Aku paling benci saat-saat seperti ini: dimana aku
ingin membuat orang tertawa, dan diriku sendiri berkata bahwa aku lebih cengeng
daripada seorang bayi berumur dua bulan. Malam ini aku memang menangis.
Menangis secara secara harfiah, maksudnya. Mungkin mataku tetap terang
benderang seperti lampu bohlam, tapi hatiku meraung kesakitan.
Peristiwa ini bermula tadi pagi. Aku tahu, kau pasti
bertanya-tanya kapan dan dimana peristiwa yang akan kuceritakan berlangsung.
Sejujurnya aku tak bisa menjawab. Kau tau, di negeri yang akan kuceritakan,
semua orang bertindak secara arogan. Bahkan kabarnya banyak sekali orang yang
menuliskan cerita tentang keadaan negeri itu dimasukkan ke dalam penjara. Aku
sendiri tak tahu kenapa mereka dimasukkan ke dalam penjara. Tapi kurasa, negeri
itu sangat takut mengakui bahwa negeri mereka memang bodoh. Kau tak ingin aku
dipenjara, bukan? Jadi ijinkan aku menyebutnya, Negeri Bodoh. Sekali lagi, ini
cerita tentang Negeri Bodoh, sebuah negeri nan jauh di luar angkasa. Kurasa sekarang
aku tak perlu takut menulis karena kejadian ini terjadi di Negeri Bodoh.
Aku bangun dengan mata yang memerah seperti bola
ping pong. Samar-samar hidungku mulai mencium bau yang tidak sedap. Aku tahu,
kamarku memang selalu beraroma tak sedap. Tapi bau ini benar-benar aneh. Aku
tidak pernah mencium bau seaneh ini sebelumnya.
Aku mulai melangkahkan kaki keluar kamar menuju
halaman depan. Betapa takjubnya kala itu. Kumpulan abu beterbangan dari
angkasa. Ini pertama kalinya dalam hidup aku melihat abu sebanyak ini. Aku bingung harus bahagia atau sedih. Semua
orang pasti akan menganggapku gila karena aku kegirangan melihat abu sebanyak
itu. Sebodoh amat! Toh mereka tidak tahu isi hatiku.
“Apa yang sedang terjadi, Parjo?” tanyaku pada salah
satu teman satu kos. Parjo kebetulan sedang berada di luar kosan. Kurasa dia
sama takjubnya denganku. Kulihat daritadi Parjo terus aja melongo menatap
kumpulan debu, bahkan dia sampai ngiler.
“Aku nggak tahu,” jawab Parjo. “Sepertinya gunung
Kelud sedang njebluk tadi malem.”
“Gunung Kelud? Bukannya itu ada di Jawa Timur?”
lanjutku. “Masak abunya sampai sini?”
“Kau, kan, anak Fisika? Bukankah seharusnya kau
mempelajari gejala alam?”
Aku mengangkat bahu.
“Entahlah,” jawabku. “Sepertinya Tuhan sedang marah.”
“Sok tahu, kau!” seru Parjo. “Mungkin ini kutukan
buat negeri kita, Negeri Bodoh.”
“Kasian amat
Negeri Ini,” kataku. “Kurasa ini bukanlah kutukan, melainkan ujian.”
“Ujian mbahmu!”
seru Parjo. “Ujian gimana?”
“Otakmu terlalu sering kau gunakan buat lihat bokep!
Punya otak buat mikir!”
Aku sendiri tak ingin menghakimi bahwa Parjo bodoh
karena aku sendiri memang bodoh. Setidaknya itulah kalimat yang sering
dilontarkan teman-teman kuliahku. Kau tahu kenapa mereka mengataiku bodoh?
Karena IPK-ku hanya Dua Koma dan mereka berkata bahwa mahasiswa ber-IPK dua
koma tak akan pernah menjadi orang sukses. Aku sendiri masih bertanya-tanya
sebenernya mereka yang bodoh atau aku yang bodoh. Setahuku di belahan bumi mana
pun untuk menjadi orang sukses tidak perlu punya IPK tinggi. Sudahlah, bukan
itu yang ingin kuceritakan disini.
Aku berlalu meninggalkan Parjo, dan menuju kamar.
Aku memang sengaja menghindari pertanyaan Parjo. Itu pertanyaan yang mudah menurutku.
Bahkan seorang bayi yang baru lahir dapat menjawab pertanyaan itu dengan
lancar. Kenapa gunung njebluk adalah
cobaan? Karena hidup memang istilah lain dari cobaan. “Ganteng, kaya, jelek,
sedih, bahagia, bencana, anugerah, bahkan apapun yang ada di bumi adalah cobaan
untuk manusia.” Begitulah kata guru SMA-ku.
Hapeku
berdering. Seketika aku mulai memencet tombol terima.
“Halo, Le?” suara itu keluar dari dalam hapeku. (Ini
bukanlah sulap. Hape jaman sekarang memang bisa ngomong sendiri). “Gimana kabar
Yogyakarta? tadi pagi ibuk lihat di TV hujan abu, ya?’
“Baik-baik saja, buk,” jawabku. “Disini emang hujan
abu. Mana tebelnya kayak salju. Serasa di Eropa saja.”
“Jangan lupa beli masker. Di apotek, kan, banyak.
Oya, kamu sudah sarapan? Jangan lupa makan, nanti kamu sakit...”
Telefon itu berasal dari Ibuku yang ada di kampung.
Kau benar, dia memang cerewet. Tapi aku sayang ibuku. Dia wanita yang paling
kusayang diseluruh dunia. Akan kuberi
tahu kenapa aku sangat menyayanginya: dia adalah wanita yang paling mengerti
aku, meskipun aku selalu mengecewakannya ia tetap mengerti aku. Kuharap kelak
aku bisa menikah dengan wanita cantik yang selalu mengerti aku (meskipun orang
selalu memanggilku idiot).
Usai telfon, siang harinya kuputuskan untuk main ke
kosan temanku, Ahmad. Dia teman kuliahku. Sepanjang perjalan ke kos Ahmad aku
menyaksikan beberapa orang dengan sukarela membagikan masker. Ya Tuhan! Mereka
benar-benar baik. Tak seperti orang-orang diluar sana yang selalu berkicau di
dunia maya tentang betapa dahsyatnya letusan gunung Kelud tanpa melakukan apa
pun. Aku sendiri tahu bahwa niat mereka mulia. Mereka ingin menyebarkan ke
seantero alam semesta bahwa negerinya sedang mengalami bencara, negeri mereka
sedang mengalami kutukan, negeri mereka sedang bergetar dengan dahsyatnya.
Andai mereka tahu kalo negeri lain akan tertawa ketika melihat Negeri Bodoh
terkena bencana. Dan andai saja mereka tahu, kalau uang yang digunakan untuk
membuka internet akan jauh lebih berguna jika disumbangkan kepada saudara
mereka yang terkena bencana.
Dunia memang adil, kau tahu, ada orang baik dan ada
orang jahat. Disisi lain aku melihat beberapa orang membagikan masker, tapi
dengan syarat memberi uang lima ribu perak. “Dasar bajingan! Udah tahu ada
bencana masih aja cari untung,” fikirku. Yah, aku hanya memikirkan kalimat itu
dalam hati, tidak berani berkata langsung. Bisa-bisa aku dikeroyok oleh mereka.
“Ah, kau?” sapa Ahmad ketika aku sampai di depan
Pintunya.
“Lagi apa kau?” tanyaku. “Nonton bokep?”
“Nonton bokep matamu!”
seru Ahmad. “Aku baru aja bersih-bersih.”
“Sekarang kamarmu sudah bersih, bukan? Bagaimana
kalo kita turun ke jalan saja membersihkan abu. Tadi aku baru aja lihat
beberapa orang membagikan masker secara gratis. Aku ngerasa malu sama mereka.”
“Kau gila? Nanti dikira kita orang yang idiot.
Dikira cari muka.”
“Aku tak peduli omongan orang! Tuhan Maha Tahu.”
Ahmad tertawa.
“Baiklah, ide yang bagus,” kata Ahmad. “Kau tahu?
Seluruh orang akan menganggap kita gila.”
“Lebih baik dianggap gila daripada dianggap bodoh!”
seruku. “Seperti Negeri ini! Negeri Bodoh!”
“Bodoh? Apa maksudmu?”
Sekarang giliran aku yang tertawa terbahak-bahak.
“Negeri ini benar-benar bodoh,” kataku. “Menurutku
abu ini adalah ujian dari Tuhan untuk melihat seberapa pedulinya kita terhadap
sesama. Aku benci dengan pemerintah. Pemerintah yang HEBAT, tepatnya. Apa guna pemerintah
menurutmu? Bukankah mereka wakil rakyat? Apakah kau sudah merasa mereka
mewakili rakyat?”
“Aku tahu maksudmu,” lanjut Ahmad. “Tapi bukankah
pemerintah sudah melakukan suatu hal?”
“Omong kosong! Aku sama sekali tak peduli. Aku masih
melihat gunungan abu disana-sini. Mereka hanya membagikan masker. Dan mereka
hanya membersihkan segelintir jalan besar yang kondang. Lalu bagaimana dengan jalan
tidak terkenal dan jalan besar lainnya. Bukankah abu yang menyebabkan orang
memakai masker? Kenapa mereka tidak membersihkan abu saja?”
“Aku lihat di TV mereka baru saja membersihkan
jalanan.”
“Mungkin karena disiarkan di TV. Tadi aku baru saja
keliling kota ini. Buktinya banyak jalanan masih penuh dengan abu.”
Ahmad terdiam. Dia menggaruk-garuk kepalanya mirip
monyet.
“Mungkin kau benar,” kata Ahmad. “Hanya beberapa
jalan yang dibersihkan. Padahal banyak sekali jalan di kota ini. Padahal
pemerintah punya mobil pemadam kebakaran, water canon, tangki penyemprot air
yang sering digunakan untuk menyiram tanaman, dan tetek bengek lainnya. Kenapa
mereka tak menggunakan itu semua, ya?”
“Aku tak tahu,” jawabku. “Kenapa tidak kau tanyakan
saja kepada pemerintah?”
Ahmad terdiam lagi. Entahlah, aku sendiri tak tahu
kenapa Ahmad hobi banget diam. Semoga dia tidak meneruskan hobinya untuk diam
setelah menikah. Pasti dia bakal digugat cerai kalo terus menerus mengembangkan
bakatnya berdiam diri.
“Mungkin sekarang kita bisa idealis,” kata Ahmad.
“Tapi setelah di dunia kerja, kita bakal berbeda. Kakakku bekerja di
pertanahan, kau tahu bagaimana keadaan di pertanahan? Lama-lama dia juga bakal
terbawa oleh arus. Ini semua sistem. Kita harus tunduk dalam sistem sewaktu di
dunia kerja.”
“Tak selamanya,” kataku. “Ada pekerjaan yang tak
selalu mengikuti arus.”
“Apa? Mana ada?”
“Seniman, kau tahu? Pekerjaan ini tak selamanya
diatur oleh sistem. Para seniman akan melakukan hal yang mereka inginkan dengan
jujur dan blak-blakan. Bahkan mereka tak akan segan untuk mengkritik
pemerintah. Dan yang lebih hebat, mereka tak akan segan untuk mengkritik
habis-habisan negeri mereka sendiri. Mereka terus berkarya. Mereka berkarya
dengan kebebasan tanpa pernah tunduk oleh sistem sekali pun.”
“Mungkin. Memang apa yang bisa seniman lakukan?”
“Mungkin. Memang apa yang bisa seniman lakukan?”
Aku terdiam sangat lama. Lalu tersenyum lebar.
Andai saja
Ahmad melihat tulisan ini, pasti Ahmad akan tahu apa yang bisa seniman lakukan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar