terima kasih kepada Taufiq Ramadhan, orang yang dengan sukarela mendengarkan cerita ini dituturkan secara menggebu-gebu oleh seorang pemuda  di warung kopi pada sebuah malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar