15 Februari 2014

Tuhan, Negeri Bodoh, dan Tumpukan Abu.


Aku paling benci saat-saat seperti ini: dimana aku ingin membuat orang tertawa, dan diriku sendiri berkata bahwa aku lebih cengeng daripada seorang bayi berumur dua bulan. Malam ini aku memang menangis. Menangis secara secara harfiah, maksudnya. Mungkin mataku tetap terang benderang seperti lampu bohlam, tapi hatiku meraung kesakitan. 

Peristiwa ini bermula tadi pagi. Aku tahu, kau pasti bertanya-tanya kapan dan dimana peristiwa yang akan kuceritakan berlangsung. Sejujurnya aku tak bisa menjawab. Kau tau, di negeri yang akan kuceritakan, semua orang bertindak secara arogan. Bahkan kabarnya banyak sekali orang yang menuliskan cerita tentang keadaan negeri itu dimasukkan ke dalam penjara. Aku sendiri tak tahu kenapa mereka dimasukkan ke dalam penjara. Tapi kurasa, negeri itu sangat takut mengakui bahwa negeri mereka memang bodoh. Kau tak ingin aku dipenjara, bukan? Jadi ijinkan aku menyebutnya, Negeri Bodoh. Sekali lagi, ini cerita tentang Negeri Bodoh, sebuah negeri nan jauh di luar angkasa. Kurasa sekarang aku tak perlu takut menulis karena kejadian ini terjadi di Negeri Bodoh.    

Aku bangun dengan mata yang memerah seperti bola ping pong. Samar-samar hidungku mulai mencium bau yang tidak sedap. Aku tahu, kamarku memang selalu beraroma tak sedap. Tapi bau ini benar-benar aneh. Aku tidak pernah mencium bau seaneh ini sebelumnya. 


Aku mulai melangkahkan kaki keluar kamar menuju halaman depan. Betapa takjubnya kala itu. Kumpulan abu beterbangan dari angkasa. Ini pertama kalinya dalam hidup aku melihat abu sebanyak ini.  Aku bingung harus bahagia atau sedih. Semua orang pasti akan menganggapku gila karena aku kegirangan melihat abu sebanyak itu. Sebodoh amat! Toh mereka tidak tahu isi hatiku.  

“Apa yang sedang terjadi, Parjo?” tanyaku pada salah satu teman satu kos. Parjo kebetulan sedang berada di luar kosan. Kurasa dia sama takjubnya denganku. Kulihat daritadi Parjo terus aja melongo menatap kumpulan debu, bahkan dia sampai ngiler. 

“Aku nggak tahu,” jawab Parjo. “Sepertinya gunung Kelud sedang njebluk tadi malem.”

“Gunung Kelud? Bukannya itu ada di Jawa Timur?” lanjutku. “Masak abunya sampai sini?”

“Kau, kan, anak Fisika? Bukankah seharusnya kau mempelajari gejala alam?”

Aku mengangkat bahu. 

“Entahlah,” jawabku. “Sepertinya Tuhan sedang marah.”

“Sok tahu, kau!” seru Parjo. “Mungkin ini kutukan buat negeri kita, Negeri Bodoh.”

 “Kasian amat Negeri Ini,” kataku. “Kurasa ini bukanlah kutukan, melainkan ujian.” 

“Ujian mbahmu!” seru Parjo. “Ujian gimana?”

“Otakmu terlalu sering kau gunakan buat lihat bokep! Punya otak buat mikir!” 

Aku sendiri tak ingin menghakimi bahwa Parjo bodoh karena aku sendiri memang bodoh. Setidaknya itulah kalimat yang sering dilontarkan teman-teman kuliahku. Kau tahu kenapa mereka mengataiku bodoh? Karena IPK-ku hanya Dua Koma dan mereka berkata bahwa mahasiswa ber-IPK dua koma tak akan pernah menjadi orang sukses. Aku sendiri masih bertanya-tanya sebenernya mereka yang bodoh atau aku yang bodoh. Setahuku di belahan bumi mana pun untuk menjadi orang sukses tidak perlu punya IPK tinggi. Sudahlah, bukan itu yang ingin kuceritakan disini. 

Aku berlalu meninggalkan Parjo, dan menuju kamar. Aku memang sengaja menghindari pertanyaan Parjo. Itu pertanyaan yang mudah menurutku. Bahkan seorang bayi yang baru lahir dapat menjawab pertanyaan itu dengan lancar.  Kenapa gunung njebluk adalah cobaan? Karena hidup memang istilah lain dari cobaan. “Ganteng, kaya, jelek, sedih, bahagia, bencana, anugerah, bahkan apapun yang ada di bumi adalah cobaan untuk manusia.” Begitulah kata guru SMA-ku.

 Hapeku berdering. Seketika aku mulai memencet tombol terima. 

“Halo, Le?” suara itu keluar dari dalam hapeku. (Ini bukanlah sulap. Hape jaman sekarang memang bisa ngomong sendiri). “Gimana kabar Yogyakarta? tadi pagi ibuk lihat di TV  hujan abu, ya?’

“Baik-baik saja, buk,” jawabku. “Disini emang hujan abu. Mana tebelnya kayak salju. Serasa di Eropa saja.”

“Jangan lupa beli masker. Di apotek, kan, banyak. Oya, kamu sudah sarapan? Jangan lupa makan, nanti kamu sakit...”

Telefon itu berasal dari Ibuku yang ada di kampung. Kau benar, dia memang cerewet. Tapi aku sayang ibuku. Dia wanita yang paling kusayang diseluruh dunia.  Akan kuberi tahu kenapa aku sangat menyayanginya: dia adalah wanita yang paling mengerti aku, meskipun aku selalu mengecewakannya ia tetap mengerti aku. Kuharap kelak aku bisa menikah dengan wanita cantik yang selalu mengerti aku (meskipun orang selalu memanggilku idiot).

Usai telfon, siang harinya kuputuskan untuk main ke kosan temanku, Ahmad. Dia teman kuliahku. Sepanjang perjalan ke kos Ahmad aku menyaksikan beberapa orang dengan sukarela membagikan masker. Ya Tuhan! Mereka benar-benar baik. Tak seperti orang-orang diluar sana yang selalu berkicau di dunia maya tentang betapa dahsyatnya letusan gunung Kelud tanpa melakukan apa pun. Aku sendiri tahu bahwa niat mereka mulia. Mereka ingin menyebarkan ke seantero alam semesta bahwa negerinya sedang mengalami bencara, negeri mereka sedang mengalami kutukan, negeri mereka sedang bergetar dengan dahsyatnya. Andai mereka tahu kalo negeri lain akan tertawa ketika melihat Negeri Bodoh terkena bencana. Dan andai saja mereka tahu, kalau uang yang digunakan untuk membuka internet akan jauh lebih berguna jika disumbangkan kepada saudara mereka yang terkena bencana. 

Dunia memang adil, kau tahu, ada orang baik dan ada orang jahat. Disisi lain aku melihat beberapa orang membagikan masker, tapi dengan syarat memberi uang lima ribu perak. “Dasar bajingan! Udah tahu ada bencana masih aja cari untung,” fikirku. Yah, aku hanya memikirkan kalimat itu dalam hati, tidak berani berkata langsung. Bisa-bisa aku dikeroyok oleh mereka. 

“Ah, kau?” sapa Ahmad ketika aku sampai di depan Pintunya.

“Lagi apa kau?” tanyaku. “Nonton bokep?”

“Nonton bokep matamu!” seru Ahmad. “Aku baru aja bersih-bersih.” 

“Sekarang kamarmu sudah bersih, bukan? Bagaimana kalo kita turun ke jalan saja membersihkan abu. Tadi aku baru aja lihat beberapa orang membagikan masker secara gratis. Aku ngerasa malu sama mereka.”

“Kau gila? Nanti dikira kita orang yang idiot. Dikira cari muka.”

“Aku tak peduli omongan orang! Tuhan Maha Tahu.”

Ahmad tertawa. 

“Baiklah, ide yang bagus,” kata Ahmad. “Kau tahu? Seluruh orang akan menganggap kita gila.”

“Lebih baik dianggap gila daripada dianggap bodoh!” seruku. “Seperti Negeri ini! Negeri Bodoh!”

“Bodoh? Apa maksudmu?”

Sekarang giliran aku yang tertawa terbahak-bahak.

“Negeri ini benar-benar bodoh,” kataku. “Menurutku abu ini adalah ujian dari Tuhan untuk melihat seberapa pedulinya kita terhadap sesama. Aku benci dengan pemerintah. Pemerintah yang HEBAT, tepatnya. Apa guna pemerintah menurutmu? Bukankah mereka wakil rakyat? Apakah kau sudah merasa mereka mewakili rakyat?”

“Aku tahu maksudmu,” lanjut Ahmad. “Tapi bukankah pemerintah sudah melakukan suatu hal?”

“Omong kosong! Aku sama sekali tak peduli. Aku masih melihat gunungan abu disana-sini. Mereka hanya membagikan masker. Dan mereka hanya membersihkan segelintir jalan besar yang kondang. Lalu bagaimana dengan jalan tidak terkenal dan jalan besar lainnya. Bukankah abu yang menyebabkan orang memakai masker? Kenapa mereka tidak membersihkan abu saja?”

“Aku lihat di TV mereka baru saja membersihkan jalanan.”

“Mungkin karena disiarkan di TV. Tadi aku baru saja keliling kota ini. Buktinya banyak jalanan masih penuh dengan abu.”

Ahmad terdiam. Dia menggaruk-garuk kepalanya mirip monyet. 

“Mungkin kau benar,” kata Ahmad. “Hanya beberapa jalan yang dibersihkan. Padahal banyak sekali jalan di kota ini. Padahal pemerintah punya mobil pemadam kebakaran, water canon, tangki penyemprot air yang sering digunakan untuk menyiram tanaman, dan tetek bengek lainnya. Kenapa mereka tak menggunakan itu semua, ya?” 

“Aku tak tahu,” jawabku. “Kenapa tidak kau tanyakan saja kepada pemerintah?”

Ahmad terdiam lagi. Entahlah, aku sendiri tak tahu kenapa Ahmad hobi banget diam. Semoga dia tidak meneruskan hobinya untuk diam setelah menikah. Pasti dia bakal digugat cerai kalo terus menerus mengembangkan bakatnya berdiam diri. 

“Mungkin sekarang kita bisa idealis,” kata Ahmad. “Tapi setelah di dunia kerja, kita bakal berbeda. Kakakku bekerja di pertanahan, kau tahu bagaimana keadaan di pertanahan? Lama-lama dia juga bakal terbawa oleh arus. Ini semua sistem. Kita harus tunduk dalam sistem sewaktu di dunia kerja.”

“Tak selamanya,” kataku. “Ada pekerjaan yang tak selalu mengikuti arus.”

“Apa? Mana ada?”

“Seniman, kau tahu? Pekerjaan ini tak selamanya diatur oleh sistem. Para seniman akan melakukan hal yang mereka inginkan dengan jujur dan blak-blakan. Bahkan mereka tak akan segan untuk mengkritik pemerintah. Dan yang lebih hebat, mereka tak akan segan untuk mengkritik habis-habisan negeri mereka sendiri. Mereka terus berkarya. Mereka berkarya dengan kebebasan tanpa pernah tunduk oleh sistem sekali pun.”

“Mungkin. Memang apa yang bisa seniman lakukan?”

Aku terdiam sangat lama. Lalu tersenyum lebar. 

 Andai saja Ahmad melihat tulisan ini, pasti Ahmad akan tahu apa yang bisa seniman lakukan.[] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar