5 November 2015

Patkai

Beberapa bulan lalu, saya bertemu dengan  mahasiswa dari Malaysia yang konon mempunyai IPK nyaris sempurna dan mendapat beasiswa dari Pemerintah karena prestasi akademiknya. Teman-teman saya mengebutnya “Patkai” karena menurut mereka wajahnya menyerupai babi dalam serial Sun Go Kong. Dia mempunyai tubuh yang gemuk seperti celengan semar dan matanya dibalut kacamata tebal. Meskipun berat mengakui, dan tanpa ada rasa untuk mengejek sedikitpun, saya juga sependapat dengan mereka. Dia menyerupai babi (hal ini tidak diragukan, saya telah membuktikannya melalui metode ini: saya cari gambar babi di internet, lalu saya ingat-ingat wajah Patkai. Mirip. Seperti kakak beradik.)


Teman-teman sayalah yang mengenalkan sosok Patkai ini dan kemudian kami mengobrol. Terlepas dari wajah Patkai yang menyerupai babi, ia mempunyai intelektualitas yang tinggi dan pandai bersilat lidah; mulutnya terus merancau bagaikan seorang burung dan pengalamannya bagaikan kepakan sayap yang membentang tinggi di angkasa. Semua teman saya, mendengarkan celotehan Patkai dengan terbengong-bengong dan sebagian ada yang ngiler, seolah-olah mereka adalah balita yang baru saja disuguhi adegan porno.
Patkai, menurut cerita, ialah seorang bocah yang lahir dengan otak cerdas dan ketika SMP ia memenangkan juara Olimpiade Tingkat Provinsi, lalu melanjutkan sekolah ke SMA 70 Jakarta─SMA yang katanya paling maju di eranya dan melahirkan tokoh-tokoh besar. Ayahnya bekerja sebagai  perwakilan Kepala Bagian Pendidikan untuk Negara J dan ibunya seorang  pengacara. Masa SMA Patkai dipenuhi dengan kenakalan; ia pernah menusuk perut gurunya; menjadi pecandu ekstasi dan pengedar narkoba; namun jeratan hukum selalu ditepisnya dengan jurus ajaib yang bernama menyogok polisi.



Dan, peristiwa berikutnya, akan mengubah jalan hidup Patkai untuk selamanya. Pada kelas dua SMA, seperti pemuda pada umumnya, ia menjalin kasih dengan seorang gadis yang juga teman satu SMA-nya dengan permasalahan beda Agama. Si orang tua kekasih tidak merestui namun mereka masih melanjutkan kisah asmara mereka. Patkai amat mencintai gadis itu dan menganggap ialah jodoh yang diberikan Tuhan kepadanya. Maka, Patkai pindah agama dan giliran orang tua Patkai yang tidak merestuinya sebagai anak. Diaa diusir dari rumah dan bertahan hidup dengan mengedarkan sabu.

“Apakah kamu tidak menyesal meninggalkan rumah dan keluargamu?” tanya saya, disela-sela ceritanya.

“Menyesal?” Patkai terkekeh. “Kau tahu, tugas orang tua hanyalah melahirkan bayi ke muka bumi ini dan anak bukanlah boneka yang bisa dikendalikan sesuka hati.  Lagi pula, aku sudah bisa mencari uang sendiri; sudah bisa berdikari. Hidup dengan uangku sendiri.”     

“Oke, oke,” kata saya. “Lanjutkanlah ceritamu.”

Lalu, Patkai melanjutkan ceritanya. Dalam pelarian, Patkai seolah-olah menemukan jalan hidupnya dan menjadi orang paling bahagia sedunia. Dia sangat mencintai kekasihnya dan kekasihnya sangat mencintainya. Sang kekasih mulai mengajarkan patkai untuk hidup normal, dalam artian, hidup seperti orang-orang pada umumnya. Patkai mulai rajin beribadah dan berhenti berjualan sabu dan membanting setir menjadi makelar hape.

Namun, hidup memang lucu, kata Patkai selanjutnya. Sang kekasih tiba-tiba didiagnosa oleh dokter mengidap penyakit kanker otak stadium akhir.  Umurnya difonis tinggal 3 bulan lagi. Sangat kecil kemungkinan untuk melanjutkan hidup.

Singkat cerita, setelah menerima kabar itu, Patkai menjadi rajin beribadah. Dia selalu memohon kepada Tuhan agar umur sang kekasih dipanjangkan.

“Asal kalian tahu,” kata Patkai, “Bahkan aku rela menebus umurku demi dia.”

“Maksudmu?” tanya salah satu teman saya.  

“Aku rela menukar hidupku demi dia. Lebih baik aku yang mati daripada dia.”
Kami semua terbengong-bengong—termasuk saya. Saya pikir, cinta sehidup semati hanya ada dalam cerita dongeng-dongeng. Namun, sekarang, tepat di mata kepala saya sendiri,  saya melihat seorang pemuda yang rela mati demi orang lain.

“Lalu apa yang terjadi?” tanya saya.  

“Tiga bulan kemudian dia meninggal,” kata Patkai.  

Lalu hening. Semua orang terdiam.   

“Semenjak saat itu, aku tidak percaya bahwa hidup adalah pilihan,” kata patkai.    

“Bukankah semua orang berkata ‘hidup adalah pilihan’?” tanya teman saya.

“Semua orang. Kecuali aku,” kata Patkai lagi. “Hidup bukanlah pilihan, melainkan ada pilihan.”
Dan keadaan kembali hening.[]          

1 komentar: