20 Juli 2014

Pertanyaan Untuk Tuhan

Aku bukanlah seorang penutur yang baik. Bagaimana tidak, SD saja aku tidak lulus, membaca huruf tak bisa, bahkan memegang laptop saja tanganku sudah gemeteran. Satu-satunya yang bisa dibanggakan dariku hanyalah berhasil membuat istriku hamil. Kau pasti bertanya-tanya, apakah aku membual? Aku benar-benar tak bisa menulis. Perihal aku bisa menceritakan kisahku ini, akan kau ketahui nanti.                          

Aku masih asyik menghisap beberapa batang rokok sambil mongalik-alik papan penggorengan. Sungguh hal yang memuakkan. Tapi apa daya, inilah pekerjaan yang harus kujalani sebagai penjual burjo; menatap papan penggorengan, lalu menunggu warung setiap hari. Andaikan bisa memilih, pasti aku akan memilih sebagai konglomerat dimana setiap hari bisa bercinta dengan istriku sepanjang waktu sampai lemes. Tidak seperti sekarang. Hampir setiap malam hari aku kesepian. Istriku berada jauh di Jawa Barat, sementara aku di Yogyakarta membanting tulang demi menghidupi keluarga. Jadi aku terbiasa meluapkan kesepianku dengan bercerita kepada pelanggan.                                                                
Kepulan asap masih melayang-layang di warung makan sederhana yang kupunya. Sayup-sayup kudengar jeritan orang-orang di sepanjang jalan depan warungku. Penggorengan yang ada didepanku bergetar dengan hebat. Mejaku sampai bergoleng, lalu tergeletak.

“Gempa! Gempa!” teriak orang-orang.                                                
                                    
Aku berlarian ke luar warung dengan nafas tersengal-sengal dan kemudian air mataku berlinang. Aku tak pernah peduli dengan gempa, bom atom, atau bahkan bom nuklir sekalipun. Satu-satunya hal yang aku tangisi hanyalah kondisi warungku yang hancur lebur. Kau tau, butu bertahun-tahun lamanya aku mengumpulkan uang demi membangun itu dan Tuhan meluluhlantahkannya dengan hitungan detik. Apakah Tuhan ingin pamer kekuatan? Apakah Tuhan ingin memberi tahu kepada semua manusia bahwa Dia begitu kuat?  Kenapa Dia sebegitu jahat sampai menghancurkan warungku? Aku terus-menerus bertanya kepada  Tuhan sambil meneteskan air mata. Puluhan orang mendatangiku dari kejauhan. Mereka meneriakkan kalimat senada.

 “Sabar ya, mas,” katanya.

Sabar? Aku ini manusia biasa. Bukan Nabi Yahya yang mempunyai tingkat kesabaran ekstra. Mungkin dahulu kala ada seorang Nabi yang mempunyai tingkat kesabaran di atas rata-rata lalu bisa mengembangkan dirinya jadi Nabi. Tapi percayalah, aku hanya penjual gorengan dan bukan Nabi.   

Keinginanku untuk dekat dengan istriku terwujud. Seminggu setelah peristiwa gempa yang menggetarkan Jogja, aku memutuskan untuk pulang kerumah. Setiap malam aku selalu menghabiskan waktu dengan istriku. Hampir semua adegan yang ada di video bokep aku peragakan dengan istriku.  Seharusnya aku mendapat penghargaan dari Hollywod sebagai aktor bokep paling profesional di seluruh dunia.    

Tapi kenyataan berkata lain. Memang benar bahwa bercinta adalah surga dunia, melainkan bercinta bukanlah segala-galanya. Aku malah bingung dengan anak muda jaman sekarang yang dengan seenaknya sendiri bercinta tanpa beban. Apa mereka nggak mikir dosa? Bercinta memang enak, kau tahu, tapi akan menjadi beban ketika kita belum punya penghasilan yang tetap. Contohnya saja aku. Dua bulan berlalu, dan aku terus menerus bercinta dengan istriku sepanjang malam. Awalnya memang tak terjadi apa-apa. Tapi semuanya mendadak berubah bagaikan belati yang menikam jantungku.   

Malam itu, aku mengisap beberapa batang rokok diruang tamu sambil melihat sekeliling rumah. Rumahku memang sederhana―pintu yang terbuat dari kayu, dinding yang bolong-bolong, lantai rumah yang masih beralaskan tanah liat, dan tanpa satu pun perabotan mewah. Fikiranku terus melayang-layang dan berseteru dengan kepulan asap rokok di angkasa. Andai saja aku konglomerat atau menjadi orang sukses, pasti hidupku akan lebih enak. Dan pada akhirnya, layaknya lelaki pada umumnya, aku melamun jorok. Karena sudah tidak tahan, kuputuskan untuk berjalan ke kamar menghampiri istriku. Aku sudah tidak sabar ingin mempraktikan jurus-jurus baru yang kulihat di video porno tadi siang.

Aku membuka pintu. Disana ada istriku yang terlentang di kasur. Dia hanya mengenakan celana pendek. Entahlah. Hormon lelakiku langsung melonjak saat itu juga. Aku berlarian menuju isriku, dan kuraba setiap jengkal tubuhnya.                                                            

Istriku mulai terbangun. Dia mendadak menatapku, lalu menepis tanganku dari tubuhnya.  

“Kita nggak bisa terus-terusan kayak gini, mas,” katanya.

“Maksudmu?” tanyaku. “Kamu sudah nggak mau sama aku? Atau, kamu sudah berubah jadi lesbian?”

“Bukan itu maksudku,” lanjut istriku. “Sudah dua bulan kamu mendekam di rumah. Anak kita butuh makan, mas. Dan lagi, aku perlu biaya untuk bisa sarjana, mas.”

“Aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Aku masih trauma dengan gempa Jogja. Minggu depan aku janji bakal balik ke Jogja buat ngelanjutin warung burjoku.”                     
  
“Warung burjo apa, mas?! Warung burjo kita sudah dimaling adekmu! Tadi siang dia dateng sama ibuk!” 
  
Aku tertegun. Hormon lelakiku mendadak menghilang. Semalaman aku jadi tidak bisa tidur karena memikirkan perkataan dari istriku. Apakah dia berbohong? Buat apa dia berbohong? Daripada aku penasaran, ke-esokan harinya kudatangi rumah adekku. Aku bertanya pada istrinya, apakah warungku di Jogja sudah diambil alih. Istrinya terdiam, dia hanya tersenyum, lalu menangguk. Tak cukupkah Tuhan memberi cobaan kepadaku?

Bertahun-tahun sudah aku merintis warung burjoku. Tapi sekarang malah dimaling oleh adikku sendiri. Yang lebih menyakitkan, istri adekku berkata bahwa adekku kandung itu telah memperbaiki warungku, lalu dengan serampangan mengelola warungku tanpa memberi tahu aku terlebih dahulu. Aku pulang kerumah dengan tangisan, dan terus menangis berminggu-minggu kemudian.

Satu-satunya kemampuanku hanyalah mengelola warung. Sekarang? Warungku sudah dicolong! Apalagi, istriku butuh biaya untuk meyelesaikan gelar sarjananya. Belum lagi anak-anakku yang sudah menginjak bangku sekolah dasar. Tuhan benar-benar jahat! Kenapa Dia setega ini kepadaku?

Kondisi keuangan keluargaku semakin memburuk. Gaji istriku yang berprofesi sebagai salah satu guru hononer di salah satu TK di daerahku sangat minim―tiga ratus ribu rupiah. Dengan uang segitu, hanya bisa dapat digunakan untuk membayar uang sekolah anakku.             

Seperti malam-malam sebelumnya, aku masih duduk di ruang tamu sambil menghisap beberapa batang rokok yang kulinting sendiri. Aku tahu, rokok memang buruk untuk kesehatan. Tapi inilah salah satu caraku untuk mengurangi stres―mungkin tanpa rokok aku sudah menjadi penghuni baru rumah sakit jiwa. Dari kejauhan, kulihat istriku mulai berjalan menghampiriku. Tiba-tiba dia tersenyum dan memeluk erat tubuhku dari belakang. 

 “Sabar ya, mas,” katanya.

“Apakah kamu mencintaiku?” tanyaku.                                                                                  
Aku tahu, ini adalah pertanyaan yang bodoh. Kau boleh menghujatku sesuka hatimu. Aku sendiri masih belum tahu kenapa mengajukan pertanyaan ini.  

“Kamu tanya apa, mas?” tanya istriku. “Kamu tahu jawabannya.”              

“Apakah kamu mencintaiku?” tanyaku sekali lagi. “Apakah kamu benar-benar mencintaiku?"
 
“Aku mencintaimu, mas. Udah ah! Kayak anak muda aja, mas. Aku malu.”             
“Apakah kamu menyesal menikah denganku?  Kamu tahu keuangan keluarga kita semakin memburuk. Mungkin kalau kamu menikah dengan orang lain...”                        
“Sama sekali tidak!  Aku mencintaimu apa adanya, mas. Aku sudah berjanji akan menemanimu baik suka, maupun duka.”

Aku tersenyum lebar. Cuma itu yang ingin kudengar dari mulut istriku. Ada kalanya cinta dapat menguatkan segalanya.  

Istiku berusia sepuluh tahun jauh lebih muda dibandingkan aku. Tapi dia seolah-olah mengerti apa yang sedang aku rasakan. Setiap hari, bahkan setiap malam, dia tak pernah berhenti meyakinkanku bahwa dia sangat mencintaiku dan kami semua dapat menjalani cobaan ini berdua. 

Aku hampir tidak percaya dengan kata ‘cobaan’. Orang selalu bilang bahwa Tuhan tak pernah memberi cobaan diluar batas kemampuan makhluk-Nya. Aku yakin, Tuhan Maha Melihat. Tapi kenapa dia memberi cobaan yang terlalu memuakkan ini? Sejak lahir aku sudah diberi cobaan dengan wajahku yang jelek. Kenapa harus ada cobaan lagi? Kenapa Tuhan tidak memberi cobaan saja kepada para artis yang wajahnya ganteng? Hampir setiap malam aku bertanya kepada Tuhan. Tapi Dia malah diam. Apakah Tuhan tidak mendengar pertanyaanku? Bukankah dia Maha Mendengar?

Pada bulan ketiga, Tuhan masih tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia malah memberi cobaan yang tidak pernah aku duga. Persediaan berasku habis dan keluargaku tak bisa makan. Istriku yang biasanya sabar sampai menangis tersedu-sedu. Anak-anakku hampir setiap malam memegang perut mereka karena tidak bisa makan.

Karena kebingungan, aku memutuskan untuk berkunjung ke salah satu temanku untuk memohon belas kasihnya. Dia menyambutku dengan wajah sinis seolah dia bisa membaca fikiranku.                   
  
“Aku nggak punya duit,” katanya. “Pinjem orang lain aja.”
Aku tak bisa bilang padanya kalau dia itu teman jancok. Jadi aku hanya bisa mengangguk sambil mengucapkan jancok dalam hati. Semenjak saat itu aku sama sekali tidak percaya dengan teman; mereka akan datang disaat butuh, dan pergi disaat tak butuh.         

Aku pulang kerumah dengan meneteskan air mata. Istiku yang menyambutku ketika di rumah juga meneteskan air mata. Sayang, air mata kami hanyalah air. Bukan air mata yang bisa berubah menjadi berlian seperti yang ada di sinetron-sinetron.  Jadi walau kami menangis berember-ember, tak akan mengubah keadaan.

“Sabar ya, mas,” kata istriku.  
  
“Maafkan aku,” kataku. “Aku hanya suami bodoh yang nggak mampu memberi nafkah kalian.”  

“Aku bangga sama kamu, mas,” kata istriku. “Kamu masih tetap bertahan disaat keluarga kita mengalami kehancuran. Itu saja sudah cukup untuk membuatku bertahan denganmu. Toh kamu juga bisa mencari pekerjaan yang lain.” 

Istriku memberiku beberapa kalimat romantis seolah-olah kami berdua ini pemain sinetron. Dia memang jenius. Bukan tentang kalimat romantis, maksudku. Melainkan usulannnya untuk mencari pekerjaan lain. Otakku ini terlalu dipenuhi dengan kata kehancuran, sampai-sampai mencari pekerjaan baru tak pernah terlintas dalam fikiranku.                          

Dua hari kemudian, aku bertandang ke salah seorang tetanggaku. Aku memohon belas kasihan lagi. Tapi dia cuma terdiam, dan memberi kalimat romantis yang sering dilontarkan oleh para bajingan.                         

“Kamu mau pinjam uang?” tanya dia. “Aku nggak punya duit.”                           
“Bukan,” kataku. “Aku hanya ingin meminjam motormu untuk mengojek.”                         
“Motorku itu dipake! Emang kemana warung burjomu? Sudah kau jual? Atau malah, sudah kau gadaikan untuk membeli selingkuhan di Jogja? Hah?”  

“Terima kasih,” kataku.                                                                                                
Aku pulang dari rumah tetanggaku dengan wajah tertunduk dan kembali bertandang ke tetanggaku yang lain. Sepanjang perjalanan, para tetanggaku malah memberi tatapan sinis dan berbisik-bisik. Aku sendiri mencoba untuk tidak mendengarnya. Walau telingaku sudah kututup rapat, omongan dingin terus saja terlontar dari mulut mereka. Aku mencoba sabar. Tapi inilah hukum kehidupan: saat kau berhasil semua orang akan menyanjungmu, tapi saat kau gagal semua orang akan mengolok-ngolokmu.                                                                  
Langkah kakiku terhenti di sebuah rumah gedong milik pak RT. Aku gedor pintunya, dan pak RT berjalan keluar rumah.                                                                                            
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak RT.                              

 “Saya butuh pekerjaan, pak,” kataku. “Keluarga saya butuh uang buat makan.”                     
“Kebetulan sekali,” kata Pak RT. “Saya punya sawah. Apakah anda bersedia bekerja disana?”                                                           

Aku mengangguk dan tersenyum lebar.                                       

Pekerjaan sebagai tukang sawah serabutan kujalani setiap hari. Aku bangun pukul lima pagi dan pulang jam enam sore. Sekarang ini cangkul adalah sahabatku. Aku mencangkul tanpa henti dibawa terik matahari. Sampai-sampai sekujur tubuhku menghitam dan kulit kakiku terkadang mengelupas. Setiap kali berangkat ke sawah, aku pasti menundukkan diri sambil menutupi wajahku dengan topi. Aku malu. Aku malu dengan para tetangga. Aku yang dulunya punya warung sendiri, sekarang hidup sangat menderita. Aku mesti bekerja pontang-panting dengan upah yang tidak seberapa.         

Lima ribu perak. Itu adalah upah yang kuterima selama aku berkerja di sawah seharian. Bayangkan saja, uang lima ribu rupiah yang sering kau gunakan untuk memberi rokok lima batang, atau memberi sebuah kondom, harus kugunakan untuk menghidupi keluargaku―aku, istiku, dan kedua anakku yang masih SD.

Kami sekeluarga terpaksa makan dengan nasi putih dibumbui garam. Setiap kali keluargaku berkumpul untuk makan, air mataku terus berlinang. Harga diriku seakan tercabi-cabik. Aku sebagai kepala keluarga seharusnya bisa membuat hidup mereka bahagia. Bukannya membuat hidup mereka semakin menderita seperti ini.                                         

Aku yang biasanya bercinta sama istriku di kasur malah lebih suka berdiam diri. Aku merebahkan diri di samping istriku, lalu menoleh. Tanpa sepengetahuan istriku, hampir setiap malam tangan kiriku memegang pisau dan menempelkannya pada urat nadiku. Aku ingin sekali mengakhiri hidupku.  Aku sudah tidak kuat dengan kehidupan ini. Setiap kali aku ingin menggoreskan pisau ke nadiku, air mataku terus berlinang. Kalau aku mati, siapa yang mengurusi istriku? Siapa yang mengurusi anak-anakku?              

Satu tahun penuh aku menggeluti pekerjaan sebagai kuli serabutan dengan pisau yang menempel di nadiku setiap malam. Kurasa pekerjaan ini tak akan pernah membuatku berkembang. Seminggu kemudian aku berkunjung lagi kerumah Pak RT. Kuberanikan untuk meminjam motornya untuk mengojek dan meninggalkan KTP-ku sebagai jaminan kalau dia tidak percaya denganku. Ketika aku menyodorkan KTP dengan mata yang bercucuran air, Beliau malah tersenyum.   

“Dibawa saja, mas,” kata Pak RT.         

“Lalu, bagaiamana sistem pembayarannya, pak?” tanyaku.  
  
“Bagi hasil saja, mas.”                                                  
  
Pak RT menyerahkan kunci motor beserta surat-surat motor. Tanganku terangkat ke atas. Segala puji syukur aku haturkan kepada Tuhan Penguasa Alam Semesta. Akhirnya, Dia mulai mau juga menjawab pertanyaanku. Motor ini tidak akan pernah aku sia-siakan.                          

Aku pulang kerumah dengan membawa motor. Istriku yang ada dirumah menyambutku dengan tamparan. Dia mengira bahwa motor ini hasil maling. Tapi aku jelaskan kalau motor ini aku pinjam dari orang untuk mengojek. Kemudian, dia tersenyum dan  memelukku dengan erat. Aku tahu, istriku memang tidak secantik artis. Tapi kuberitahu kau satu hal: kelak kalau kau ingin menikah, carilah pasangan hidup yang mau diajak susah maupun senang, sedih maupun gembira, menangis atau tertawa, dan yang terpenting menerimamu apa adanya meskipun kau berubah jadi melarat. Contohnya saja istriku. Dia tak pernah lelah untuk menyemangatiku buat berjuang setiap hari.                                                    
Motor yang kupinjam dari pak RT kugunakan ketika malam untuk mengojek setelah seharian disawah. Hasil mengojek aku tabung. Hasil dari kuli sawah kugunakan untuk makan sekeluarga. Aku juga kerja sampingan sebagai tukang pijet. Pokoknya, semua pekerjaan halal yang bisa menghasilkan uang aku lakukan demi menyambung hidup.                                             

Sedikit demi sedikit, tabunganku mulai berkumpul banyak. Aku terus membanting tulang selama lima tahun, dan pada akhirnya uangku berkumpul sekitar sepuluh juta. Aku meminta ijin kepada istiku untuk mengembara lagi ke Jogja. Istriku awalnya mencegahku dan berkata bahwa Yogyakarta itu keras. Aku sendiri hanya membalas ucapan istriku dengan senyuman.                                                                                                                             
  
“Aku akan kembali membuka warung burjo,” kataku. “Uang tabungan kita sudah cukup untuk membuat warung burjo yang baru.”

 Istriku mengangguk.

Seminggu setelah percakapan itu kuputuskan untuk kembali ke Yogyakarta.

Aku mulai mencari teman-temanku yang lama untuk bertanya tempat mana yang dikontrakkan dan mereka mengusulkan di daerah Kuningan, sekitar kampus UGM-UNY. Tanpa fikir panjang aku mendatangi tempat kosong itu.  Aku bertanya kepada pemilih tempat apakah disewakan. Pemilih toko berkata bahwa memang disewakan. Aku tersenyum dan saat itu juga membayar uang sewa.

 Di dunia ini memang tidak ada yang instant. Aku harus bersusah payah untuk membuat warungku ramai. Di bulan pertama belum ada pembeli dan pada bulan kelima pengunjung warung baru berdatangan. Sampai tahun kedua warungku terus ramai oleh pembeli. Bahkan, jauh lebih ramai dari warung terdahulu yang dimaling oleh adikku.     

Sekarang Tuhan menjawab semua pertanyaanku. Mungkin tanpa gempa Jogja, aku tidak akan pernah mensyukuri apa yang telah aku punya selama ini. Tuhan ingin memberi tahu bahwa aku harus mensyukuri segala sesuatu yang kupunya karena ini semua titipan-Nya, yang kelak bisa diambil suatu saat oleh-Nya. Tuhan juga ingin memberi tahu kalau aku harus lebih menghargai apa yang aku miliki sebelum kehilangan.  Sesuatu pasti akan lebih berharga setelah kita merasa kehilangan, bukan?            

Sebagai penjual burjo, kerjaanku memang mengolak-alik gorengan sambil menunggui warung. Jadi biasanya, aku meluapkan kesepianku dengan ngobrol-ngobrol dengan para pembeli. Sialnya, sekarang sudah tengah malam dan warungku lagi sepi.                                

Dari kejauhan, aku melihat seorang pemuda mengendarai motor berhenti di depan warungku dan duduk di kursi pelanggan.  Dia adalah pelanggan setiaku. Hampir setiap malam dia selalu nongkrong di warungku.

“Es kopi, mas,” katanya. “Yang manis!"

“Siap,” kataku.                                                                      

Seperti malam-malam biasanya, pemuda itu meraih tas dari punggungnya, mengeluarkan laptop biru, lalu matanya terus saja beradu dengan laptop. Aku sendiri tidak tahu, apa yang pemuda ini lakukan. Setiap kali datang ke warungku, pemuda ini pasti bercumbu dengan laptop. Pernah suatu hari, aku bertanya kepada teman-teman kuliahnya apa yang pemuda ini lakukan. Kebetulan teman kuliahnya juga sering main ke warungku. Tapi setiap kali aku bertanya apa yang sedang dia lakukan, teman kuliahnya malah mengangkat bahu.                                                                                                                                                        
 “Dia itu tukang tidur. Tukang bolos kuliah,” kata mereka. “Masa depan suram!”           
Aku bukanlah cenayang, dukun, atau paranormal. Tapi aku bisa menebak kalau pemuda itu pasti sedang merencanakan hal yang besar. Terkadang aku kasihan dengan teman kuliahnya yang selalu menilai pemuda itu bermasa depan suram. Aku pernah dengar pemuda itu seringkali berkata tentang impian, perjuangan, dan masa depan. Kurasa masa depannya tak akan pernah suram; hanya orang bodoh yang menterlantarkan kuliahnya tanpa melakukan apa pun. Aku bisa melihat dari sorot matanya yang tajam, gaya bicaranya, bahkan dari cara dia menyikapi masalah. Tapi aku tidak mengatakan itu kepadanya. Aku takut dia malah menjadi sombong.                                                                                                                                   
Aku perhatikan daritadi, pemuda itu masih sibuk memencet-mencet keyboard laptop. Tapi sekali lagi aku yakin, dia bukanlah orang sembarangan. Dia seperti menyimpan suatu rahasia besar yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan Tuhan.                                                         

Dua jam sudah pemuda itu beradu dengan laptopnya. Dia keliatan capek sekali. Matanya mulai sendu. Dia memasukkan laptop, lalu meninum es kopi.                               

“Pulang ke Jawa Barat kapan, mas?” tanyanya.                      

“Paling bulan depan,” kataku. 

Tanpa tersadar pemuda itu terus menerus memberondongku dengan pertanyaan yang menjebak. Dan tanpa tersadar pula, aku mulai menceritakan pengalamanku tentang Gempa Yogja dan warung yang dimaling oleh adikku. Sampai-sampai air mataku berlinang.           
   
“Aku malu,” kataku. “Kamu pasti tidak akan percaya apa yang akan aku ceritakan.”          
  
“Setiap orang pasti pernah mengalami pengalaman pahit. Hidupku juga penuh dengan pengalaman pahit. Bapak-ibukku pernah mengalami pahit,” katanya. “Aku ingin mendengar ceritamu. Untuk pelajaran hidup.”   

Inilah yang aku maksud. Pemuda ini terus mengeluarkan kalimat pancingan bagaikan sihir yang membuatku bercerita tentang semua pengalaman hidupku. Awalnya, aku sempat curiga bahwa dia  anak psikologi. Tapi sewaktu aku tanya kuliah di jurusan apa, dia malah menjawab mahasiswa Fisika sambil tersenyum lebar.  Yah, anak ini sama sekali tidak cocok kuliah di Fisika. Kabarnya dia juga sempat diterima di jurusan psikologi, tapi tidak diambil. Anak ini benar-benar membuatku semakin penasaran. Dan hebatnya, dia sama sekali tidak memberiku ruang untuk mengungkapkan rasa penasaranku. Dengan sihirnya, dia mampu membuatku terus bercerita tentang semua pengalaman hidupku menjadi penjual makanan.        
  
“Apakah aku boleh menuliskan cerita hidupmu?” katanya, setelah aku selesai bercerita. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca setelah mendengar kisah hidupku.

“Buat apa?” tanyaku. “Semua orang pasti tidak akan percaya dengan apa yang aku ceritakan.”  

“Siapa tahu bermanfaat,” kata pemuda itu. “Namamu aku samarin jadi siapa, mas?”          

Aku terdiam sangat lama. Sampai akhirnya pemuda itu memutuskan untuk pulang karena katanya, besok pagi dia ada kuliah pagi. Dia bergegas meninggalkanku, sebelum aku menjawab siapakah nama samaran yang aku pilih. Namaku Dayat, (itu nama yang kupilih sendiri karena pemuda itu sudah menghilang sebelum aku menyebutkan nama samaranku), kini empat puluh tahun, seorang penjual makanan. Setelah berbulan-bulan percakapanku dengan pemuda itu, aku masih menunggu kedatangannya. Bagaimanapun, aku ingin sekali menanyakan apa yang sebenarnya dia rencanakan, dan apakah dia benar-benar menuliskan kisah hidupku.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar