Aku bukanlah seorang penutur yang baik. Bagaimana
tidak, SD saja aku tidak lulus, membaca huruf tak bisa, bahkan memegang laptop
saja tanganku sudah gemeteran. Satu-satunya yang bisa dibanggakan dariku
hanyalah berhasil membuat istriku hamil. Kau pasti bertanya-tanya, apakah aku
membual? Aku benar-benar tak bisa menulis. Perihal aku bisa menceritakan kisahku
ini, akan kau ketahui nanti.
Aku masih asyik
menghisap beberapa batang rokok sambil mongalik-alik papan penggorengan. Sungguh
hal yang memuakkan. Tapi apa daya, inilah pekerjaan yang harus kujalani sebagai
penjual burjo; menatap papan penggorengan, lalu menunggu warung setiap hari.
Andaikan bisa memilih, pasti aku akan memilih sebagai konglomerat dimana setiap
hari bisa bercinta dengan istriku sepanjang
waktu sampai lemes. Tidak seperti sekarang. Hampir setiap malam hari aku
kesepian. Istriku berada jauh di Jawa Barat, sementara aku di Yogyakarta
membanting tulang demi menghidupi keluarga. Jadi aku terbiasa meluapkan kesepianku
dengan bercerita kepada pelanggan.
Kepulan
asap masih melayang-layang di warung makan sederhana yang kupunya. Sayup-sayup
kudengar jeritan orang-orang di sepanjang jalan depan warungku. Penggorengan
yang ada didepanku bergetar dengan hebat. Mejaku sampai bergoleng, lalu
tergeletak.
“Gempa!
Gempa!” teriak orang-orang.
Aku
berlarian ke luar warung dengan nafas tersengal-sengal dan kemudian air mataku
berlinang. Aku tak pernah peduli dengan gempa, bom atom, atau bahkan bom nuklir
sekalipun. Satu-satunya hal yang aku tangisi hanyalah kondisi warungku yang
hancur lebur. Kau tau, butu bertahun-tahun lamanya aku mengumpulkan uang demi
membangun itu dan Tuhan meluluhlantahkannya dengan hitungan detik. Apakah Tuhan
ingin pamer kekuatan? Apakah Tuhan ingin memberi tahu kepada semua manusia
bahwa Dia begitu kuat? Kenapa Dia sebegitu
jahat sampai menghancurkan warungku? Aku terus-menerus bertanya kepada Tuhan sambil meneteskan air mata. Puluhan
orang mendatangiku dari kejauhan. Mereka meneriakkan kalimat senada.
“Sabar ya, mas,”
katanya.
Sabar? Aku ini manusia biasa. Bukan Nabi
Yahya yang mempunyai tingkat kesabaran ekstra. Mungkin dahulu kala ada seorang
Nabi yang mempunyai tingkat kesabaran di atas rata-rata lalu bisa mengembangkan
dirinya jadi Nabi. Tapi percayalah, aku hanya penjual gorengan dan bukan Nabi.
Keinginanku untuk dekat dengan
istriku terwujud. Seminggu setelah peristiwa gempa yang menggetarkan Jogja, aku
memutuskan untuk pulang kerumah. Setiap malam aku selalu menghabiskan waktu
dengan istriku. Hampir semua adegan yang
ada di video bokep aku peragakan dengan istriku. Seharusnya aku mendapat penghargaan dari
Hollywod sebagai aktor bokep paling profesional di seluruh dunia.
Tapi kenyataan berkata
lain. Memang benar bahwa bercinta adalah surga dunia, melainkan bercinta
bukanlah segala-galanya. Aku malah bingung dengan anak muda jaman sekarang yang
dengan seenaknya sendiri bercinta tanpa beban. Apa mereka nggak mikir dosa?
Bercinta memang enak, kau tahu, tapi akan menjadi beban ketika kita belum punya
penghasilan yang tetap. Contohnya saja aku. Dua bulan berlalu, dan aku terus
menerus bercinta dengan istriku sepanjang malam. Awalnya memang tak terjadi
apa-apa. Tapi semuanya mendadak berubah bagaikan belati yang menikam jantungku.
Malam itu, aku mengisap beberapa batang rokok diruang
tamu sambil melihat sekeliling rumah. Rumahku memang sederhana―pintu yang
terbuat dari kayu, dinding yang bolong-bolong, lantai rumah yang masih
beralaskan tanah liat, dan tanpa satu pun perabotan mewah. Fikiranku terus
melayang-layang dan berseteru dengan kepulan asap rokok di angkasa. Andai saja
aku konglomerat atau menjadi orang sukses, pasti hidupku akan lebih enak. Dan pada akhirnya, layaknya lelaki pada umumnya,
aku melamun jorok. Karena sudah tidak tahan, kuputuskan untuk berjalan ke kamar
menghampiri istriku. Aku sudah tidak sabar ingin mempraktikan jurus-jurus baru
yang kulihat di video porno tadi siang.
Aku
membuka pintu. Disana ada istriku yang terlentang di kasur. Dia hanya
mengenakan celana pendek. Entahlah. Hormon lelakiku langsung melonjak saat itu
juga. Aku berlarian menuju isriku, dan kuraba setiap jengkal tubuhnya.
Istriku
mulai terbangun. Dia mendadak menatapku, lalu menepis tanganku dari tubuhnya.
“Kita
nggak bisa terus-terusan kayak gini, mas,” katanya.
“Maksudmu?” tanyaku. “Kamu sudah nggak
mau sama aku? Atau, kamu sudah berubah jadi lesbian?”
“Bukan
itu maksudku,” lanjut istriku. “Sudah dua bulan kamu mendekam di rumah. Anak
kita butuh makan, mas. Dan lagi, aku perlu biaya untuk bisa sarjana, mas.”
“Aku
butuh waktu untuk menenangkan diri. Aku masih trauma dengan gempa Jogja. Minggu
depan aku janji bakal balik ke Jogja buat ngelanjutin warung burjoku.”
“Warung burjo apa, mas?! Warung
burjo kita sudah dimaling adekmu! Tadi siang dia dateng sama ibuk!”
Aku tertegun. Hormon
lelakiku mendadak menghilang. Semalaman aku jadi tidak bisa tidur karena
memikirkan perkataan dari istriku. Apakah dia berbohong? Buat apa dia
berbohong? Daripada aku penasaran, ke-esokan harinya kudatangi rumah adekku.
Aku bertanya pada istrinya, apakah warungku di Jogja sudah diambil alih.
Istrinya terdiam, dia hanya tersenyum, lalu menangguk. Tak cukupkah Tuhan
memberi cobaan kepadaku?
Bertahun-tahun sudah aku merintis warung burjoku. Tapi
sekarang malah dimaling oleh adikku sendiri. Yang lebih menyakitkan, istri adekku
berkata bahwa adekku kandung itu telah memperbaiki warungku, lalu dengan
serampangan mengelola warungku tanpa memberi tahu aku terlebih dahulu. Aku pulang kerumah dengan tangisan, dan terus
menangis berminggu-minggu kemudian.
Satu-satunya
kemampuanku hanyalah mengelola warung. Sekarang? Warungku sudah dicolong!
Apalagi, istriku butuh biaya untuk meyelesaikan gelar sarjananya. Belum lagi
anak-anakku yang sudah menginjak bangku sekolah dasar. Tuhan benar-benar jahat!
Kenapa Dia setega ini kepadaku?
Kondisi keuangan keluargaku semakin
memburuk. Gaji istriku yang berprofesi sebagai salah satu guru hononer di salah
satu TK di daerahku sangat minim―tiga ratus ribu rupiah. Dengan uang segitu,
hanya bisa dapat digunakan untuk membayar uang sekolah anakku.
Seperti
malam-malam sebelumnya, aku masih duduk di ruang tamu sambil menghisap beberapa
batang rokok yang kulinting sendiri. Aku tahu, rokok memang buruk untuk
kesehatan. Tapi inilah salah satu caraku untuk mengurangi stres―mungkin tanpa
rokok aku sudah menjadi penghuni baru rumah sakit jiwa. Dari kejauhan, kulihat istriku mulai berjalan
menghampiriku. Tiba-tiba dia tersenyum dan memeluk erat tubuhku dari belakang.
“Sabar ya, mas,” katanya.
“Apakah kamu mencintaiku?” tanyaku.
Aku tahu, ini adalah
pertanyaan yang bodoh. Kau boleh menghujatku sesuka hatimu. Aku sendiri masih
belum tahu kenapa mengajukan pertanyaan ini.
“Kamu tanya apa, mas?” tanya istriku.
“Kamu tahu jawabannya.”
“Apakah kamu mencintaiku?” tanyaku
sekali lagi. “Apakah kamu benar-benar mencintaiku?"
“Aku mencintaimu, mas. Udah ah! Kayak anak muda aja, mas. Aku malu.”
“Apakah
kamu menyesal menikah denganku? Kamu
tahu keuangan keluarga kita semakin memburuk. Mungkin kalau kamu menikah dengan
orang lain...”
“Sama sekali tidak! Aku mencintaimu apa adanya, mas. Aku sudah
berjanji akan menemanimu baik suka, maupun duka.”
Aku tersenyum lebar.
Cuma itu yang ingin kudengar dari mulut istriku. Ada kalanya cinta dapat
menguatkan segalanya.
Istiku berusia sepuluh
tahun jauh lebih muda dibandingkan aku. Tapi dia seolah-olah mengerti apa yang sedang
aku rasakan. Setiap hari, bahkan setiap malam, dia tak pernah berhenti meyakinkanku
bahwa dia sangat mencintaiku dan kami semua dapat menjalani cobaan ini berdua.
Aku hampir tidak percaya
dengan kata ‘cobaan’. Orang selalu bilang bahwa Tuhan tak pernah memberi cobaan
diluar batas kemampuan makhluk-Nya. Aku yakin, Tuhan Maha Melihat. Tapi kenapa
dia memberi cobaan yang terlalu memuakkan ini? Sejak lahir aku sudah diberi
cobaan dengan wajahku yang jelek. Kenapa harus ada cobaan lagi? Kenapa Tuhan
tidak memberi cobaan saja kepada para artis yang wajahnya ganteng? Hampir
setiap malam aku bertanya kepada Tuhan. Tapi Dia malah diam. Apakah Tuhan tidak mendengar pertanyaanku? Bukankah dia Maha Mendengar?
Pada bulan ketiga, Tuhan masih tidak
mau menjawab pertanyaanku. Dia malah memberi cobaan yang tidak pernah aku duga.
Persediaan berasku habis dan keluargaku tak bisa makan. Istriku yang biasanya
sabar sampai menangis tersedu-sedu. Anak-anakku hampir setiap malam memegang
perut mereka karena tidak bisa makan.
Karena kebingungan, aku memutuskan
untuk berkunjung ke salah satu temanku untuk memohon belas kasihnya. Dia
menyambutku dengan wajah sinis seolah dia bisa membaca fikiranku.
“Aku nggak punya duit,” katanya.
“Pinjem orang lain aja.”
Aku tak bisa bilang padanya kalau
dia itu teman jancok. Jadi aku hanya bisa mengangguk sambil mengucapkan jancok
dalam hati. Semenjak saat itu aku sama sekali tidak percaya dengan teman;
mereka akan datang disaat butuh, dan pergi disaat tak butuh.
Aku pulang kerumah dengan meneteskan air
mata. Istiku yang menyambutku ketika di rumah juga meneteskan air mata. Sayang,
air mata kami hanyalah air. Bukan air mata yang bisa berubah menjadi berlian
seperti yang ada di sinetron-sinetron. Jadi walau kami menangis berember-ember, tak
akan mengubah keadaan.
“Sabar
ya, mas,” kata istriku.
“Maafkan
aku,” kataku. “Aku hanya suami bodoh yang nggak mampu memberi nafkah kalian.”
“Aku bangga sama kamu, mas,” kata
istriku. “Kamu masih tetap bertahan disaat keluarga kita mengalami kehancuran.
Itu saja sudah cukup untuk membuatku bertahan denganmu. Toh kamu juga bisa mencari pekerjaan yang lain.”
Istriku memberiku beberapa kalimat
romantis seolah-olah kami berdua ini pemain sinetron. Dia memang jenius. Bukan
tentang kalimat romantis, maksudku. Melainkan usulannnya untuk mencari
pekerjaan lain. Otakku ini terlalu dipenuhi dengan kata kehancuran,
sampai-sampai mencari pekerjaan baru tak pernah terlintas dalam fikiranku.
Dua hari kemudian, aku
bertandang ke salah seorang tetanggaku. Aku memohon belas kasihan lagi. Tapi
dia cuma terdiam, dan memberi kalimat romantis yang sering dilontarkan oleh
para bajingan.
“Kamu mau pinjam uang?” tanya dia.
“Aku nggak punya duit.”
“Bukan,” kataku. “Aku hanya ingin
meminjam motormu untuk mengojek.”
“Motorku itu dipake! Emang kemana
warung burjomu? Sudah kau jual? Atau malah, sudah kau gadaikan untuk membeli
selingkuhan di Jogja? Hah?”
“Terima
kasih,” kataku.
Aku pulang dari rumah tetanggaku
dengan wajah tertunduk dan kembali bertandang ke tetanggaku yang lain.
Sepanjang perjalanan, para tetanggaku malah memberi tatapan sinis dan
berbisik-bisik. Aku sendiri mencoba untuk tidak mendengarnya. Walau telingaku
sudah kututup rapat, omongan dingin terus saja terlontar dari mulut mereka. Aku
mencoba sabar. Tapi inilah hukum kehidupan: saat kau berhasil semua orang akan
menyanjungmu, tapi saat kau gagal semua orang akan mengolok-ngolokmu.
Langkah
kakiku terhenti di sebuah rumah gedong milik pak RT. Aku gedor pintunya, dan
pak RT berjalan keluar rumah.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya
Pak RT.
“Saya butuh pekerjaan, pak,” kataku.
“Keluarga saya butuh uang buat makan.”
“Kebetulan
sekali,” kata Pak RT. “Saya punya sawah. Apakah anda bersedia bekerja disana?”
Aku
mengangguk dan tersenyum lebar.
Pekerjaan
sebagai tukang sawah serabutan kujalani setiap hari. Aku bangun pukul lima pagi
dan pulang jam enam sore. Sekarang ini cangkul adalah sahabatku. Aku mencangkul
tanpa henti dibawa terik matahari. Sampai-sampai sekujur tubuhku menghitam dan kulit
kakiku terkadang mengelupas. Setiap kali berangkat ke sawah, aku
pasti menundukkan diri sambil menutupi wajahku dengan topi. Aku malu. Aku malu
dengan para tetangga. Aku yang dulunya punya warung sendiri, sekarang hidup
sangat menderita. Aku mesti bekerja
pontang-panting dengan upah yang tidak seberapa.
Lima ribu perak. Itu adalah upah
yang kuterima selama aku berkerja di sawah seharian. Bayangkan saja, uang lima
ribu rupiah yang sering kau gunakan untuk memberi rokok lima batang, atau
memberi sebuah kondom, harus kugunakan untuk menghidupi keluargaku―aku, istiku,
dan kedua anakku yang masih SD.
Kami
sekeluarga terpaksa makan dengan nasi putih dibumbui garam. Setiap kali
keluargaku berkumpul untuk makan, air mataku terus berlinang. Harga diriku
seakan tercabi-cabik. Aku sebagai kepala keluarga seharusnya bisa membuat hidup
mereka bahagia. Bukannya membuat hidup mereka semakin menderita seperti ini.
Aku yang biasanya bercinta sama
istriku di kasur malah lebih suka berdiam diri. Aku merebahkan diri di samping istriku, lalu menoleh. Tanpa sepengetahuan
istriku, hampir setiap malam tangan kiriku memegang pisau dan menempelkannya
pada urat nadiku. Aku ingin sekali mengakhiri hidupku. Aku sudah tidak kuat dengan kehidupan ini. Setiap
kali aku ingin menggoreskan pisau ke nadiku, air mataku terus berlinang. Kalau
aku mati, siapa yang mengurusi istriku? Siapa yang mengurusi anak-anakku?
Satu tahun penuh aku menggeluti
pekerjaan sebagai kuli serabutan dengan pisau yang menempel di nadiku setiap
malam. Kurasa pekerjaan ini tak akan pernah membuatku berkembang. Seminggu
kemudian aku berkunjung lagi kerumah Pak RT. Kuberanikan untuk meminjam
motornya untuk mengojek dan meninggalkan KTP-ku sebagai jaminan kalau dia tidak
percaya denganku. Ketika aku menyodorkan KTP dengan mata yang bercucuran air,
Beliau malah tersenyum.
“Dibawa saja, mas,” kata Pak
RT.
“Lalu, bagaiamana sistem
pembayarannya, pak?” tanyaku.
“Bagi hasil saja, mas.”
Pak
RT menyerahkan kunci motor beserta surat-surat motor. Tanganku terangkat ke
atas. Segala puji syukur aku haturkan kepada Tuhan Penguasa Alam Semesta. Akhirnya,
Dia mulai mau juga menjawab pertanyaanku. Motor ini tidak akan pernah aku
sia-siakan.
Aku
pulang kerumah dengan membawa motor. Istriku yang ada dirumah menyambutku
dengan tamparan. Dia mengira bahwa motor ini hasil maling. Tapi aku jelaskan
kalau motor ini aku pinjam dari orang untuk mengojek. Kemudian, dia tersenyum
dan memelukku dengan erat. Aku tahu,
istriku memang tidak secantik artis. Tapi kuberitahu kau satu hal: kelak kalau
kau ingin menikah, carilah pasangan hidup yang mau diajak susah maupun senang,
sedih maupun gembira, menangis atau tertawa, dan yang terpenting menerimamu apa
adanya meskipun kau berubah jadi melarat. Contohnya saja istriku. Dia tak
pernah lelah untuk menyemangatiku buat berjuang setiap hari.
Motor
yang kupinjam dari pak RT kugunakan ketika malam untuk mengojek setelah
seharian disawah. Hasil mengojek aku tabung. Hasil dari kuli sawah kugunakan
untuk makan sekeluarga. Aku juga kerja sampingan sebagai tukang pijet.
Pokoknya, semua pekerjaan halal yang bisa menghasilkan uang aku lakukan demi
menyambung hidup.
Sedikit demi sedikit, tabunganku
mulai berkumpul banyak. Aku terus membanting tulang selama lima tahun, dan pada
akhirnya uangku berkumpul sekitar sepuluh juta. Aku meminta ijin kepada istiku
untuk mengembara lagi ke Jogja. Istriku awalnya mencegahku dan berkata bahwa
Yogyakarta itu keras. Aku sendiri hanya membalas ucapan istriku dengan
senyuman.
“Aku
akan kembali membuka warung burjo,” kataku. “Uang tabungan kita sudah cukup
untuk membuat warung burjo yang baru.”
Istriku mengangguk.
Seminggu setelah percakapan itu kuputuskan untuk kembali
ke Yogyakarta.
Aku mulai mencari
teman-temanku yang lama untuk bertanya tempat mana yang dikontrakkan dan mereka
mengusulkan di daerah Kuningan, sekitar kampus UGM-UNY. Tanpa fikir panjang aku
mendatangi tempat kosong itu. Aku
bertanya kepada pemilih tempat apakah disewakan. Pemilih toko berkata bahwa
memang disewakan. Aku tersenyum dan saat itu juga membayar uang sewa.
Di dunia ini memang
tidak ada yang instant. Aku harus bersusah payah untuk membuat warungku ramai.
Di bulan pertama belum ada pembeli dan pada bulan kelima pengunjung warung baru
berdatangan. Sampai tahun kedua warungku terus ramai oleh pembeli. Bahkan, jauh
lebih ramai dari warung terdahulu yang dimaling oleh adikku.
Sekarang Tuhan menjawab semua pertanyaanku.
Mungkin tanpa gempa Jogja, aku tidak akan pernah mensyukuri apa yang telah aku
punya selama ini. Tuhan ingin memberi tahu bahwa aku harus mensyukuri segala
sesuatu yang kupunya karena ini semua titipan-Nya, yang kelak bisa diambil
suatu saat oleh-Nya. Tuhan juga ingin memberi tahu kalau aku harus lebih
menghargai apa yang aku miliki sebelum kehilangan. Sesuatu pasti akan lebih berharga setelah
kita merasa kehilangan, bukan?
Sebagai
penjual burjo, kerjaanku memang mengolak-alik gorengan sambil menunggui warung.
Jadi biasanya, aku meluapkan kesepianku dengan ngobrol-ngobrol dengan para
pembeli. Sialnya, sekarang sudah tengah malam dan warungku lagi sepi.
Dari
kejauhan, aku melihat seorang pemuda mengendarai motor berhenti di depan
warungku dan duduk di kursi pelanggan. Dia adalah pelanggan setiaku. Hampir setiap
malam dia selalu nongkrong di warungku.
“Es
kopi, mas,” katanya. “Yang manis!"
“Siap,” kataku.
Seperti
malam-malam biasanya, pemuda itu meraih tas dari punggungnya, mengeluarkan
laptop biru, lalu matanya terus saja beradu dengan laptop. Aku sendiri tidak
tahu, apa yang pemuda ini lakukan. Setiap kali datang ke warungku, pemuda ini
pasti bercumbu dengan laptop. Pernah suatu hari, aku bertanya kepada
teman-teman kuliahnya apa yang pemuda ini lakukan. Kebetulan teman kuliahnya
juga sering main ke warungku. Tapi setiap kali aku bertanya apa yang sedang dia
lakukan, teman kuliahnya malah mengangkat bahu.
“Dia
itu tukang tidur. Tukang bolos kuliah,” kata mereka. “Masa depan suram!”
Aku bukanlah cenayang, dukun, atau
paranormal. Tapi aku bisa menebak kalau pemuda itu pasti sedang merencanakan
hal yang besar. Terkadang aku kasihan dengan teman kuliahnya yang selalu
menilai pemuda itu bermasa depan suram. Aku pernah dengar pemuda itu seringkali
berkata tentang impian, perjuangan, dan masa depan. Kurasa masa depannya tak
akan pernah suram; hanya orang bodoh yang menterlantarkan kuliahnya tanpa
melakukan apa pun. Aku bisa melihat dari sorot matanya yang tajam, gaya bicaranya,
bahkan dari cara dia menyikapi masalah. Tapi aku tidak mengatakan itu
kepadanya. Aku takut dia malah menjadi sombong.
Aku
perhatikan daritadi, pemuda itu masih sibuk memencet-mencet keyboard laptop. Tapi sekali lagi aku yakin, dia bukanlah orang
sembarangan. Dia seperti menyimpan suatu rahasia besar yang hanya diketahui
oleh dirinya sendiri dan Tuhan.
Dua
jam sudah pemuda itu beradu dengan laptopnya. Dia keliatan capek sekali.
Matanya mulai sendu. Dia memasukkan laptop, lalu meninum es kopi.
“Pulang
ke Jawa Barat kapan, mas?” tanyanya.
“Paling bulan depan,”
kataku.
Tanpa
tersadar pemuda itu terus menerus memberondongku dengan pertanyaan yang
menjebak. Dan tanpa tersadar pula, aku mulai menceritakan pengalamanku tentang
Gempa Yogja dan warung yang dimaling oleh adikku. Sampai-sampai air mataku
berlinang.
“Aku malu,” kataku. “Kamu pasti tidak akan percaya apa
yang akan aku ceritakan.”
“Setiap
orang pasti pernah mengalami pengalaman pahit. Hidupku juga penuh dengan
pengalaman pahit. Bapak-ibukku pernah mengalami pahit,” katanya. “Aku ingin
mendengar ceritamu. Untuk pelajaran hidup.”
Inilah yang aku maksud.
Pemuda ini terus mengeluarkan kalimat pancingan bagaikan sihir yang membuatku
bercerita tentang semua pengalaman hidupku. Awalnya, aku sempat curiga bahwa
dia anak psikologi. Tapi sewaktu aku
tanya kuliah di jurusan apa, dia malah menjawab mahasiswa Fisika sambil
tersenyum lebar. Yah, anak ini sama
sekali tidak cocok kuliah di Fisika. Kabarnya dia juga sempat diterima di
jurusan psikologi, tapi tidak diambil. Anak ini benar-benar membuatku semakin
penasaran. Dan hebatnya, dia sama sekali tidak memberiku ruang untuk
mengungkapkan rasa penasaranku. Dengan sihirnya, dia mampu membuatku terus bercerita
tentang semua pengalaman hidupku menjadi penjual makanan.
“Apakah aku boleh menuliskan cerita
hidupmu?” katanya, setelah aku selesai bercerita. Kulihat matanya mulai
berkaca-kaca setelah mendengar kisah hidupku.
“Buat
apa?” tanyaku. “Semua orang pasti tidak akan percaya dengan apa yang
aku ceritakan.”
“Siapa
tahu bermanfaat,” kata pemuda itu. “Namamu aku samarin jadi siapa, mas?”
Aku terdiam sangat lama. Sampai akhirnya
pemuda itu memutuskan untuk pulang karena katanya, besok pagi dia ada kuliah
pagi. Dia bergegas meninggalkanku, sebelum aku menjawab siapakah nama samaran
yang aku pilih. Namaku Dayat, (itu nama yang kupilih sendiri karena pemuda itu
sudah menghilang sebelum aku menyebutkan nama samaranku), kini empat puluh
tahun, seorang penjual makanan. Setelah berbulan-bulan percakapanku dengan
pemuda itu, aku masih menunggu kedatangannya. Bagaimanapun, aku ingin sekali
menanyakan apa yang sebenarnya dia rencanakan, dan apakah dia benar-benar
menuliskan kisah hidupku.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar