Sebelum kau bertanya, “Kenapa cerita ini berjudul
tamparan?” manusia lebih dahulu diperbudak oleh uang.
Gadis itu bernama Lastri. Dia berkerudung, dan juga
cantik. Beruntunglah Lastri ini, dia dilahirkan di keluarga yang
mampu dan jauh dari kata melarat─golongan pejabat. Orang-orang menyebutnya anak
kesayangan karena semenjak bayi dia tak pernah mengenal mencuci baju, setrika, memasak, apalagi macul di
sawah. Boro-boro mencocok tanam, menginjakkan kaki di genangan air saja
membuat Lastri risih.
Pernah suatu ketika, dia menginjak genangan air ketika berjalan di sepanjang jalan Malioboro bersama seorang pemuda. Dan saat itu juga, dia langsung menjerit, “Ihh.. jorok banget!” Seperti orang yang kebakaran jenggot, Lastri langsung berlari menuju kamar mandi
untuk membersihkan kakinya yang kotor.
“Ihh.. jorok banget!”
***
Bagaimana mungkin ada orang yang berkata kalau
Indonesia adalah bangsa yang kere? Lihat saja tempat parkir kampus itu. Sudah
penuh sesak oleh ratusan motor dan Lastri kebingungan setengah mati mencari
lahan kosong guna memarkir motornya. Dia terpaksa berkeliling, kesana-kemari,
tengok kanan-tengok kiri demi memarkirkan motornya.
Dan ketika dia mulai turun dari motor, di kejauhan seorang gadis terlihat berteriak memanggili namanya; tanggannya dilambai-lambaikan dan
dia berjalan mendekat.
“Lastri!” kata gadis itu. “Masih inget aku?”
“Eh, Arimbi ya?” tanya Lastri. “Mau kemana?”
“Ini mau kuliah. Tapi masih nanti jam satu.”
“Duduk dulu aja, yuk! Udah lama nggak ketemu
kamu.”
Mereka berdua kemudian berjalan beriringan menuju
lingkungan kampus. Di sebuah kursi kayu yang berderet rapi, yang berada di
samping musholla, mereka berdua duduk. Tepat di depan mereka, mahasiswa
berlalu-lalang tiada hentinya seperti sekerumunan semut yang sibuk mencari
makan. Suara mahasiswa yang bercanda gurau juga terdengar riuh. Lengkap dengan
ocehan Lastri dan Arimbi yang saling beradu suara.
Arimbi adalah gadis yang dikenal Lastri ketika OSPEK dulu. Sudah setahun
mereka tidak bertemu. Kau tahu, tugas kuliah yang memilukam serta kehidupan kuliah yang terkesan egois membuat mahasiswa lupa
akan segalanya─termasuk teman mereka sendiri. Dan seperti para wanita umumnya, pada akhirnya mereka berdua
asyik bercerita sembari menggosip tentang kehidupan pribadi mereka.
“Kamu sekarang gimana, Lastri?” tanya Arimbi menyelidik. “Udah punya pacar belum?”
Wajah Lastri mulai
memerah seperti irisan semangka. Dia tersenyum ke arah Arimbi.
“Kamu inget Emon, nggak?” tanya Lastri.
“Inget, inget!” jawab Arimbi. “Temen OSPEK kita, bukan?”
“Iya. Sekarang aku jadian sama
Emon.”
“Ya ampun. Selamat ya!”
Arimbi memeluk Lastri, seakan dia ikut merasakan kebahagiaan yang Lastri rasakan. Lalu fikiran Lastri membumbung tinggi, seolah
berusaha menyentuh langit tertinggi, dimana tambatan hatinya seolah menjelma
jadi awan dan dengan setia menungguinya disana. Seorang pemuda berambut cepak,
bertubuh tebal yang terlihat seperti badak hamil, berkacamata tebal, dan berdompet
tebal tentunya.
Senyum kecil tersungging dari bibir Lastri yang merah.
Jiwanya seolah terbang ke kahyangan ketika ia membayangkan Emon─kekasihnya. Wajah
Emon mungkin menyerupai celeng dan tak akan pernah bisa menandingi ketampanan
para artis meskipun dia melakukan operasi plastik. Namun kehidupannya, tak
perlu diragukan lagi. Tanpa perlu pergi ke dukun untuk menggadakan uang atau
menjaga lilin untuk mengepet, dompet Emon selalu penuh dengan puluhan lembar
uang bergambar Soekarno. Ketika berpacaran dengan Lastri, Emon sangat anti
dengan kendaraan roda dua. Paling jelek naik taksi. Ketika makan, tak pernah di
warung bertenda. Ketika berpacaran, selalu di mall. Uang telah menyelimuti
kisah asmara mereka. Pasangan yang satu ini sepertinya mengeluarkan uang lebih
sering daripada mengeluarkan udara ketika bernafas.
Khayalan Lastri rontok akibat tepukan tangan yang dilayangkan
Arimbi di pundaknya.
“Eh, Lastri,” kata Arimbil. “Lihat cowok itu, deh!”
Arimbil menunjuk seorang pemuda berambut jambul dan
bertubuh gagah yang sedang duduk di taman kampus dan terlihat sibuk merokok,
pada sebuah bangku di bawah pohon beringin. Dia memakai kemeja berwarna biru
muda yang dilinting dan jam tangan di tangan sebelah kiri. Celanan jeans belel
warna hitam nampak berwarna elok ketika dipadukan dengan sepatu Converse warna
hitam. Dan dipangkuan pemuda itu terdapat sebuah laptop biru, dan
jari-jemarinya memencet tombol keyboard.
“Kamu sadar nggak, sih,” kata Arimbi. “Daritadi dia
ngeliatin kamu terus, loh!”
“Oalah, orang yang lagi duduk mirip patung
pancoran? Itu temenku─Bejo,” kata Lastri. “Anak Sastra Fisika”
“Lumayan ganteng ya? Dia juga keren, deh,” kata Arimbi. “Jarang banget ngeliat anak kampus sini
yang suka dandan kayak gitu.”
“Biasa aja, Arimbi. Orang nggak ganteng gitu! Cuma
gayanya aja yang keren.”
“Kok kayaknya daritadi
sibuk maenan laptop terus?”
“Tauk, deh. Bejo emang selalu sibuk dengan laptopnya. Ngetik gitu. Katanya, sih, lagi nulis cerita hidupnya, sekalian bikin tulisan buat ngepost di blognya. Padahal blognya sepi. Nggak ada yang baca!”
Lastri tertunduk. Sedikit ada niat penghinaan dibalik senyumnya yang
sinis.
“Orang aneh,” kata Lastri.
“Aneh gimana?”
“Dia itu tukang bolos. Kalo di kelas kerjaannya baca
buku. Jeda kuliah maenan laptop sambil ngetik. Pengendiri gitu, deh. Tapi kalau
bertemu sahabatnya, tingkahnya pecicilan persis orang kesetanan. Mirip
psikopat.”
“Mau jadi penulis, kali.”
Lastri tertawa terbahak-bahak.
“Penulis dari Hongkong? Orang kayak dia mana mungkin jadi
penulis,” kata Lastri. “Kuliah aja sering bolos gara-gara tidur. IPK jeblok. Pokoknya kayak nggak punya masa
depan! Mending juga Emon. Kalau pacaran naik mobil. Masa depan cerah.”
“Eh, Lastri, kamu nyadar nggak sih?” Arimbi kembali
menepuk pundak Lastri. ”Bejo diam-diam ngeliatin kamu terus, lho.”
“Biasa aja, deh. Bejo kan temen aku.”
“Jangan-jangan…”
“Jangan-jangan apa, Arimbi?”
“Jangan-jangan Bejo suka kamu, Lastri.”
“Najis! Aku nggak mau sama Bejo!”
“Loh? Kenapa? Dia kan lumayan ganteng. Keren lagi.”
“Aku sebenernya lumayan deket sama Bejo. Kita sering
makan malam bareng. Tapi…”
Lastri berdiri, berkacak pinggang dan jari telunjuknya
diarahkan kepada Bejo.
“Bejo tuh ya,” kata Lastri, “Kalau ngajak makan pasti di angkringan. Nggak level! Aku aja kalau makan sama Emon, pasti
di warung makan yang mewah. Jijik banget harus makan di pingggir jalan. Mana
kumuh. Kotor. Ogah, pake banget!”
“Oh.., gitu ya, Lastri.”
Arimbi menggelengkan kepalanya. Dia tak habis pikir, di
dunia ini masih ada wanita seperti Lastri. Karena merasa tidak nyaman dengan
keadaan ini, Arimbi lalu mulai berdiri.
“Aku kuliah dulu,” kata Arimbi.
“Loh, kok keburu-buru?”
Tapi Arimbi sudah berjalan menjauh. Meninggalkan Lastri
dengan penuh tanda tanya.
***
Bejo mempunyai kebiasaan buruk yang susah sekali
dihilangkan, yaitu bangun kesiangan. Dia bangun pukul sebelas. Padahal kuliah
dimulai pukul sembilan. Maka tanpa rasa sesal, dia duduk sendiri di sebuah
bangu, di depan ruang kelas. Disampingnya berdiri sebuah tong sampah. Dan
setiap orang yang berjalan melewati Bejo, pasti terlihat tertawa geli. Sungguh
hal yang wajar. Antara Bejo dengan tong sampah memang mempunyai kemiripan. Pasti
mereka berfikiran bahwa Bejo sedang duduk dengan saudara kembarnya.
Kemudian dilayangkannya pandangan mata ke sekeliling.
Semua orang masih saja menatapnya dengan tatapan, yang kurang lebih bermaksud
menghina dan menyamakannya dengan tong sampah. Lalu dia memutuskan untuk mulai
berdiri dan berjalan ke pinggir gedung perkuliahan. Tepat disini─gedung lantai
dua─, bangku taman kampus terlihat ramai. Sekerumunan gadis berkerudung saling
bergerombol dan berbincang-bincang serta pasangan kekasih yang saling
bergandengan. Sungguh pemandangan yang mengiris hati. Kesepian perlahan terasa
menggerogoti.
Dan, tanpa terduga, seorang gadis berkerudung terlihat
berlari di ujung koridor. Dia terus saja meneriaki nama Bejo. Bejo menengok,
aliran darahnya terasa memanas akibat perubahan hormon lelaki. Gadis itu
membuat fikirannya kocar-kacir seperti seorang pengemis yang baru saja menang
judi lotre senilai seratus juta. Dilihatnya gadis itu tanpa berkedip dan
celananya tiba-tiba terasa ketat. Kerudung biru tua membungkus wajahnya yang
putih. Matanya menyipit dan alisnya tipis menyerupai gadis keturunan Tionghoa.
Bibirnya tipisnya merah merona. Kemeja coklat muda yang ketat dan celana jeans
berwarna biru membuat gadis itu terlihat memikat; dadanya terlihat sedikit
menyembul dan lekuk tubuhnya yang memesona itu terlihat dengan jelas, membuat
lelaki mana pun di dunia menelan ludah.
“Lastri?” kata Bejo. “Habis darimana?”
“Seharusnya aku yang bilang kayak gitu!” kata Lastri.
“Kamu kemana aja kok nggak berangkat kuliah? Aku cariin di kelas nggak ada.”
“Baru bangun tidur.”
“Kamu udah sebulan nggak kuliah. Kamu pernah mikirin
kondisi perkuliahanmu, apa?”
“Bahas kuliahku nanti dulu, Lastri. Sekarang ada yang
jauh lebih penting.”
“Apa?”
“Hari ini kamu cantik. Sangat cantik.”
Dipuji seperti itu membikin Lastri tersenyum dan
pipinya memerah. Namun tak lama, senyum itu memudar, seperti bintang yang
kehilangan cahayanya. Hampa. Dia menduduk dan keningnya mengerut. Fikirannya
seolah sedang memikirkan suatu masalah yang begitu memilukan.
“Ada apa, Lastri?” tanya Bejo, yang mulai mengerti
perubahan pada raut wajah Lastri. Dia tak perlu meraih gelar sarjana untuk
menyadari keadaan ini. “Apakah ada masalah?”
“Nggak papa, Bejo,” kata Lastri.
“Kalau seorang wanita mengucapkan kata nggak papa, itu artinya ada apa-apa.”
“Aku nggak papa, Bejo. Cuma sedikit nggak enak badan
aja.”
Bejo tersenyum kecil. Tangan kananya mulai meraih
sebungkus rokok dan mengambil sebatang, dan dinyalakannya rokok itu.
Pandangannya melayang jauh ke angkasa sambil mengepulkan asap rokok itu.
“Aku kenal kamu nggak sehari-dua hari,” kata Bejo.
“Kamu mau cerita sama aku, tapi ragu, kan?”
Lastri terdiam. Tubuhnya membeku dan mulutnya membisu.
“Kalau ragu nggak usah cerita aja,” kata Bejo. Mulai berjalan menjauh. “Aku mau beli kopi dulu.”
Lastri samakin termangu. Tangan kananya diangkat dan
digunakan untuk menggaruk-garu kepalanya. Digigitnya bibir bawah yang berwarna
merah itu. Kegelisahan telah mengalahkan keraguannya. Lalu, dia berlari ke arah
Bejo dan menarik tangannya.
“Kenapa kamu malah pergi?” tanya Lastri. “Jahat! Jahat!
Jahat!”
“Karena kamu tidak percaya aku,” kata Bejo.
“Sebegitu pentingkah arti sebuah kepercayaan bagimu?
Sampai tega sekali ninggalin aku sendirian.”
“Ibuku pernah berpesan, jangan pernah mudah percaya
pada siapa pun. Amanah itu akan aku ingat sampai kapan pun,” kata Bejo. “Aku
tidak pernah bercerita tentang kehidupanku kepada orang yang tak pernah
kupercaya. Maka, sudah selayaknya aku tidak memaksa seorang pun di dunia untuk
percaya kepadaku.”
“Maafkan aku, Bejo, bukan maksudku buat nggak
mempercayaimu. Aku cuma malu menceritakan kisah ini.”
“Tidak apa-apa.”
“Kan sekarang kamu mau mendengarkan ceritaku? Sumpah!
Aku galau tingkat dewa.”
“Dengan senang hati, Lastri. Siapa
tahu aku bisa membantumu.”
“Ini semua tentang Emon.”
“Emon? Temennya Nobita yang punya kantong ajaib?”
“Itu Doraemon! Aku serius, Bejo! Aku lagi cerita
tentang pacarku.”
Bejo tertawa.
“Sudah kutebak,” kata Bejo. “Lebih dari seribu kali kamu
mengeluhkan pacarmu itu.”
“Tapi kali ini dia keterlaluan,” kata Lastri. “Di SMS nggak mbales. Ditelfon nggak diangkat. Udah seminggu dia nggak ngasih kabar. Diajak ketemu buat sekedar ngobrol
aja nggak bisa. Keadaanya kayak gini terus. Nggak
berubah. Udah hampir satu tahun sifatnya bikin aku sumpek. Yang lebih parah,
kalau semisal kita ketemuan, dia selalu menganggap peristiwa itu nggak pernah
terjadi. Kalau diterusin bakal berantem. Dan yang paling nggak aku suka, dia
suka banget maen tangan dan nampar aku sesuka hatinya.”
“Siapa tahu dia lagi
sibuk?”
“Enggak, Bejo. Kalau siang aja aku lihat dia maen
sama temen-temennya. Padahal bilangnya sama aku lagi
tidur siang. Dia tuh penipu! Cowok bajingan!
“Lha kamu kok masih mau aja pacaran sama Emon?”
“Aku tuh pacaran udah hampir 1 tahun, Bejo. Masak putus gitu aja?”
“Kalau aku beneran sayang sama pasanganku, satu hari saja tidak bertemu serasa satu abad. Setahu aku, kalau cowok
beneran sayang cewek, pasti bakal menjaga pasangannya, bakal perhatian sama pasangannya, bakal membuat pasangannya
tersenyum, tertawa lebar, selalu berusaha membuat pasangannya bahagia. Dan yang
pasti, tidak akan membiarkan pasangannya
selalu merasa sendiri. Nah, ini cowokmu, tidak menghubungi kamu seminggu, lho. Kamu tahu apa artinya
kan? Kamu masih mau meneruskan hubunganmu?”
“Terus aku harus gimana, Bejo?”
“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.“
“Tapi aku sayang dia, Bejo. Aku cinta banget sama
dia.”
“Hidup itu pilihan, Lastri. Hubungan itu ibarat membangun sebuah rumah. Kamu bakal tetep berusaha mati-matian membangun rumah,
padahal udah sadar kalau rumah yang kamu bangun tidak akan jadi. Kamu juga harus menerima kenyataan pahit, kalau pasangan kamu cuma
diam dan selalu merusak rumah yang berusaha kamu buat. Atau, kamu akan berhenti membangun rumah. Kamu bakal membangun rumah baru
dengan orang baru. Orang yang dengan
ikhlas membantu membangun rumah kamu. Menjaga rumah kamu. Merawat rumah kamu agar
selalu kokok dan terlihat indah.”
“Iya sih. Tapi dia emang
tipikalnya cuek, kok. Tapi kalau sekalinya
ketemu, dia tuh romatis banget.”
“Bagus.”
“Kok bagus?”
“Katamu orangnya romantis?”
“Tapi aku nggak suka
sikapnya yang kayak gitu. Tapi, dia
sebenarnya orang yang baik. Romantis. Kalau makan aja, nggak pernah di
angkringan. Nggak level deh kita di
warung makan yang bertenda. Kalau ke mall gitu, aku dibeliin tas, sepatu. Mana kemaren aku sempet diajak keluarganya liburan ke luar Jawa.”
“Oh..” kata Bejo lirih. Dia lebih memilih terdiam.
Petuah dari seorang mahasiswa kere yang menyerupai
gembel tidak akan pernah digubris oleh seorang permaisuri cantik yang
bertahtakan harta.
***
Kamar itu semakin pengap akibat kelupan asap rokok yang
mulai memenuhi ruangan. Pertama, asap itu menyentuh puluhan buku berceceran di
lantai. Kemudian menjalar ke dinding kamar, menerjang gambar Soekarno dan
Chairil Anwar yang terpajang disana. Dan pada akhirnya, membasuh seluruh
dinding kamar yang penuh dengan kata cacian─dasar
tukang bolos, dasar goblok, dasar penyendiri, dasar tukang tidur, dasar masa
depan suram, mahasiswa nggak punya masa depan, dan sebagainya.
Bejo menghempaskan tubuhnya di kasur. Kepalanya
menengadah dan fikirannya dilayangka ke atas, tinggi sekali, seolah-olah ingin
menembus langit-langit kamar dan berusaha untuk melayang disana, berterbangan,
melepaskan belenggu kepedihan yang merantainya. Perlahan, dia memejamkan mata dan dirabanya pedalaman
hatinya. Lalu didapatkannya sebuah perasaan yang terus meronta-ronta, menunggu
untuk dibebaskan dari jeruji kemunafikan. Perasaan yang hanya diketahui oleh dirinya
sendiri dan Tuhan.
Sekeras mungkin Bejo berusaha untuk melenyapkan
perasaan itu. Namun tak kunjung hilang.
Gambaran gadis berkerudung masih saja membanjiri batok kepalanya. Lastri! Lalu,
tanpa dikomando, syaraf-syaraf otaknya terus saja memikirkan gadis berkerudung
itu.
Semakin Bejo membohongi diri sendiri, semakin sadar
pula bahwa dia begitu mendambanya. Pertemanan yang mereka rajut, telah
menumbuhkan benih cinta di hati Bejo. Lama-kelamaan, benih cinta itu semakin
tumbuh dengan subur tanpa perlu dipupuk dan tanpa pernah bisa dikendalikan.
Dan, rasa cinta itu kian lama menjalar ke seluruh tubuhnya, sampai ke pedalaman
dan menggerogotinya.
Setiap malam dia selalu membayangkan wajah Lastri.
Mengaguminya secara diam-diam. Membuka facebooknya dan mengunduhnya, dan
menyimpannya dalam laptopnya. Kemudian, sebelum tidur, dipandangi terus foto
itu. Berharap Tuhan mempertemukannya lewat mimpi, sehingga dia bisa memeluknya
dengan erat.
Namun kenyataan membuat hatinya ngilu, seolah-olah
dadanya dipukul berkali-kali dengan martil. Setiap kali, ketika mereka berdua
keluar bersama, Lastri selalu bercerita tentang kekasihnya. Disaat Lastri
sedih, dia bercerita tentang betapa biadapnya kekasihnya dan membuat Bejo
geram. Dan disaat Lastri bahagia, dia bercerita tentang betapa baik kekasihnya
dan membuat Bejo cemburu buta. Bejo selalu menjadi pendengar setia Lastri, dengan
harapan, kelak suatu saat Lastri akan sadar bahwa dialah pria terbaik baginya.
Andai Lastri jadi kekasihku, fikir Bejo, aku tak akan
pernah membiarkan dia terluka dan
melindunginya; selalu ada untuknya setiap detik tanpa pernah membiarkan
dia merasa sendirian. Tapi, apakah itu mungkin? Aku hanya mahasiswa amburadul
dan seorang pemimpi besar. Sedangkan Emon? Dia pemuda yang kaya raya. Anjing,
umpat Bejo. Lasti tak akan pernah mau menjadi pendamping hidupku. Tapi, tapi
bagaimana aku bisa tahu kalau aku tidak menyatakan perasaanku? Lastri toh
bukanlah seorang dukun yang bisa membaca isi hati manusia?
Pegolakan hati Bejo malam itu menghasilkan satu
keputusan: dia akan menyatakan cintanya kepada Lastri. Tak peduli apa pun yang
peduli. Tak peduli! Maka, dia mulai berlari menutup pintu dan mengendarai motor
menuju kos Lastri. Malam tanpa bintang. Kerumunan awan tebal berwarna hitam
bergerombol di udara. Bejo terus mengendarai motornya dan tanpa terduga,
jutaaan tetes air hujan mulai turun dari langit.
Dia berdiri di sebuah jalan kecil di sebuah deretan
rumah yang menyerupai perumahan, dan diambilnya sebuah handphone guna
menghubungi Lastri. Hujan semakin menderas. Angin mulai menderu dengan lebat,
yang membuat pepohonan di sekitar jalanan bergoyang ke kanan dan ke kiri. Bajunya mulai basah kuyup. Udara dingin mulai
menusuk-nusuk kulitnya. Namun dia masih mencoba bertahan. Tubuh yang membeku
tak lebih memberi penderitaan daripada hati yang membeku. Dan…
Persetan dengan hujan, fikir Bejo. Tanpa perlu menunggu
hujan reda, dia bahkan bisa melihat gadis yang lebih indah dari pelangi sekali
pun. Dia lalu tersenyum. Lastri berjalan dari dalam rumah dengan tangan kanan
memegang payung berwarna merah. Dia tidak berkerudung; rambutnya yang panjang
menyentuh pundak, memakai kaos oblong berwarna biru tua dan celana pendek dari
jeans.
“Ada apa menelfonku malam-malam begini, Bejo?” tanya
Lastri. “Mana hujannya deres banget kayak gini.”
“Aku mencintaimu, Lastri.”
“Ha?”
“Aku benar-benar mencintaimu,” ulang Bejo.
“Plis. Bercandanya besok aja.”
“Aku sama sekali tidak bercanda. Kamu tahu, Lastri, aku
sangat mencintaimu. Sudah lama aku memendam rasa ini. Setiap malam aku selalu
memikirkanmu. Setiap malam aku selalu membayangkan kamu, lalu berdoa kepada
Tuhan supaya kita berdua dipertemukan lewat mimpi.”
“Kamu gila, Bejo!”
Bejo memberanikan diri menarik tangan Lastri untuk
digenggamnya. Dia lalu menatap mata Lastri dalam-dalam dan mengulangi kalimatnya
seperti orang kerasukan.
“Aku mencintaimu, Lastri!” kata Bejo.
“Udah, Bejo, udah,” kata Lastri.
Kepala Lastri tertunduk. Perlahan dia menarik kedua
tangan yang digenggam Bejo, lalu digunakannya untuk menyeka kedua matanya yang
mulai berkaca-kaca.
“Aku akui, kamu memang pemuda paling baik yang pernah
aku kenal,” kata Lastri. “Tapi hubungan kita hanya sebatas teman. Nggak lebih.
Dan lagi, kamu tahu kalau aku sudah punya Emon.”
“Tapi pacar kamu tuh
bajingan! Dia sama sekali tidak pernah mempedilikan kamu. Ada aku, Lastri, yang siap
menemanimu baik suka maupun duka. Tangis maupun tawa. Sedih maupun bahagia. Ada
aku, Lastri, yang selalu menyayangimu, melindungimu dan tak akan pernah
membiarkan kamu merasa sendirian. Aku jauh lebih baik daripada pacar kamu,
Lastri.
“Ngaca, Bejo, ngaca. Kamu nggak lebih
baik daripada Emon!”
“Tapi aku akan berusaha untuk membuatmu bahagia.”
“Bahagia? Dengan apa? Dengan nilaimu yang jeblok itu?
Dengan buku yang selalu kamu kempit di ketiakmu? Dengan segudang impian
bersarmu yang nggak masuk akal? Atau, dengan tulisan-tulisan konyolmu yang
nggak pernah diterbitin? Hah?”
“Paling tidak aku berusaha untuk berdiri di bawah kaki
sendiri. Tidak seperti pacarmu yang bisanya nyakitin kamu; anak manja yang mengandalkan
kekayaan orang tua.”
“Tutup mulut kamu, Bejo! Kamu sudah keterlaluan,” kata Lastri. “Emon jauh lebih baik dari kamu!
Dan satu lagi, jangan pernah bermimpi mendapatkan cintaku!”
Lastri lalu berpaling muka, dan mulai berjalan memasuki
rumah. Menghilang dari pemandangan mata.
Bejo meraih sebungkus rokok di sakunya dan pemantik
api. Dia hidupkan rokok itu─yang
barangkali hanya dapat bertahan beberapa detik sebelum hujan membasahinya,
dihisapnya dalam-dalam dan dihembuskan ke udara. Lalu dia menatap langit dengan
penuh kekecewaan.
Dan hujan mulai mereda menjadi gerimis...
***
Barangkali kau tak pernah menyadari betapa berartinya
waktu. Seolah-olah bertambahnya usia manusia hanyalah sebuah takhayul, kau
terlantarkan begitu saja, lalu setelah menjadi tua dan keriput kau akan lebih
sering melamun dan meratapi impian
besarmu yang tak pernah bisa kau capai, dan menyesali gunungan kebodohan yang
pernah kau lakukan di masa lalu.
Tujuh tahun telah berlalu, dan Lastri sudah menentukan
pilihaan terbesar dalam hidupnya; dia menikah dengan Emon─pemuda yang
dikenalnya sewaktu mahasiswa dulu. Bisa kau tebak, karena faktor gengi, kedua belah pihak
mempelai mengadakan pesta pernikahan besar-besaran di sebuah gedung auditorium universitas swasta di kota M.─kota dimana
Lastri berasal. Ribuan undangan disebar ke seluruh penjuru kabupaten. Bupati,
pejabat, pegawai negeri, perangkat desa, dan orang berpangkat lainnya datang
berduyun-duyun.
Dan seperti pasangan yang baru saja menikah, tiga hari
kemudian mereka berbulan madu ke pulau
Bali. Sungguh berbahagialah Lastri. Impiannya semenak kuliah untuk pergi ke Bali bersama orang terkasih terwujud. Satu
minggu penuh di pulai Bali, jalan-jalan di Garuda Wisnu Kencana, menikmati matahari tenggelam di Tanah Lot, mencicipi kuliner di sepanjang pantai Jimbaran, berpetualang di
setiap sudut kota dan shopping, berfoto ria sana-sini lalu di upload
ke instargram miliknya. Mungkin ini akan jadi minggu terindah dalam
hidup Lastri.
Namun Tuhan memang Maha Adil. Dalam hidup, kau tahu,
kebahagiaan dan penderitaan saling bersahut-sahutan. Belum genap sehari menikmati liburan, tiba-tiba telephone genggam milik Bimo bergetar. Dia
mengangkatnya dan tangannya menggigil. Hatinya terhentak seperti disetrum
jutaan volt listrik. Telinganya seolah ditusuk linggis. Dia kemudian tertunduk,
dan tanpa tersadar cucuran air mata membahasahi pipinya. Dan dengan jalan yang
gontai, dia mendekati Lastri, yang sedang memilah-milah pakaian di sebuah
butik.
“Kanapa, sayang?” tanya Lastri. “Kok kamu cemberut gitu?”
“Papah sama mamahku.”
“Kenapa sama papah-mamah? Barusan mereka terlfon kamu,
ya? Pasti mereka iri, deh, nggak bisa ikut liburan bareng kita. Atau, mereka
malah mau nyusul kita ke sini?”
“Papah-mamah meninggal dalam perjalanan pulang dari
kota M. Mobil mereka mengalami kecelakaan dan terlindas truck. Hari ini juga
kita harus pulang.”
Maka, berangkatlah mereka hari ini juga menuju kota
B.─tempat kelahiran Emon. Mereka terpaksa naik pesawat dahulu ke Singapura,
lalu dengan kapal pesiar kecil menuju kota B. karena jadwal penerbangan pesawat
domestik baru ada esok hari.
Rumah gedong itu sudah penuh dengan puluhan pelayat
yang sudah memadai kediaman orang tua Emon. Di ruang tamu, dua pasang tubuh
membujur kaku dan bau wangi-wangian terasa menusuk hidung. Disekelilingnya,
sekerumunan orang menitihkan air mata sambil membacakan ayat-ayat suci.
Emon dan Lastri datang tak lama kemudian, diantarkan
oleh sebuah taksi berwarna biru. Para pelayat terlihat lega, karena Emon adalah
anak tunggal dan acara pemakaman tidak bisa dimulai sebelum Emon datang. Mereka
lalu menuntun Emon ke mendiang orang tuanya dan para pelayat mulai berkicau
tanpa henti, berbisik-bisik, lalu menggerombol dan berdengung seperti segerombolan
lebah.
“Lihat tuh, Emon. Anak manja. Dari kecil
selalu dimanja. Hidup kok nggak ada
perjuangannya!”
“Sampai sekarang masih
belum dapet kerjaan. Eh, udah berani ngajak
anak orang nikah!”
“Mana liburan ke luar Bali segala!”
“Kasihan ya, almarhum. Punya anak kayak dia!”
Namun Emon bukanlah kelelawar yang mempunyai tingkat
pendengaran super, sehingga kalimat itu tak pernah sampai didengarnya. Dia
masih saja berjalan dengan tuntunan sanak saudara. Dan ketika melihat kedua
mendiang orang tuanya, dia sontak berlari, menunduk dan bersujud. Air matanya
mengalir dengan deras. Dia pandangi wajah ibunya; bibirnya sudah membiru dan
mata itu, mata yang penuh dengan kasih sayang dan meneduhkan, kini mata itu
telah tertutup untuk selamanya. Lalu dia memandang wajah ayahnya, pria berkumis
itu, yang selalu melindunginya, telah tertidur untuk selamanya.
Sekarang, dihadapannya sendiri, dia harus menyaksikan
orang yang paling dicintainya terbujur kaku, dimandikan, disholatkan, sampai
dikuburkan. Dia menangis dan terus menerus menangis berhari-hari kemudian.
Sampai kemudian, tangisan Emon terhenti dan tiba-tiba dia bertingkah seperti
orang yang terkena gangguan jiwa.
Pada suatu siang, tiga orang pria bertubuh kekar dan
membawa clurit mendatangi rumahnya. Mereka memasuki gerbang, berjalan
sempoyongan, lalu menggedor-gedor pintu rumah. Emon, yang saat itu duduk
termenung di ruang tamu sambil memandangi foto kedua orang tuanya, membuka
pintu. Betapa terkejutnya dia. Tubuhnya mendadak menggigil dan degup jantungnya
memompa lebih cepat.
“Siapa yang bertanggung
jawab di rumah ini!” kata salah satu pria kekar itu.
“Saya, Bang,” kata Emon. “Tapi ada istri saya juga, kok.”
Ketiga pria kekar mengangkat bahu. Lalu Emon
memanggil-manggil istrinya.Lastri,
yang belajar memasak di dapur, terpaksa berlarian ke pintu rumah dan
kebingungan.
“Ada urusan apa ya, Mas?” tanya Lastri.
“Anda tahu, bapak-ibuk anda telah berhutang banyak
kepada bos kami dengan alasan mengembangkan
perusahaan mereka,” kata salah satu pria bertubuh kekar
dan menyerahkan surat-surat. “Kalau tidak percaya, silahkan lihat sendiri. Sekarang bapak-ibuk saudara sudah meninggal. Kami terpaksa akan menyita
semua aset yang almarhum miliki sebagai penebus hutang.”
“Tapi, Bang,” timpal Emon, “Kami sama sekali tidak
tahu menahu soal urusan bisnis mamah-ayah. Apalagi sampai keuangan.”
“Tidak tahu? Anak macam apa kau ini!”
Ketiga pria kekar itu tertawa terbahak-bahak.
“Keuangan keluarga saja sampai tidak tahu,” kata salah satu pria kekar. “Makanya, kalau utang jangan
serampangan!”
Lastri mendekati telinga Bimo untuk berbisik.
“Gimana, sayang?” tanya Lastri.
“Aku juga nggak tahu!”
“Pokoknya kami tidak mau tahu,” kata pria kekar. “Kalau dalam waktu tiga bulan utang kalian tidak lunas? Rumah, mobil, deposito, atm, semua akan kami sita. Dan kalau kalian minggat, akan kami laporkan ke pihak
yang berwajib!”
Tiga orang preman itu kemudian berjalan menjauh. Lastri menutup pintu. Dia menghampiri Emon yang sudah duduk di sebuah kursi sofa berwarna merah
di ruang tamu.
“Gimana, sayang?” tanya Lastri.
“Gimana mata kamu!” bentak Emon. “Aku juga lagi
mikir.”
“Kamu cari kerja aja, sayang. Biar dapat uang,” kata Lastri. Lalu memeluk tubuh Emon dari belakang. “Kita berjuang bareng ya, biar bisa ngelunasin hutang bapak-ibuk.”
Emon melepas pelukan Lastri dan bangkit. Kemudian,
mengacung-acungkan jarinya ke wajah Lastri.
“Uang, uang, uang ! Hanya ada uang yang ada di otak kamu!” lanjut Emon. “Sejak kita pacaran, kerjaanmu tiap hari cuma
ngabisin uang. Belanja ke mall, makan di rumah makan mewah, nonton di bioskop!”
“Kok kamu gitu?”
“Kamu emang istri yang nggak tahu diri. Kamu itu wanita murahan yang cuma mikir kekayaan!”
“Aku emang wanita murahan yang selalu mikirin uang,” Lastri terdiam sejenak. Dia meneteskan air mata, lalu berteriak histeris, “Kalau memang aku wanita
murahan, lalu kamu apa? Kamu cuma suami bajingan. Kamu pria manja
yang ngandelin kekayaan orang tua. Kamu, kamu pengangguran, Mas ! Mimpin diri kamu aja nggak becus. Apalagi kamu mimpin aku!”
“Kamu ngomong apa?! ASU!”
Plak! Sebuah tamparan keras dilayangkan Emon dan darah
segar mengalir dari sudut bibir Lastri.
“Istri nggak tahu diuntung,” kata Emon. “Salah siapa nikah sama aku!”
Emon memalingkan muka, mulai berjalan mengambil sepatu
dan pakaiannya. Kemudian terdengar dengan keras pintu rumah dibanting. Yang
dibarengi dengan jeritan suara Lastri yang melengking.
***
Gadis berkerudung itu duduk di sebuah teras rumah,
memandangi matahari yang mulai turun dengan perlahan. Senja. Keadaan hati
Lastri semakin porak-poranda, seolah-olah baru saja diterjang ombak Tsunami.
Tubuhnya semakin mengurus dan matanya selalu terlihat membengkak seperti maling
yang habis dikeroyok massa karena ketahuan mencopet.
Dua bulan sudah berlalu semenjak kematian mertuanya dan
cobaan bertubi-tubi selalu melandanya. Pertama, suaminya, yang tingkahnya
semakin menyerupai binatang. Emon, yang dulunya hanya mengenal susu kaleng,
sekarang mulai kecanduan minuman beralkohol. Hampir setiap hari, pagi sampai
sore hari dia kelayapan dan pada malam hari dia pulang ke rumah dengan fikiran
yang sempoyongan dan tangan yang menggenggam botol anggur merah di sebelah kiri
dan foto papah-mamahnya di sebelah kanan.
Kedua, kondisi keuangannya, yang mulai amburadul. Untuk
menyambung hidup, Lastri terpaksa menghubungi keluarganya di kota M. dan
meminta jatah kiriman setiap minggu guna membeli beras, air galon, dan bumbu
masak. Emon sendiri sama sekali tak bisa diandalkan. Lelaki pengangguran itu
hanya bisa menyusahkan, fikir Lastri. Kerjaannya di rumah hanya merenung dan
memandangi foto mamah-papahnya yang sudah meninggal.
Kerapkali Lastri mendekatinya, memeluknya, dan
membujuknya untuk mencari pekerjaan karena sudah kewajibannya sebagai seorang
suami mancari nafkah. Tapi bujukan itu disambut Emon dengan sebuah pertengkaran
dan kata-kata kotor. Dan ketika Lastri mencoba memberontak, puluhan tamparan
dan pukulan diterimanya.
Matahari mulai menghilang dari pandangan dan berubah
menjadi gelap. Sunyi. Lalu, gerombolan awan hitam mulai menyelimuti. Malam
berwarna gelap pekat. Dan, titik-titik hujan mulai turun dari langit, seolah-olah
ikut menangis.
Apa yang dibutuhkan wanita dari seorang pria?
Ketampanan? Harta? Tahta? Sama sekali bukan. Para wanita, kau tahu, mereka
hanya membutuhkan perhatian dan kenyamanan. Seorang pria yang tak pernah membiarkan
mereka merasa sendiri; bisa mereka ajak untuk bercerita ngalor-ngidul─dari hal
sepele sampai hal berat yang membuat kepala puyeng; seorang pria selalu ada
bagi bagi pasangannya meskipun wajah mereka berubah menjadi keriput dan
beruban.
Lastri kemudian menunduk. Wajah suaminya
melayang-layang di batok kepalanya. Lelaki yang dipilihnya sebagai suami dengan
akal waras, kini sedang berusaha membuat akalnya tidak waras. Pengangguran.
Suami tidak bertanggung jawab. Suka nampar. Bajingan. Pemabuk. Pengecut. Apa
lagi? Hampir semua yang ada diri Emon memuakkan dan Lastri seringkali membayangkan
tubuh suaminya menyerupai tong sampah yang berbentuk manusia.
Andai saja Emon selalu mendampinginya dan selalu ada
untuknya, jangankan hutang uang, badai topan sekali pun akan diterjang Lastri.
Andaikan Emon mengajaknya berbicara, membagi beban dan bahu-membahu
menyelesaikan masalah yang dihadapi olehnya. Andaikan Emon seorang nahkoda yang
tangguh dan mati-matian memperjuangkan bahtera rumah tangganya, pasti Lastri
rela mati dipelukannya. Andaikan Emon berusaha menjadi pesulap, yang bisa
mengubah tangisannya menjadi tawa. Andaikan Emon seperti…. Tunggu dulu! Bejo?
Fikiran Lastri melayang jauh, menembus penderitaan,
kemudian tersesat dalam lautan kenangan. Tenggelam dalam masa lalu. Lastri
masih ingat dengan jelas tentang pemuda itu, pemuda yang seringkali mengajaknya
makan malam di angkringan─Bejo. Pemuda yang dengan setia mendengarkan
ceritanya. Pemuda yang dengan setia mendengarkan keluh kesahnya. Pemuda yang
rela melakukan hal-hal konyol─seperti berpura-pura menjadi bencong yang sedang
ngamen─ketika dia sedih dan membuatnya tertawa. Pemuda yang setiap malam
mengiriminya untaian kata-kata lucu lewat pesan singkat, yang membuatnya
tertawa cekikikan. Seorang pemuda, yang dulu, tak pernah membiarkan dia merasa
sendirian dan begitu memujanya bagaikan seorang bidadari. Dan yang tak pernah
dia lupa, seorang pemuda itu pernah disakitinya. Pemuda yang diacuhkannya,
diterlantarkan, lalu dibuang dan dilupakan seperti seonggok sampah.
Lastri tersenyum kecil ketika mengingat semua tentang
Bejo. Tanpa tersadar matanya sudah penuh dengan air. Pemuda idiot yang sukanya
nulis, batin Lastri, kayak apa ya sekarang. Untuk sekali saja, dia ingin sekali
bertemu Bejo. Bertutur sapa, lalu menceritakan kisah cintanya bersama Emon yang
sungguh memilukan. Dia berharap, Bejo mendengarkan ceritanya dengan setia seperti
dulu, bisa memberi solusi atau minimal menghiburnya dengan kelakuannya yang
konyol. Atau bahkan mungkin, dia akan meminta maaf atas perlakuannya di masa
lalu dan meminta keajaiban kepada Tuhan agar pemuda itu kembali mengisi hari-harinya
yang kosong melompong.
Kemudian, Lastri berlarian menuju rumah. Masuk ke kamar
dan mengambil sebuah handfone. Dicarinya nama itu dan ketika tersambung, dia
segera berbicara.
“Halo? Ini bener nomornya Arimbi, kan?”
“Iya, Lastri. Ya Ampun, tumben menelfon. Ada angin apa,
nih? Mau ngajak holiday bareng, yah? Atau, borong-borong?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Kamu tahu alamat rumahnya Bejo?”
***
Sebuah taksi berwarna hijau muda menggiring Lastri
menuju sebuah daerah di pinggiran Yogyakarta. Dia lalu melihat alamat yang
diberikan oleh teman kuliahnya, mencocokkan dengan nama daerah yang terpasang
di penunjuk arah dan menyetop taksinya untuk turun.
Suasana pedesaan masih terasa kental. Jalanan memang sudah di aspal, tapi deretan sawah yang masih terhampar
di samping kanan dan kiri. Pohon-pohon besar menjulang di pinggir jalan dan
burung-burung kecil beterbatangan. Rumah-rumah masih sederhana─terbuat dari kayu dan bambu. Penduduk
yang membawa caping dan cangkul berlalu-lalang tiada henti. Dia lalu menghirup
nafas. Suasana sejuk dan menentramkan dirasakannya meskipun matahari sore
sedikit menyilaukan. Tanpa ada kemacetan. Tanpa ada seruan kendaran bermotor.
Tanpa ada asap yang membuat kerongkongannya terasa panas. Seolah-olah
hiruk-pikuk kota Yogyakarta yang sudah menyerupai kota metropolitan enggan
menyapa tempat ini.
Seorang ibuk-ibuk tua yang memakai kebaya dan bawahan
batik nampak berjalan. Dia menenteng ember kecil dan menggendong bakul (wadah
yang menyerupai ember, terbuat dari anyaman bambu) yang berisi botol-botol.
“Jamu, Mbak?” kata Ibuk itu.
“Tidak, Buk,” jawab Lastri, lirih.
Lastri kemudian tersenyum. Ditentengnya tas kecil dan
dia berjalan. Di kejauhan ada sebuah warung kecil, dimana ada sekerumunan
bapak-bapak sedang merokok. Awalnya dia ragu. Tapi kemudian memberanikan diri
untuk mendekati. Berjalanan menunduk, lalu bertanya.
“Permisi, Pak,” kata Lastri.
“Iya, Mbak,” kata salah satu bapak.
“Saya boleh numpang tanya? Tahu alamat ini enggak, Pak? “
Bapak-bapak itu lalu menggaruk-garuk kepalanya─mungkin
untuk mengingat. Dia lalu menepuk dengan keras lututnya.
“Owalah! Iki alamat’e pak Bejo, kan?” tanya bapak itu dalam bahasa jawa kepada bapak-bapak yang lain.
“Iyo, po? Tenan pora? Mengko salah.”
“Iyo, Dab!
Tontonen.”
“Rasah sok
ngerti. Kowe SMP wae ra lulus goro-goro metengi anak’e wong!”
“Bajigur.
Ngene-ngene aku iso moco, Dab!”
“Gundulmu!
Iso moco apane?Huruf latin ora apal. Lulus SD yo goro-goro dikei kunci jawaban.
Tulisan no smoking wae mbok kiro dilarang kencing.”
Lastri garuk-garuk kepala.
“Uwis,
uwis. Panjenengan ki uwis tuwo malah do ribut,” kata ibuk-ibuk penjaga warung menengahi. “Kasihan
mbaknya ini, lho. Udah nunggu. Maaf ya, Mbak. Bentar saya lihat dulu
alamatnya.”
Lastri garuk-garuk kepala lagi.
“Ini bener alamatnya pak Bejo, Mbak,” kata Ibuk-ibuk
penjaga warung. Dia lalu menunjuk sebuah rumah di seberang jalan. “Mbak tahu
rumah itu?”
“Yang mana, Buk?”
“Rumah yang depannya ada gapura Bali.”
“Ha?”
Rumah sebesar itu? Bejo punya rumah sebesar itu? Pasti
salah alamat, fikir Lastri. Tapi bagaimana kalau itu rumahnya Bejo? Kalau belum
dicoba mana tahu? Daripada penasaran,
fikirnya lagi. Dan dia kembali berjalan. Mendekati rumah itu.
Sepasang gapura Bali berwarna coklat kehitaman menyambut
Lastri ketika sampai di depan rumah, lengkap dengan dua ekor patung macan di
masing-masing gapura. Gapura itu menjulang tinggi─sekitar lima meter, dan jarak
antar gapura sekitar satu meter; ada semacam tangga bertingkat untuk memasuki
rumah itu. Di depan gapura, bunga bougenvil setinggi satu meter berwarna merah
dan putih dibuat bergerombol dan membulat, kemudian setiap bulatan disusun
secara rapi dan berderet. Di samping kanan dan kiri gapura dibentangkan tembok
berwarna coklat kehitaman pula. Dan dibelakang tembok, terdapat dua buah pohon
beringin yang sangat besar.
Lastri memberanikan diri menengok ke dalam, mulai
menaiki tangga di antara dua gapura. Halaman rumah itu sungguh luas. Dan…
Joglo! Sebuah rumah Joglo berdiri kokoh dengan megah. Dan dibelakang Joglo itu mungkin masih ada
bangunan lagi! Sungguh gila, fikir Lastri.
Kemudian di sebelah kanan. Ada sebuang bangunan kecil menyerupai rumah
di samping pohon beringin yang besar, dan di dinding tembok bangunan itu diberi
gambar anak-anak sedang menggambar, bernyanyi, menari, dan menulis. Dan di
depannya terdapat mainan untuk anak anak; ayunan, prosotan, bak yang penuh pasir
pantai, jungkat-jungkit.
Dia lalu melihat ke sebelah kiri. Sebuah pohon beringin
berdiri dengan kokoh, yang disampingnya terdapat bangunan kecil menyerupai
candi. Di depan candi kecil itu, terdapat bunga yang dibungkus daun pisang (hal
ini yang membuat Lastri semakin tidak percaya karena dia ingat betul bahwa Bejo
termasuk golongan Abangan; orang yang mempercayai Gusti Allah, tetapi sekaligus
suka hal yang berbau klenik-klenik).
Diangkatnya tangan kanan dan ditamparkan ke pipinya. Sakit. Ini bukan mimpi.
Lalu ingatannya seolah terlempar ke masa lalu. Tujuh tahun lalu. Pada suatu
malam di sebuah angkringan yang berada di depan redaksi Kedaulatan Rakyat, di
jalan Mangkubumi Yogyakarta, Bejo mengajaknya makan malam dan mereka berdua
mengobrol. “Besok aku pengen jadi ibu rumah tangga,” kata Lastri, “punya rumah
mewah yang megah. Lengkap dengan perabotan mahal. Kalau kamu, Bejo?” Dan
pertanyaan itu membuat Bejo garuk-garuk kepala.“Aku sih pengennya nulis cerita.
Cerita hidupku. Siapa tahu bisa dibuat buku dan bermanfaat. Kalau rumah?
Daridulu sudah punya rencana bikin rumah Joglo, lalu di depannya ada gapura
Bali. Syukur-syukur bisa bangun panti asuhan buat anak-anak yang putus sekolah,
atau sanggar seni.” Lastri lalu tertawa terbahak-bahak. “Mau nulis cerita? Ya
ampun, Bejo! Hidupmu itu nggak jelas. Mendingan juga kisah asmaraku sama Emon!
Terus mau bangun rumah Joglo? Gapura bali? Panti asuhan? Kuliahmu aja nggak
jelas kayak gini. Ngimpi! Hahaha.”
Suara bocah kecil yang sedang berlarian di halaman
rumah membuyarkan lamunannya. Dipandanginya anak kecil tersebut dan dia
tersenyum. Tapi anak itu berlarian ke dalam rumah Joglo, menghampiri puluhan
anak kecil lainnya yang bergerombol dengan tangan memegang kuas cat. Kemudian
mendekati seorang wanita muda yang berdiri sambil memperhatikan hasil gambar
anak-anak itu.
“Ibu guru,” kata bocah itu. “Ada tamu.”
“Tamu?” tanya wanita muda itu. “Siapa?”
“Ndak tahu, bu guru. Tuh orangnya lagi berdiri di
depan. Celingukan kayak orang linglung.”
“Yaudah.., Anak-anak, ibu kesana sebentar ya? Ada tamu.
Jangan lupa gambarnya diterusin.”
“Iya, bu guruuu!!”
Kemudian, wanita muda itu berjalan mendekat dan Lastri
sedikit gelagapap karena ketahuan memasuki rumah orang tanpa permisi. Dia
melihat wanita itu dan langsung melongo. Wanita itu berkacamata hitam dan
rambut hitam panjangnya diikat simpul di bagian belakang serta memiliki poni
yang menyamping ke kiri. Wajahnya yang putih bersih nampak berkilauan seperti
permata dan terasa menentramkan. Alisnya tipis. Dan mata hitam itu, mata hitam itu
begitu menghanyutkan─mata yang membuat lelaki mana pun di dunia rela bersimpuh
dan bertekuk lutut. Bibirnya yang tipis berwarna merah muda. Tubuhnya yang
padat dan memikat dibungkus kemeja kotak-kotak berwarna putih dengan garis
hitam; dilinting sekitar satu jengkal dari pergelangan tangan. Jam tangan
berwarna perak terpasang di tangan sebelah kanan serta gelang berwarna hitam di
sebelah kiri. Kakinya diselimuti jeans warna hitam yang dipadukan dan
mengenakan sepatu Converse berwarna hitam pula.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanya wanita itu.
“Mmhh, nganu,” kata Lastri, gugup. “Apakah ini benar
rumahnya Bejo?”
“Iya, betul.”
“Bejonya ada?”
“Waduh, kebetulan mas Bejo sedang keluar, Mbak, ada urusan
sebentar. Kalau boleh tahu, ada urusan apa
ya, Mbak?”
“Saya Lastri, temen kuliahnya Bejo. Kalau anda sendiri?”
Wanita muda itu tersenyum kecil. Manis. Pipinya nampak
memerah. Dia kemudian menjulurkan tangannya.
“Saya Ratna,” kata wanita muda itu. “Istrinya mas
Bejo.”
Lastri terdiam. Hatinya sangat terguncang dan nafasnya
ngos-ngosan, seolah-olah tubuhnya baru saja dihempaskan dari atas gedung yang
berlantai 10 tanpa mengenakan parasut terlebih dahulu dan harga dirinya
kocar-kacir berserakan di lantai; pria yang dulu dihinanya, diperlakukan
bagaikan sampah, sekarang berhasil menikahi seorang wanita yang mempunyai
kencatikan sempurna. Lihat saja senyum itu, batin Lastri, senyum yang mampu
membuat lelaki di belahan bumi mana pun ingin sesegera mungkin menggotong Ratna
ke KUA.
“Mbak?” panggil Ratna dan menggerak-gerakkan tangan
kanannya di depan wajah Lastri. “Mbak nggak papa, kan?”
Tatapan Lastri masih kosong.
“Ayuk masuk ke dalam dulu, Mbak,” kata Ratna. “Pasti
mbak Lastri capek. Istirahat dulu aja.”
Tetapi Ratna sudah menuntun tubuh Lastri berserta fikirannya
yang sempoyongan menuju ke dalam rumah Joglo. Dia lalu mempersilahkan tamunya
untuk duduk di salah satu kursi, yang terbuat dari kayu dan mengelilingi sebuah
akar pohon raksasa yang dijadikan kursi. Di samping mereka, masih ada puluhan
kursi lain dan di atasnya terlihat proyektor raksasa menggantung.
“Mirip café ya, Mbak,” kata Lastri.
“Ini mah kerjaannya mas Bejo. Katanya biar betah di rumah.
Kalau lagi ngumpul sama temen-temennya atau rapat atau nonton film bareng nggak
perlu jauh-jauh ngopi di café,” kata Ratna.
Lastri mengangguk dan mereka berdua lalu duduk. Tapi
keadaan mendadak hening. Dilihatnya Ratna, yang sedaritadi melihat handfonenya dan
cekikikan.
“Kayaknya mbak Ratna sibuk, ya?” tanya Lastri, mencairkan suasana.
“Ini lho, Mbak,” kata Ratna, “Mas Bejo SMS. Padahal aku udah bilang kalo lagi
sibuk ngabarinnya nanti aja nggak papa. Tapi emang dasar keras kepala. Katanya,
mas Bejo nggak akan pernah membiarkan aku merasa sendirian. Sedetik pun. Lucu ya, Mbak? Aneh-aneh aja.
Nggak akan pernah membiarkan merasa sendirian? Itu kan
kalimatnya… dug! Hati Lastri serasa digetok palu. Nyeri. Lalu, dia menunjuk
tumpukan buku yang berserakan di meja untuk mengalihkan pembicaraan.
“Itu buku apa ya, Mbak?” kata Lastri. “Kok dibiarin
bergeletakan di meja?”
“Bukunya mas Bejo, Mbak,” kata Ratna. “Dia kan emang suka nulis dari dulu.”
“Akhirnya Bejo bisa juga bikin buku, ya,” kata Lastri. “Padahal waktu kuliah bolosan melulu gara-gara tidur.”
“Iya, mas Bejo juga cerita. Dulu kalau kuliah sering bolos. Sampek pernah diusir dosennya juga dari kelas. Tapi, sebenernya mas Bejo itu bolos
kuliah nggak gara-gara tidur, kok. Kalau malem dia itu nulis. Dia kan emang suka nulis, Mbak. Gimana mau bangun pagi? Dia aja kalau nulis kadang sampe subuh. Dia
emang kalau ngaku ke temen-temennya tidur. Katanya, nggak ada gunanya ngomong sama
orang-orang. Pasti dianggep gila. Lha wong dulu dia belum punya karya apa-apa, Mbak.”
“Jadi, selama ini….”
“Iya, Mbak. Katanya, sih, dia udah pernah cerita sama temen-temennya.
Tapi dianggep gila. Dulu waktu kuliah dia selalu
dihujat sama semua temen kuliahnya gara-gara bolosan. IPKnya jeblok. Yang lebih parah, mas Bejo waktu kuliah dulu pernah cerita kalo nekat nembak cewek yang ditaksir. Padahal ceweknya udah punya
pacar kaya raya. Jelas aja ditolak mentah-mentah.”
“Uhuk!”
“Kenapa, Mbak?”
“Nggak papa, kok.”
Ratna lalu menatap Lastri, yang terbatuk-batuk. Di meja
belum ada minuman. Mungkinkah ini sindiran karena dia belum menyuguhi
minuman? Fikir Ratna.
“Pasti mbak bosen ya mendengar cerita saya tentang mas
Bejo? Iya juga, sih. Kan mbak temen kuliahnya. Pasti udah tahu,” kata Ratna. “O, ya. Saya buatkan
minuman dulu bentar ya, Mbak. Kayaknya mbak Lastri haus.”
“Ya ampun, nggak usah repot-repot.”
“Nggak papa, Mbak. Temennya mas Bejo kan temenku juga.”
Ditinggal sendirian di rumah sebesar ini membuat Lastri
kebingungan. Namun juga penasaran. Dia melihat sekeliling, lalu menggeleng.
Sebuah lukisan Soekarno yang berukuran besar menyapanya di sebelah kiri. Lalu
disusul puluhan wayang kulit yang ditempelkan di dinding serta bermacam-macam
keris. Dan di dinding bagian kanan terdapat lukisan Chairil Anwar yang besar
pula, seolah-olah olah memandanginya dengan sinis sambil memegang putung rokok.
Dibawahnya terdapat lemari dari kayu berderet, yang mungkin berisi ribuan buku.
Kemudian, deretan foto itu. Fotonya Bejo! Dia kemudian
melangkahkan kaki menuju foto itu, yang berada di dinding bagian belakang dan
memandanginya. Anak ini memang tidak berubah, fikir Lastri, bahkan
kekonyolannya masih tetap berlanjut sampai menikah. Di foto paling atas,
terlihat Bejo yang meminta gendong Ratna dengan latar angkringan yang ramai; raut
wajah Ratna yang meringis karena tertindih ditambah ekspresi muka Bejo yang
konyol membuat siapapun yang melihatnya menahan geli. Dibawahnya, ada foto Bejo
sedang melihat dua orang bencong sampai ngiler dan Ratna memukul kelapanya dari
belakang. Ada juga foto Bejo yang berpura-pura menjadi tukang sapu jalanan dan
Ratna memeluk tubuhnya dari belakang. Dan yang paling menyita perhatiannya
adalah, foto ketika Bejo dan Ratna makan malam berdua di sebuah angkringan. Mereka
berdua duduk dan saling menyuapi nasi kucing dengan tangan dan saling
melontarkan senyum ketika mata mereka bertatapan; seluruh pengunjung di
sekitarnya nampak tersenyum melihat adegan ini. Lantas di atas foto itu
tertulis, bahagia itu sederhana.
Lastri tersenyum. Dirabanya foto-foto
tersebut dengan tangan kanannya, begitu pula kenangan di pelupuk hatinya yang
ikut tersentuh. Masih terasa hangat dan penat. Dia lalu menitihkan air mata. Tujuh tahuh
lalu, dialah yang ada di foto itu. Tujuh tahun lalu, dialah yang bersanding
dengan pria konyol yang selalu memegang rokok dan mengepulkan asap putih
seperti cerobong asap serta berkelakuan aneh menyerupai orang idiot. Menghabiskan waktu berjam-jam di angkringan untuk sekedar mengobrol atau bercanda atau melakukan hal-hal yang konyol─seperti menggoda para
bancong. Lalu malam harinya mengiriminya
deretan kata-kata yang membuatnya geli dan cekikikan. Tujuh tahun lalu…
Dengan derap langkah yang sempoyongan, dia berjalan
menuju gerbang keluar. Langkahnya semakin memberat. Namun dia memaksakan
dirinya untuk terus berjalan tanpa melihat ke belakang. Dan tanpa tersadar, air
matanya terus berjatuhan.[]
Terima
kasih kepada Taufiq Ramadhan, orang yang dengan sukarela mendengarkan cerita
ini dituturkan secara menggebu-gebu oleh seorang pemuda di warung kopi pada sebuah malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar