Semua orang pernah merayakan tahun baru,
tapi nggak semua orang ‘memaknai’ apa
tahun baru itu sendiri. Nggak usah jauh-jauh, deh. Contohnya aja gue.
Kadang gue ngerasa, ngapain harus mikirin tahun baru? Lha wong tahun baru aja
nggak pernah mikirin gue.
Gue emang selalu beda dengan kawula muda
pada umumnya. Disamping lebih keren, gue juga lebih aneh. Malem tahun baru kemaren gue rayakan dengan
membaca tumpukan buku yang mulai berbukit-bukit kayak dadanya Julia Peres.
Sesekali nyari nyamuk make raket listrik. Ya, kadang gue sendiri mikir, kenapa
malem tahun gue begitu garing?
Lebih dari dua jam membaca, mata gue
pegel juga. Karena nggak ada tukang pijet mata, gue mencoba mengurangi efek
pegal di mata dengan menonton TV. Sesaat kemudian gue tersadar,
This is a bad idea! Very bad idea!
Melihat TV pas acara malem tahun baru
adalah siksaan terpedih dalam hidup gue setelah mendengar dosen fisika botak
lagi berceramah. Semua acara TV nayangin adegan pesta kembang api. Mana
kebanyakan yang liat itu para pasangan kekasih yang pegangan tangan dengan romantisnya.
Nah,
gue? malah pegangan raket listrik. Bukannya romantis malah kesetrum. Sial.
Ya, ya, ya, kalian nggak perlu menggembar-gemborkan betapa tragisnya malam
tahun baru gue. Aslinya, malem tahun baru gue nggak setragis itu. Gue cuma
mendramatisasi aja, biar terkesan jadi orang paling menderita di seluruh muka
bumi. Kalo boleh jujur, malam tahun baru
ini merupakan malam tahun baru paling berkesan selama hidup gue. Minimal gue
masih menikmati malam tahun baru di rumah. Bukannya mendekam di penjara.
Beda dengan tahun baru kemaren, dimana gue menantikan detik-detik
pergantian tahun di sebuah pekarangan rumah, barbeque-nan bareng orang-orang
spesial, bercanda bareng, ketawa-ketawa bareng, terus pas udah pergantian tahun
baru teriak-teriak mirip babi hutan kesurupan. Pada malam tahun baru kali ini, gue menikmati
malam tahun baru dengan seseorang yang sangat berharga dalam hidup gue,
seseorang yang seringkali gue lupakan dalam hidup. Diri gue sendiri.
Malem tahun baru kali ini merupakan ajang refleksi diri alias mawas diri.
Disaat orang-orang bergembira ria menyambut tahun baru, gue sendiri malah sibuk
ngumpat dalam hati. Disaat orang
merencanakan apa yang akan mereka lakukan di tahun baru, gue malah sibuk sibuk
mikirin apa yang sudah gue lakukan selama satu tahun ini.
Hampir genap satu tahun... gue
asyik-asyikan bermain.
Hampir genap satu tahun... gue
melakukan kebodohan.
Hampir genap satu tahun... gue
masih aja menyia-nyiakan waktu untuk hal yang nggak berguna.
Hampir genap satu tahun... gue
tetep mentingin bersenang-senang daripada masa depan.
Hampir genap satu tahun... gue jadi pecundang. Gue tetep aja nggak mampu mewujudkan impian
gue, mewujudkan cita-cita gue, mewujudkan daftar dreamnote yang udah gue
pajang di dinding kamar.
Dan yang lebih parah... Hampir genap satu tahun gue membohongi diri gue
sendiri. Gue terlalu sibuk untuk
bermimpi, gue terlalu sibuk membual, gue terlalu sibuk merencanakan sesuatu,
gue terlalu sibuk memikirkan masa depan. Gue terlalu sibuk merencanakan tanpa
pernah berusaha merealisasikan.
Beberapa bulan yang lalu, gue udah masang beberapa target terbesar dalam
hidup di dreamnote. Itu lah target yang harus gue penuhi dalam satu tahun ini.
Entah itu soal perkuliahan, masa depan, impian, asmara, atau apa pun. Endingnya,
gue tetep nggak berhasil memenuhi target gue sendiri. Dreamnote yang gue tempet
di dinding bagaikan omong kosong. Kumpulan omong kosong yang nggak pernah gue
isi.
Terlalu takut. Mungkin kalimat itu yang paling tepat. Gue terlalu takut
untuk meraih impian gue. Gue terlalu takut untuk mewujudkan semua impian gue..,
sendirin. Berharap semua orang yang ada
di bumi ini berlabalik menyemangati gue sambil tersenyum, lalu berkata,
“Semangat ya, Luck!”. Tanpa kalimat itu, dengan seenaknya sendiri gue
menterlantarkan impian. Gue selalu mengkambing-hitamkan kalimat itu untuk
kebodohan gue sendiri. Ketika gagal, gue selalu berucap, “Ah, nggak ada yang nyemangati gue, nggak ada
yang percaya sama impian gue. Jadi males ngapa-ngapain. Mana bisa gue melalui
ini sendiri?”
Sikap manja gue yang selalu menggantungkan orang lain ini tanpa disadari
merubah gue menjadi sesosok manusia bermental pecundang. Ketika orang
menyemangati, gue akan lebih giat untuk memperjuangkan impian gue. Tapi kalo ada
orang yang menertawakan impian gue, pada saat itu juga gue langsung terjatuh.
Gue terlalu mengambil hati celaan orang. Gue terlalu memikirkan hinaan
orang. Gue terlalu memikirkan cacian
orang lain. Gue terlalu mendengarkan omongan orang lain yang seakan nggak
percaya terwujudnya impian gue. Sampai-sampai gue nggak percaya akan diri gue
sendiri.
“Apakah gue bisa meraih impian gue disaat orang lain selalu menertawakan
impian gue?” itulah kalimat yang sering terbersit dalam otak ketika gue
kehilangan semangat. Ketika seluruh impian menunggu, dan gue masih tetap
bertahan tanpa melakukan apa pun.
Mungkin inilah kebodohan terbesar gue dalam tahun 2013, nggak pernah percaya
akan diri gue sendiri. Seharusnya gue sadar akan satu hal, Impian itu harus
diperjuangkan. Di dunia ini nggak ada yang instant tanpa proses. Bahkan, untuk
makan mie instan yang katanya instant itu, kita harus punya uang, beli ke toko,
lalu memasaknya.
Seharusnya gue nggak terlalu memikirkan omongan orang yang selalu
menertawakan impian gue. Meskipun omongan itu keluar dari mulut orang terdekat
gue sekali pun. Ahh..., gue emang terlalu memakai hati. Gue sampai melupakan
kalau dikaruniai otak oleh Tuhan.
Belajar, belajar, dan belajar. Hinaaan,
cacian, hujatan, itu adalah tantangan yang harus gue taklukan untuk menggapai
impian. Gue nggak perlu memikirkan segala macam kalimat menjatuhkan yang
dilontarkan orang lain. Nggak perlu. Gue hanya perlu melakukan yang terbaik,
menggapai impian gue, percaya akan diri sendiri. Lalu membungkam berbagai macam
omongan kasar yang diontarkan orang lain.
Gue hanya perlu membuktikan kalo gue bukanlah pecundang. Gue nggak perlu
memikirkan segala macam jerit tawa yang dilontarkan orang lain. Gue nggak perlu memikirkan impian gue yang
terlalu besar, terlalu tinggi, atau bahkan terlalu bermimpi. Gue cukup percaya
akan diri gue sendiri.
Karena ketika sendiri, sebenarnya gue nggak pernah sendiri. Ada Tuhan yang
dengan setia menemani perjuangan gue, ada Tuhan yang selalu setia mendengar
segala keluh kesah gue, ada Tuhan yang senantiasa menunggu gue untuk mewujudkan
mimpi itu. Tuhan memang nggak pernah diam, Dia hanya ingin melihat seberapa
besar usaha gue untuk mewujudkan impian itu.
Gue hanya perlu berjuang, percaya dengan diri sendiri, dan percaya akan
Tuhan.
Gue hanya perlu berjuang di tahun yang baru dengan semangat yang baru.
Sampai suatu saat gue bisa berteriak dengan lantang, “Impian itu bisa jadi
kenyataan!”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar