Satu tahun setelah
meraih gelar sarjana pendidikan, pria itu memutuskan untuk menikah dengan
kekasihnya semasa kuliah. Dan sekarang, ia memiliki seorang anak laki-laki
berusia lima tahun. Mereka hidup di rumah kecil yang terbuat dari bambu kepang yang
menyerupai kandang sapi. Hanya ada
peralatan memasak di bagian belakang rumah, dua buang kamar tanpa kasur dan sebuah
meja kerja di ruang tamu.
Andai saja aku menjadi
kaya, fikir pria itu, mungkin aku akan bisa membahagiakan keluarga kecilku.
Profesinya sebagai guru
honorer di sebuah sekolah swasta hanya mampu untuk membeli beras. Padahal,
anaknya sudah harus menginjak bangku taman kanak-kanak. Belum lagi ia ingin
membelikan istrinya cincin pernikahan (cincin pernikahan mereka sudah dijual
untuk bertahan hidup dua bulan lalu). Pria itu masih saja mematung di teras
rumah dan fikirannya menerawang jauh di langit yang gelap pekat, kemudian
terperosok dalam lautan kenangan. Semua teman-temannya semasa dulu, yang sudah hidup
mapan, selalu menghindar ketika dimintai tolong. Sanak saudara memandangnya
sebelah mata karena sehari-hari ia berkerja dengan mengendarai sepeda onthel.
Tetangganya di kampung mencaci karena gelar sarjananya hanya menghasilkan kata
melarat. Kadang ia merasa menjadi suami yang bodoh. Seorang suami yang tak
mampu membuat keluarganya hidup berkecukupan sehingga tiap hari harus makan dengan
nasi garam.
Gusti Allah, fikir pria itu lagi, aku pengin
kaya.
Tiba-tiba, terdengar
suara bocah sedang berbicara sendiri dari dalam rumah. Pria itu lalu masuk ke
dalam rumah dan mendapati anak laki-lakinya sedang mengoceh sendiri di ruang
tamu.
“Kamu sedang berbicara
sama siapa, Dek?” tanya pria itu.
“Ituuu,” kata anak itu.
Dia menunjuk ke depan, “temenku.”
Pria itu hanya bisa
melongo. Sama sekali tidak ada siapapun. Kecuali dua bongkah batu yang tergeletak di atas lantai tanah.
“Mana, sih?” tanya pria
itu lagi.
“Itu lhoo!”
“Yang mana?”
“Embah-mbah yang pake
blangkon. Macak Ayah ndak tahu?”
Pria itu garuk-garuk
kepala. Yang ada hanya dua bongkah batu.
“Itu apalagi?” tanya
pria itu. “Kenapa Adek bawa-bawa batu ke dalam rumah?”
“Anu, Ayah...”
“Anu apa, Dek?”
“Anu. Itu lhoo... aku kan
pengen punya mobil-mobilan. Tapi kata temenku, Adek halus jadi anak yang baik
dan ndak boleh nyusahin olang tua.
Kata temenku juga, Ayah lagi ndak
punya uang. Makanya Adek bawa batu yang milip mobil bial bisa dimaenin. Nih...
liaat! Milip sama mobil kan?”
Ngeng, ngeng, ngeeeng!
Anak lelaki itu kemudian memaju-mundurkan batu yang dipegangnya. Ngeng, ngeng,
ngeeeng!
Pria itu kemudian
menunduk. Gambaran bongkahan batu yang didorong itu merayapi matanya, terbang
dalam sel darah merah, merambat urat nadi, dan melayang-layang bebas di
jaringan otak lalu menusuk-nusuk sukmanya, seolah-olah jantungnya baru saja
ditikam oleh belati. Ia berbalik, dan berjalan menjauhi anaknya dengan mata
yang penuh air mata. Tidak ada orang tua yang ingin membuat anaknya menderita,
kata pria itu dalam hati. Kalaupun mampu, bahkan helikopter sekalipun akan
kuberikan untukmu, Dek.
Di teras rumah, ia
kembali merenung sambil menatap langit. Gusti Allah, Pangeranku, kula kedah pripun (aku harus bagaimana)?
tanyanya dalam hati. Dan seperti mendapat bisikan dari langit, ia berlarian
menuju kamar dan mengambil sebuah kaos kumal bergambar partai politik.
Tidak ada orang tua
yang ingin membuat anaknya menderita, katanya dalam hati.
Keesokan harinya, seusai
pulang mengajar dari sekolah, ia menggenjot sepeda onthelnya dan menawarkan
diri pada sebuah juragan padi. Si
juragan pagi mengangguk dan pada detik itu juga ia resmi menjali kuli panggul
padi. Pria itu, kemudian, mengangkut karung yang penuh padi di bawah panasnya
terik matahari dengan keringat yang mengucur deras dari tubuhnya selama
seminggu penuh. Dan ketika uangnya terkumpul, ia segera mengajak anak
laki-lakinya menuju toko mainan. Betapa girangnya anak itu. Ia terus
meloncat-loncat kegirangan sewaktu menuju toko dan matanya nampak berbinar.
“Adek mau mobil-mobilan
yang mana?” tanya pria itu saat di toko mainan.
“Yang paling besal!”
teriak anak itu, girang. “Boleh?”
“Boleh, kok. Kemaren Ayah
baru saja dapat gaji tambahan dari sekolah Ayah.”
“Yeeee! Makacih banget,
Ayah!”
Anak laki-laki itu
memeluk sebuah mobil-mobilan dan tubuhnya kembali meloncat-loncat. Ditaruhnya mobil itu di lantai, dipandanginya
sangat lama sambil tersenyum, kemudian dimaju-mundurkan. Ngeng, ngeng, ngeeeng!
Mobil itu kemudian di dorong maju di atas lantai, diangkatnya melewati di
dinding, ditempelkan di tubuh Ayahnya, di ajaknya terbang ke angkasa lalu
diajak berputar-putar di depan toko.
Sebuah mobil Honda Jazz
warna merah terparkir di depan toko. Anak laki-laki itu melihat mobil-mobilan
yang di pegangnya, lalu melihat mobil Honda Jazz. Apa bedanya mobil-mobilan
sama mobil sungguhan? tanya anak itu dalam hati. Ia melangkahkan kaki mendekati
mobil Honda Jazz itu, lalu mengusap-usap bagian pintunya. Sungguh halus. Ia
kemudian menunduk kembali. Mengusap-usap mobil-mobilan miliknya. Sungguh kasar.
Ternyata masih halus mobil sungguhan, fikirnya. Ia kembali mengusap-ngusap
permukaan mobil itu dengan tangannya.
Ngeng, ngeng, ngeeeng! Lalu
ia mengangkat mobil-mobilan yang dipegangnya, dan mendorongnya di pintu mobil Honda Jazz. Terdengar bunyi klik ketika pintu itu dibuka
dari dalam. Anak laki-laki itu terperanjat dan melangkahkan kaki ke belakang.
Seorang pria berkumis dan berperut buncit keluar dari dalam mobil.
“ASU!” teriak pria berkumis itu.
“Anak-e sopo iki?!”
Pria berkumis itu
kemudian melihat anak itu; bertubuh kecil, memiliki mata sedikit melotot dan
berpakaian compang-camping.
“Endi orang tuamu?” tanyanya.
Anak itu mengacungkan
telunjuknya ke arah toko mainan, dimana Ayahnya sedang berbincang-bincang
dengan penjual mainan, yang diikuti oleh derap langkah pria berkumis itu.
“Sampeyan orang tuanya bocah iku?!”
tanya pria berkumis itu.
“Iya, Mas.”
“Dia tadi barusan ndorong mainannya di mobil saya!”
“Waduh… maaf ya, Mas.
Anak saya memang baru beli mainan, makanya...”
“Maaf? Kalau mobil saya
lecet bagaimana?! Sampeyan mau ngganti?! Hah?”
“Maaf, Mas. Anak saya
kan masih kecil. Ndak tahu apa-apa.”
“Ngurus anak aja nggak
becus!”
Pria berkumis itu
melenggang ke mobilnya setelah mengucapkan kata ASU! Dan pintu mobilnya dibanting dengan keras. Anak itu hanya bisa
melongo melihat kejadian itu. Sang Ayah mendekati anaknya dan tersenyum.
“Ayah,” kata anak itu, “Itu tadi olang kaya,
ya?”
“Iya, Dek. Itu tadi
orang kaya. Lain kali, kalau mainan mobil-mobilan di lantai aja ya.”
“Kenapa olang
kaya itu jahat, Ayah?”
Sang Ayah kembali
tersenyum, dan mengelus-elus rambut anaknya dengan tangan kanannya. Anak itu
kemudian memeluk tubuh Ayahnya, mendongak ke atas dengan kening berkerut serta
menggit bibir.
“Ayah jangan jadi
olang kaya ya,” kata anak itu. “Aku ndak
mau Ayah belubah jadi jahat.”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar