2 Maret 2015

Ngeng, Ngeng, Ngeeeng!


Satu tahun setelah meraih gelar sarjana pendidikan, pria itu memutuskan untuk menikah dengan kekasihnya semasa kuliah. Dan sekarang, ia memiliki seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Mereka hidup di rumah kecil yang terbuat dari bambu kepang yang menyerupai kandang sapi. Hanya ada peralatan memasak di bagian belakang rumah, dua buang kamar tanpa kasur dan sebuah meja kerja di ruang tamu.

Andai saja aku menjadi kaya, fikir pria itu, mungkin aku akan bisa membahagiakan keluarga kecilku.

Profesinya sebagai guru honorer di sebuah sekolah swasta hanya mampu untuk membeli beras. Padahal, anaknya sudah harus menginjak bangku taman kanak-kanak. Belum lagi ia ingin membelikan istrinya cincin pernikahan (cincin pernikahan mereka sudah dijual untuk bertahan hidup dua bulan lalu). Pria itu masih saja mematung di teras rumah dan fikirannya menerawang jauh di langit yang gelap pekat, kemudian terperosok dalam lautan kenangan. Semua teman-temannya semasa dulu, yang sudah hidup mapan, selalu menghindar ketika dimintai tolong. Sanak saudara memandangnya sebelah mata karena sehari-hari ia berkerja dengan mengendarai sepeda onthel. Tetangganya di kampung mencaci karena gelar sarjananya hanya menghasilkan kata melarat. Kadang ia merasa menjadi suami yang bodoh. Seorang suami yang tak mampu membuat keluarganya hidup berkecukupan sehingga tiap hari harus makan dengan nasi garam.

 Gusti Allah, fikir pria itu lagi, aku pengin kaya.

Tiba-tiba, terdengar suara bocah sedang berbicara sendiri dari dalam rumah. Pria itu lalu masuk ke dalam rumah dan mendapati anak laki-lakinya sedang mengoceh sendiri di ruang tamu.

“Kamu sedang berbicara sama siapa, Dek?” tanya pria itu.

“Ituuu,” kata anak itu. Dia menunjuk ke depan, “temenku.”

Pria itu hanya bisa melongo. Sama sekali tidak ada siapapun. Kecuali dua bongkah batu  yang tergeletak di atas lantai tanah.    

“Mana, sih?” tanya pria itu lagi.

“Itu lhoo!”

“Yang mana?”

“Embah-mbah yang pake blangkon. Macak Ayah ndak tahu?”

Pria itu garuk-garuk kepala. Yang ada hanya dua bongkah batu.

“Itu apalagi?” tanya pria itu. “Kenapa Adek bawa-bawa batu ke dalam rumah?”

“Anu, Ayah...”

“Anu apa, Dek?”

“Anu. Itu lhoo... aku kan pengen punya mobil-mobilan. Tapi kata temenku, Adek halus jadi anak yang baik dan ndak boleh nyusahin olang tua. Kata temenku juga, Ayah lagi ndak punya uang. Makanya Adek bawa batu yang milip mobil bial bisa dimaenin. Nih... liaat! Milip sama mobil kan?”

Ngeng, ngeng, ngeeeng! Anak lelaki itu kemudian memaju-mundurkan batu yang dipegangnya. Ngeng, ngeng, ngeeeng!

Pria itu kemudian menunduk. Gambaran bongkahan batu yang didorong itu merayapi matanya, terbang dalam sel darah merah, merambat urat nadi, dan melayang-layang bebas di jaringan otak lalu menusuk-nusuk sukmanya, seolah-olah jantungnya baru saja ditikam oleh belati. Ia berbalik, dan berjalan menjauhi anaknya dengan mata yang penuh air mata. Tidak ada orang tua yang ingin membuat anaknya menderita, kata pria itu dalam hati. Kalaupun mampu, bahkan helikopter sekalipun akan kuberikan untukmu, Dek.

Di teras rumah, ia kembali merenung sambil menatap langit. Gusti Allah, Pangeranku, kula kedah pripun (aku harus bagaimana)? tanyanya dalam hati. Dan seperti mendapat bisikan dari langit, ia berlarian menuju kamar dan mengambil sebuah kaos kumal bergambar partai politik.

Tidak ada orang tua yang ingin membuat anaknya menderita, katanya dalam hati. 

Keesokan harinya, seusai pulang mengajar dari sekolah, ia menggenjot sepeda onthelnya dan menawarkan diri pada sebuah  juragan padi. Si juragan pagi mengangguk dan pada detik itu juga ia resmi menjali kuli panggul padi. Pria itu, kemudian, mengangkut karung yang penuh padi di bawah panasnya terik matahari dengan keringat yang mengucur deras dari tubuhnya selama seminggu penuh. Dan ketika uangnya terkumpul, ia segera mengajak anak laki-lakinya menuju toko mainan. Betapa girangnya anak itu. Ia terus meloncat-loncat kegirangan sewaktu menuju toko dan matanya nampak berbinar.     

“Adek mau mobil-mobilan yang mana?” tanya pria itu saat di toko mainan.

“Yang paling besal!” teriak anak itu, girang. “Boleh?”

“Boleh, kok. Kemaren Ayah baru saja dapat gaji tambahan dari sekolah Ayah.”

“Yeeee! Makacih banget, Ayah!”

Anak laki-laki itu memeluk sebuah mobil-mobilan dan tubuhnya kembali meloncat-loncat.  Ditaruhnya mobil itu di lantai, dipandanginya sangat lama sambil tersenyum, kemudian dimaju-mundurkan. Ngeng, ngeng, ngeeeng! Mobil itu kemudian di dorong maju di atas lantai, diangkatnya melewati di dinding, ditempelkan di tubuh Ayahnya, di ajaknya terbang ke angkasa lalu diajak berputar-putar di depan toko.

Sebuah mobil Honda Jazz warna merah terparkir di depan toko. Anak laki-laki itu melihat mobil-mobilan yang di pegangnya, lalu melihat mobil Honda Jazz. Apa bedanya mobil-mobilan sama mobil sungguhan? tanya anak itu dalam hati. Ia melangkahkan kaki mendekati mobil Honda Jazz itu, lalu mengusap-usap bagian pintunya. Sungguh halus. Ia kemudian menunduk kembali. Mengusap-usap mobil-mobilan miliknya. Sungguh kasar. Ternyata masih halus mobil sungguhan, fikirnya. Ia kembali mengusap-ngusap permukaan mobil itu dengan tangannya.

Ngeng, ngeng, ngeeeng! Lalu ia mengangkat mobil-mobilan yang dipegangnya, dan mendorongnya di  pintu mobil Honda Jazz.    Terdengar bunyi klik ketika pintu itu dibuka dari dalam. Anak laki-laki itu terperanjat dan melangkahkan kaki ke belakang. Seorang pria berkumis dan berperut buncit keluar dari dalam mobil.

ASU!” teriak pria berkumis itu.  “Anak-e sopo iki?!

Pria berkumis itu kemudian melihat anak itu; bertubuh kecil, memiliki mata sedikit melotot dan berpakaian compang-camping.

Endi orang tuamu?” tanyanya.

Anak itu mengacungkan telunjuknya ke arah toko mainan, dimana Ayahnya sedang berbincang-bincang dengan penjual mainan, yang diikuti oleh derap langkah pria berkumis itu.

Sampeyan orang tuanya bocah iku?!” tanya pria berkumis itu.

“Iya, Mas.”

“Dia tadi barusan ndorong mainannya di mobil saya!”

“Waduh… maaf ya, Mas. Anak saya memang baru beli mainan, makanya...”

“Maaf? Kalau mobil saya lecet bagaimana?! Sampeyan mau ngganti?! Hah?”

“Maaf, Mas. Anak saya kan masih kecil. Ndak tahu apa-apa.”

Ngurus anak aja nggak becus!”

Pria berkumis itu melenggang ke mobilnya setelah mengucapkan kata ASU! Dan pintu mobilnya dibanting dengan keras. Anak itu hanya bisa melongo melihat kejadian itu. Sang Ayah mendekati anaknya dan tersenyum.

 “Ayah,” kata anak itu, “Itu tadi olang kaya, ya?”

“Iya, Dek. Itu tadi orang kaya. Lain kali, kalau mainan mobil-mobilan di lantai aja ya.”

“Kenapa olang kaya itu jahat, Ayah?”

Sang Ayah kembali tersenyum, dan mengelus-elus rambut anaknya dengan tangan kanannya. Anak itu kemudian memeluk tubuh Ayahnya, mendongak ke atas dengan kening berkerut serta menggit bibir.

“Ayah jangan jadi olang kaya ya,” kata anak itu. “Aku ndak mau Ayah belubah jadi jahat.”[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar