17 Januari 2014

Tahun Baru dan Kebodohan

Semua orang pernah merayakan tahun baru, tapi nggak semua orang ‘memaknai’ apa  tahun baru itu sendiri. Nggak usah jauh-jauh, deh. Contohnya aja gue. Kadang gue ngerasa, ngapain harus mikirin tahun baru? Lha wong tahun baru aja nggak pernah mikirin gue.

Gue emang selalu beda dengan kawula muda pada umumnya. Disamping lebih keren, gue juga lebih aneh.  Malem tahun baru kemaren gue rayakan dengan membaca tumpukan buku yang mulai berbukit-bukit kayak dadanya Julia Peres. Sesekali nyari nyamuk make raket listrik. Ya, kadang gue sendiri mikir, kenapa malem tahun gue begitu garing?

Lebih dari dua jam membaca, mata gue pegel juga. Karena nggak ada tukang pijet mata, gue mencoba mengurangi efek pegal di mata dengan menonton TV. Sesaat kemudian gue tersadar, This is a bad idea!  Very bad idea!

Melihat TV pas acara malem tahun baru adalah siksaan terpedih dalam hidup gue setelah mendengar dosen fisika botak lagi berceramah. Semua acara TV nayangin adegan pesta kembang api. Mana kebanyakan yang liat itu para pasangan kekasih yang pegangan tangan dengan romantisnya. Nah, gue? malah pegangan raket listrik. Bukannya romantis malah kesetrum. Sial.


Ya, ya, ya, kalian nggak perlu menggembar-gemborkan betapa tragisnya malam tahun baru gue. Aslinya, malem tahun baru gue nggak setragis itu. Gue cuma mendramatisasi aja, biar terkesan jadi orang paling menderita di seluruh muka bumi.  Kalo boleh jujur, malam tahun baru ini merupakan malam tahun baru paling berkesan selama hidup gue. Minimal gue masih menikmati malam tahun baru di rumah. Bukannya mendekam di penjara.

Beda dengan tahun baru kemaren, dimana gue menantikan detik-detik pergantian tahun di sebuah pekarangan rumah, barbeque-nan bareng orang-orang spesial, bercanda bareng, ketawa-ketawa bareng, terus pas udah pergantian tahun baru teriak-teriak mirip babi hutan kesurupan.  Pada malam tahun baru kali ini, gue menikmati malam tahun baru dengan seseorang yang sangat berharga dalam hidup gue, seseorang yang seringkali gue lupakan dalam hidup.  Diri gue sendiri.

Malem tahun baru kali ini merupakan ajang refleksi diri alias mawas diri. Disaat orang-orang bergembira ria menyambut tahun baru, gue sendiri malah sibuk ngumpat dalam hati.  Disaat orang merencanakan apa yang akan mereka lakukan di tahun baru, gue malah sibuk sibuk mikirin apa yang sudah gue lakukan selama satu tahun ini.

Hampir genap satu tahun...  gue asyik-asyikan bermain.

Hampir genap satu tahun...  gue melakukan kebodohan.

Hampir genap satu tahun...  gue masih aja menyia-nyiakan waktu untuk hal yang nggak berguna.

Hampir genap satu tahun...  gue tetep mentingin bersenang-senang daripada masa depan.

Hampir genap satu tahun... gue jadi pecundang.  Gue tetep aja nggak mampu mewujudkan impian gue, mewujudkan cita-cita gue,  mewujudkan daftar dreamnote yang udah gue pajang di dinding kamar.

Dan yang lebih parah... Hampir genap satu tahun gue membohongi diri gue sendiri.  Gue terlalu sibuk untuk bermimpi, gue terlalu sibuk membual, gue terlalu sibuk merencanakan sesuatu, gue terlalu sibuk memikirkan masa depan. Gue terlalu sibuk merencanakan tanpa pernah berusaha merealisasikan.

Beberapa bulan yang lalu, gue udah masang beberapa target terbesar dalam hidup di dreamnote. Itu lah target yang harus gue penuhi dalam satu tahun ini. Entah itu soal perkuliahan, masa depan, impian, asmara, atau apa pun. Endingnya, gue tetep nggak berhasil memenuhi target gue sendiri. Dreamnote yang gue tempet di dinding bagaikan omong kosong. Kumpulan omong kosong yang nggak pernah gue isi.

Terlalu takut. Mungkin kalimat itu yang paling tepat. Gue terlalu takut untuk meraih impian gue. Gue terlalu takut untuk mewujudkan semua impian gue.., sendirin.  Berharap semua orang yang ada di bumi ini berlabalik menyemangati gue sambil tersenyum, lalu berkata, “Semangat ya, Luck!”. Tanpa kalimat itu, dengan seenaknya sendiri gue menterlantarkan impian. Gue selalu mengkambing-hitamkan kalimat itu untuk kebodohan gue sendiri. Ketika gagal, gue selalu berucap,  “Ah, nggak ada yang nyemangati gue, nggak ada yang percaya sama impian gue. Jadi males ngapa-ngapain. Mana bisa gue melalui ini sendiri?”

Sikap manja gue yang selalu menggantungkan orang lain ini tanpa disadari merubah gue menjadi sesosok manusia bermental pecundang. Ketika orang menyemangati, gue akan lebih giat untuk memperjuangkan impian gue. Tapi kalo ada orang yang menertawakan impian gue, pada saat itu juga gue langsung terjatuh.

Gue terlalu mengambil hati celaan orang. Gue terlalu memikirkan hinaan orang.  Gue terlalu memikirkan cacian orang lain. Gue terlalu mendengarkan omongan orang lain yang seakan nggak percaya terwujudnya impian gue. Sampai-sampai gue nggak percaya akan diri gue sendiri.

“Apakah gue bisa meraih impian gue disaat orang lain selalu menertawakan impian gue?” itulah kalimat yang sering terbersit dalam otak ketika gue kehilangan semangat. Ketika seluruh impian menunggu, dan gue masih tetap bertahan tanpa melakukan apa pun.

Mungkin inilah kebodohan terbesar gue dalam tahun 2013, nggak pernah percaya akan diri gue sendiri. Seharusnya gue sadar akan satu hal, Impian itu harus diperjuangkan. Di dunia ini nggak ada yang instant tanpa proses. Bahkan, untuk makan mie instan yang katanya instant itu, kita harus punya uang, beli ke toko, lalu memasaknya.

Seharusnya gue nggak terlalu memikirkan omongan orang yang selalu menertawakan impian gue. Meskipun omongan itu keluar dari mulut orang terdekat gue sekali pun. Ahh..., gue emang terlalu memakai hati. Gue sampai melupakan kalau dikaruniai otak oleh Tuhan.

Belajar, belajar, dan belajar.  Hinaaan, cacian, hujatan, itu adalah tantangan yang harus gue taklukan untuk menggapai impian. Gue nggak perlu memikirkan segala macam kalimat menjatuhkan yang dilontarkan orang lain. Nggak perlu. Gue hanya perlu melakukan yang terbaik, menggapai impian gue, percaya akan diri sendiri. Lalu membungkam berbagai macam omongan kasar yang diontarkan orang lain.

Gue hanya perlu membuktikan kalo gue bukanlah pecundang. Gue nggak perlu memikirkan segala macam jerit tawa yang dilontarkan orang lain.  Gue nggak perlu memikirkan impian gue yang terlalu besar, terlalu tinggi, atau bahkan terlalu bermimpi. Gue cukup percaya akan diri gue sendiri.

Karena ketika sendiri, sebenarnya gue nggak pernah sendiri. Ada Tuhan yang dengan setia menemani perjuangan gue, ada Tuhan yang selalu setia mendengar segala keluh kesah gue, ada Tuhan yang senantiasa menunggu gue untuk mewujudkan mimpi itu. Tuhan memang nggak pernah diam, Dia hanya ingin melihat seberapa besar usaha gue untuk mewujudkan impian itu.

Gue hanya perlu berjuang, percaya dengan diri sendiri, dan percaya akan Tuhan.  

Gue hanya perlu berjuang di tahun yang baru dengan semangat yang baru.

Sampai suatu saat gue bisa berteriak dengan lantang, “Impian itu bisa jadi kenyataan!”[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar