Aku percaya bahwa suratku ini, suatu saat, pasti akan kau baca meskipun tak pernah kusampaikan langsung kepadamu dan malah kutulis lewat blog pribadiku. Kaupun pasti paham kenapa aku tak mungkin mengirim sepucuk surat ini kepadamu dengan keadaanmu saat ini. Tapi, sekali lagi, aku percaya bahwa setiap tulisan akan menemukan takdirnya masing-masing. Dan, takdir tulisanku ini adalah kau baca.
Apa kabar, Malaikat Kecilku? Sehat, kan? Semoga
Tuhan melimpahkan karunia kepadamu yang tiada habis-habisnya.
Pasti kau akan senyum-senyum sendiri ketika
kupanggil “malaikat kecil” karena teringat puisi konyol yang pernah kutulis
untukmu dulu. Atau, kau malahan bingung dan lupa tentang puisi itu? Tak apa.
Aku tahu kau semakin bertambah umur dan mungkin daya ingatmu mulai melemah.
Tapi kuharap kau tetap tenang. Karena setelah membaca surat ini, kau pasti
ingat semuanya.
Sebelum kau bertanya, kenapa aku menulis surat ini,
maka akan kujawab bahwa aku tak tahu alasannya. Seolah-olah semesta menuntunku;
otakku tiba-tiba memikirkanmu dan jiwaku terus merongrong merindukan
kehadiranmu, fikiranku terlempar ke masa lalu—9tahun silam—saat kita pertama
berkenalan, dan tanganku digerakkan untuk menulis. Maka jadilah surat ini.
Kau ingat saat kita pertama bertemu? Maksudku, kau ingat saat pertama kalinya aku melihatmu? Dulu kalau tidak salah sewaktu kita sempat dekat, aku pernah menceritakan kepadamu bagaimana ceritanya aku bisa bertemu denganmu. Atau, kau lupa lagi? Ya ampun, ternyata kau sudah mulai pikun, ya? Oke-oke, akan kuceritakan semuanya. Semuanya. Bahkan akan kuceritakan kepadamu hal-hal yang mungkin belum kau tahu. Jadi kuharap kau sedikit bersabar dalam membaca karena tulisan ini akan panjang sekali.
Kita awali cerita ini dengan latar belakangku; aku
adalah seorang anak desa yang hijrah ke kota untuk meneruskan SMA dan waktu
awal-awal sekolah masih culun dan belum terlalu paham apa itu hakikat cinta.
Waktu kelas satu SMA aku menyukai banyak sekali
wanita cantik, tapi sialnya mereka yang kucintai tak pernah menyukaiku balik.
Setiap kali aku ingin mendekati wanita, pasti mereka akan memandangku dengan
tatapan hina, seolah-olah berkata, “Kamu suka aku? Pemuda bak pengemis menyukai
cewek bak artis? Najis.” Tapi aku
mencoba santai. Mungkin mereka hanyalah cinta monyet. Hipotesa itu semakin kuat
bahwa aku mengalami cinta monyet karena wajahku memang tak jauh beda dengan
monyet.
Aku telah gagal menjadi pemuda yang tampan. Lalu aku
berfikir, kalau tak bisa tampan, kenapa tak mencoba menjadi pemuda yang keren
dan paling popular di sekolah? Maka di kelas dua aku pun bertekat ikut OSIS
demi mendongkrak popularitasku dan dengan rencana mendekati adik-adik kelas
baru yang cantik ketika Masa Orientasi Siswa dan disanalah aku bertemu denganmu
pertama kalinya.
Pagi itu aku sudah siap di gerbang sekolah untuk
menyambut siswa dan siswi baru, dengan rompi OSIS berwarna biru muda
kebanggaanku yang kukenakan. Asal kau tahu, sebelumnya berangkat aku sudah
mandi dan luluran serta menyemprotkan parfum. Dua hari lalu aku juga telah
potong rambut. Aku sadar, sekeras apapun aku mencoba, aku akan kesulitan
setengah mati untuk terlihat ganteng—kecuali kalau operasi plastik, itupun
kalau ada ember yang mau jadi tumbal. Tapi paling tidak, dandananku tak seperti
biasanya yang menyerupai seorang pengemis.
Sekarang enak dipandang. Rapi serta wangi.
Suasana begitu riuh dengan adek-adek baru berseragam
putih-biru. Banyak sekali gadis yang cantik berkeliaran. SMA kita memang SMA
paling berkualitas dan paling populer di kabupaten kita, jadi tak khayal kalau
banyak sekali gadis kota yang berdandan modis. Sungguh mati, banyak sekali
gadis kecil yang mempunyai bibit-bibit cantik dan semuanya terlihat polos tanpa
dosa. Kutengok ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang. Mataku terus saja berkeliaran dan menikmati
suasana ini. Sampai akhirnya aku melihatmu.
Kau berdiri di antara segerombolan gadis. Ternyata
dari bed yang terpasang di lenganmu, kau berasal dari SMP paling kondang di
kota ini. Rambutmu panjang terurai
dengan cepet biru di atasnya. Kulitmu
memang sawo matang, namun terlihat begitu bercahaya. Kau terus saja
bercakap-cakap dengan teman-teman gadismu dan kemudian tertawa dan tersenyum.
Kau tahu, senyummu itu, sungguh meruntuhkan pertahananku. . Saking tak kuatnya
melihat senyummu, ingin rasanya aku melambaikan tangan ke atas dan berdoa
kepada Tuhan, “Jangan sampai mendadak
aku terkena penyakit diabetes, Gusti Allah.”
Tiba-tiba aku
begitu kikuk pada pandangan pertama. Dan kau tau apa yang konyol? Jantungku
berdegub kencang ketika memandangmu. Demi giginya Eli Sugigi, jantungku
berdegub kencang seolah-olah dikejar rentenir penagih hutang .
Terus
kupandangi kau. Harus kuakui bahwa kau tak secantik bintang sinetron. Tapi
tanpa sebab yang jelas, aku begitu terpikat kepadamu. Sekali lagi. Tanpa sebab yang jelas.
Tiba-tiba
saja, kuraba pedalaman hatiku, dan terdengar bunyik “klik”.
Masih kupandangi kau. Ingin sekali aku
menghampirimu, lalu berkata kepadamu, “Hay,” tapi tiba-tiba saja tubuhku
seperti membeku dan sendi-sendiku terasa melemas dan rontok. Mulutku membisu.
Tanganku bergetar sangat hebat. Jantungku memompa begitu keras seperti mau
meletus.
Apakah ini cinta? Kenapa cinta harus sebodoh ini?
Apa susahnya mendatangimu, lalu mengucapkan kata hay, berjabat tangan, lalu
mengobrol dan bertukar nomor telepon? Apa susahnya?
Selama setengah jam aku uring-uringan seperti orang
yang baru saja diberi kabar oleh para rentenir hutang jika tidak sesegera
mungkin membayar akan dilaporkan ke pihak kepolisian.
Dikarenakan aku tak bisa (atau lebih tepatnya tidak
berani) mencari tahu tentangmu secara langsung, kuputuskan untuk bertanya
kepada orang lain. Secara serampangan kugeret siswa baru yang menurutku berasal
dari sekolah yang sama denganmu dan ini kuketahui melalui bed di lengannya.
“Dek!” kataku.
“A…Apa, Kak? Ada apa?” katanya, gugup dan waajahnya
seperti ketakutan. Mungkin dia berfikiran bahwa akan dipalak. Ya, ya, ya,
perawakanku memang tak jauh beda dengan preman pasar.
“Kamu tahu gadis itu,” kataku, menunjuk kepadamu.
“Kenal?”
“Namanya Putri, Kak,” katanya. “Kenapa kak?”
“Ndak
papa. Makasih, ya!”
Oh... jadi namamu Putri. Itulah kali pertama aku
tahu namamu.
Hmmm,
Putri… seperti nama yang ada di cerita dongeng.
Sekali lagi, ingin sekali aku menghampirimu dan menyapamu,
“Hay, Putri, ya?” tapi aku tak mampu.
Terjadi pegolakan batin sangat lama dalam jiwaku. Ajak kenalan, atau tidak. Ajak kenalan,
atau tidak. Ajak kenalan, atau tidak.
Aku bisa saja memeras keberanianku untuk
mendatangimu mengulurkan tangan. Namun bagaimana kalau kau mendadak kaget dan
risih karena didatangi oleh orang tidak dikenal dan tiba-tiba mengajak kenalan?
Apalagi kau bersama teman-temanmu.
Bagaimana kalau aku datang dan kau acuhkan karena gengsi dengan teman-temanmu?
Aku bisa saja berdiam diri. Namun kesempatan emas
kali ini untuk mengenalmu apakah akan kusia-siakan begitu saja? Apakah aku akan
diam terus?
Aku terus saja memikirkan segala kemungkinan jika
aku mendatangimu, atau mendiamkanmu. Pikiranku jadi sangat pusing. Lebih pusing
daripada ulangan matematika dan mendapat nilai sembilan, dari skala seratus.
Sampai akhirnya kaupun menghilang diantara para
siswa baru lainnya. Dan aku mematung seperti malin kundang yang dikutuk ibunya
jadi batu.
Hm, sepertinya aku memang dikutuk jadi batu.
Oleh cinta.
Seharian aku terus saja memikirkanmu. Sampai malam
hari. Ketika aku melihat seorang gadis berseragam SMA, aku teringat wajahmu.
Ketika meihat artis di teve, aku teringat wajahmu. Bahkan ketika bertemu ibu kos, wajahnya
berubah menjadi wajahmu. Bayang-bayang wajahmu terus saja menghantuiku. Dan aku
tak bisa tidur dibuatnya. Saat kupejamkan mataku terlihat bayang dirimu.
Aku naik ke atas genteng, bukan buat bunuh diri,
namun merenung sembari menghisap berbatang-batang rokok. Mengingatmu dan
tersenyum, sembari membaca cerita dan menulis puisi. Yah, sewaktu SMA aku
memang sedikit alay. Menulis beberapa puisi yang amburadul dan merusak EYD.
Lalu menguploadnya ke Facebook. Menulis kata-kata bodoh, lalu menjadikannya
status.
“Woi!” teriak salah satu temanku dari bawah. Simo
namanya. Dia satu tingkat di atasku. Anak IPS.
Kosnya di belakang kosku. Meskipun sama-sama anak desa, harus kuakui
bahwa wajahnya ganteng menyerupai artis Korea.
“Asu kowe,
Mas!” kataku. “Tak kiro setan.”
“Kowe itu yang
setan. HAHAHA.”
“Habis darimana, Mas?”
“Biasa, nyewek hahaha.”
Simo kemudian naik ke atas genteng, bukan buat bunuh
diri, namun menemaniku yang sedang merenung sembari menghisap berbatang-batang
rokok.. Dia terlihat bingung memperhatikanku yang terus saja melihat bulan yang
menggantung di langit sembari senyum-senyum karena membayangkanmu.
“Le,” katanya.
“Kowe sehat?”
“Ha? Opo, Mas?”
“Kowe sehat??
Ndak kesambet genderuwo to?”
”Sehat.”
“Kok
senyum-senyum dewe? Kowe kenopo to?”
Aku kembali tersenyum.
“Kowe kenopo,
Le?” Tanya Simo.
“Sepertinya aku jatuh cinta, Mas,” kataku.
Simo melihatku. Dia menatapku sangat lama dan
terbengong-bengong, lalu tertawa terpingkal-pingkal sambil tangannya
menepuk-nepuk genteng. Untung gentengnya kuat. Sehingga kami berdua tak sampai
masuk berita utama dengan tajuk “dua orang pemuda di Purwodadi mati setelah
duduk di atas rumah dan genteng yang diduduki oleh mereka ambrol.”
“Kowe? Jatuh
cinta? Huahahahahaha.”
“Iyo,”
kataku.
“Adiku lanang
udah gede jebule. Udah ngerasain jatuh cinta.”
“Ojo ngono,
ah, Mas. Aku isin.”
“Siapa namanya?”
“Putri.”
“Coba ceritakan tentang Putri.”
Lalu aku mulai nyerocos panjang lebar tentang kau.
Kepada Simo. Dia hanya ngangguk-ngangguk dan sesekali terdiam.
“Baru pertama ketemu sudah jatuh cinta?” tanya Simo,
kemudian.
“Ya.”
“Kok aku jadi penasaran ya sama si Putri. Dia
cantik?”
“Biasa aja.”
“Dia manis?”
“Biasa aja.”
“Dandananya modis?”
“Biasa aja.”
“Lha asu.
Kabeh biasa aja. Terus kenapa kamu jatuh cinta sama dia?”
“Memang cinta butuh alasan?”
Simo terdiam. Dia garuk-garuk kepala sangat
lama. Dan aku masih asyik membayangkan
parasmu.
“Yaudah, deh. Tak tidur dulu, Le,” kata Simo.
“Ya,” kataku.
“Selamat berjuang!”
Aku mengangguk.
Karena tidak ada kerjaan dan bosan, iseng-iseng aku
bermain Facebook. Eits.. Tunggu dulu! Kenapa aku tak mencarimu di Facebook
saja? Bukankah semua orang punya Facebook? Yeah. Aku memang cerdas. Seharusnya
aku mendapat penghargaan Adipura atas kecerdasanku ini.
Kumasukan namamu di pencarian. Putri.
Dan, ketemu! Tanganku terangkat ke atas. Segala Puji
bagi Tuhan Penguasa Seluruh Alam.
Sebenarnya aku malu kepadamu. Tapi harus kuakui
bahwa aku sangat bahagia. Bahkan aku sampai sujud syukur. Dan andai saja aku
kaya raya, untuk merayakannya pasti aku sudah mengadakan acara tasyukuran dan menyembelih dua ekor kambing
detik ini juga. Mengundang tetangga satu RT untuk merayakannya.
Nama di akunmu memang sedikit aneh. Tapi aku tak
perduli. Meskipun namamu kau ganti dengan Karno, Karto, atau Sutiyem, aku tetap
akan menambahmu sebagai teman Facebookku.
Ragu-ragu, dengan menyebut nama Tuhan dan sambil
merem, aku klik “add friend.”
Sehari kamudian, kau terima permintaan pertemananku.
Bahagiaku bukan kepalang. Tanganku kembali terangkat. Segala Puji bagi Tuhan
Penguasa Seluruh Alam.
Dengan nekat, aku kirimi kau pesan di dinding
Facebookmu.
“Siswi baru, ya?”
Lalu ada balasan darimu. “Iya. Kok tau?”
“Aku kan ikut jadi panitia MOS. Jadi ngerti kamu
lah, hehehe. Padahal aku di SMANSA terkenal lho. Masak ndak kenal aku wkwkwk.”
“Masak sih, Mas? Aku belum kenal kamu “
“Makanya kenalan, dong wkwkwk”
Dan kemudian kita saling berkirim pesan lewat
dinding Facebook. Mulai dari tanya alamat dan mengobrol tentang kegiatan Masa
Orientasi Siswa sampai bercanda dan sesekali aku menggodamu.
Hampir setiap hari kita saling berkirim pesan lewat
dinding Facebook. Pagi. Siang. Sore.
Bahkan malam.
Berhari-hari kita saling mengobrol lewat dunia maya.
Dan berhari-hari pulalah hariku menjadi lebih berwarna.
Aku, yang sebelum mengenalmu berkulit sawo matang
dan kucel, lebih banyak memperhatikan keadaan kulitku yang memprihatinkan
dengan membeli lulur (lagi) dan handbody.
Aku, dengan mengemis uang dari orang tua, yang
berjerawat mulai pergi ke dokter kulit untuk facial. (Kuberitahu kau, facial
sangatlah sakit. Demi Tuhan! Aku sampai menangis dibuatnya, dan ketika jerawat
dipencet oleh perawat aku menyebut nama Tuhan berkali-kali. Ternyata facial
membuat kita lebih dekat dengan Tuhan.)
Aku, yang tidak rapi serupa gembel mulai menyetrika
baju, menyemir sepatu.
Aku, yang katrok mulai memakai aksesori seperti jam
tangan dan membeli tas baru.
Malahan, aku,
yang dari lahir memelihara kumis kesayanganku dan tak pernah memotongnya selama
belasan tahun, mulai mencukur bulu-bulu lebat di bawah hidung itu. Supaya
terlihat lebih muda dan tak terlihat seperti duda.
Dan hal-hal lain, yang jika kutulis dan kuprint akan
setebal Al-kitab.
Itu semua kulakukan demi kau. Orang yang sangat
memikat hatiku.
Setelah aku melakukan segala ritual dan bercermin,
aku jadi sadar wajahku tak jelek-jelek amat.
Dari yang sebelumnya, yang mana para temanku menyamakan tampangku dengan
tukang becak, sekarang mereka melihat perubahan diriku dan berkata, “Wow! Kamu
tampak beda, Luck! Sekarang jadi lebih mirip sales obat kuat!”
Namun, kau tahu, seperti kata Einstein, Tuhan tak
pernah bermain dadu. Seolah-olah Dia telah menggariskan kita untuk kembali
bertemu, dan kembali bertemu dan kembali bertemu.
Aku kembali melihatmu di hari terakhir Masa Orientasi
Siswa. Kau berjalan diantara para siswa baru yang berjubel di depan aula dan
memakai atribut MOS yang konyol. Menyerupai badut di pesta ulang tahun
anak-anak. Namun aku tak peduli. Meskipun kau memakai pakaian gelandangan
sekalipun, aku tetap memujamu.
Kupandangi kau sangat lama, berharap kau membalas
tatapanku. Ingin sekali aku bertingkah konyol seperti meneriaki namamu
sekencang mungkin atau berguling-guling di teras aula atau menggotong sound
system sebesar gajah lalu menyetelnya dan bergoyang ngebor seperti para biduan dangdut. Supaya kau tahu, bahwa aku
memperhatikanmu dan rela melakukan apapun demi menarik perhatianmu. Namun tak
jadi kulakukan karena takut dianggap orang gila. Lagi pula, aku yakin, para
wanita kurang suka dengan pria yang bertindak bodoh di depannya.
Masih kupandangi kau. Kau nampak sedikit jenuh (ini
dugaanku dikarenakan para siswa baru harus antre lama sekali untuk masuk ke
aula) dan matamu berkeliaran ke samping
kanan dan kiri. Dan, kebelangkang. Ke arahku! Kau tersenyum dan mata kita
bertatapan dan aku dibuat mabuk kepayang karenanya. Matamu adalah sebuah hamparan lautan luas dan
aku mencoba menyelaminya. Semakin dalam. Dalam. Dan dalam. Sampai akhirnya aku
tersesat dan melihat sekeliling dan hanya ada laut. Dan tiba-tiba saja bayanganmu
datang dari langit, bercahaya, bak malaikat
kecil yang turun dari surga. Kau
menatapku sangat lama. Tersenyum.
“Mas Lucky.”
Aku masih
terdiam. Larut dalam imajinasiku tentangmu. Dan mencoba meraba-raba dari mana
datangnya suara.
“Mas Lucky!”
Teriakan itu semakin kencang. “MAS LUCKY!”
Aku menoleh
kebelakang dari sumber suara. Yang meneriakiku adalah siswi yang kelasnya
kuampu.
Baru mau aku
jawab, adek itu keburu teriak, “MAS LUCKY!”
“Iy-“
“WOI! MAS LUCKY!”
Teriakannya membuatku mundur agak kebelakang, kepala
radak pening, dan dan terdengar bunyi ngiiiing.
Kudekati dia dengan tenaga yang tersisa, memegang bahunya dan berkata lemah,
“Dek, gendang telingaku hamper ambrol.”
Adek itu malah terkekeh. “Maaf, Mas,” katanya,
“Abisnya kamu melamun sih?”
“Siapa yang melamun?” tanyaku.
“Situ. Daritadi bengong kayak orang kesambet.“
“Aku tidak bengong. Hanya tenggelam dalam lautan.”
“Hah? Tenggelam?”
“Iya. Eh... anu. Aku cuma sedang… ah, ini bukan
urusanmu! Ada apa memangnya?”
“Atur barisan
kelas kita, Mas,” kata adek itu. “Biar dapet di tempat di dalem aula.”
“Oke, oke,” jawabku pendek.
Aku kembali melihat dimana tadi kamu berada dan
ternyata sudah tak ada. Ada rasa kecewa karena tak bisa memandangmu dengan
lama. Tapi disisi lain aku juga bahagia karena sudah bisa menatapmu. Aku tak
lagi membayangkanmu dalam angan-angan. Aku bisa melihatmu secara nyata.
Aku pulang dari acara Masa Orientasi Siwa sambil
bersiul-siul. Sampai di kamar kos kurebahkan tubuhku di atas ranjang dan membuka
hape serta menyalakan rokok.
Kuhisap rokok panjang-panjang dan menghembuskannya
ke atas. Aku jadi kepikiran kau lagi. Padahal tadi baru saja berjumpa. Namun
aku sudah rindu. Kau tahu obatnya rindu? Ketemu. Karena aku belum bisa
menemuimu di dunia nyata, maka aku akan menemuimu di dunia maya. Mungkin itu akan mengobati rasa rinduku padamu. Aku
hanya perlu bersabar menunggu waktu yang tepat untuk menjumpaimu.
Maka kurimi kau pesan di dinding Facebookmu. “Aku
tadi lihat orang mirip kamu di depan aula lho, dek. Kamu punya kembaran, ya?”
“Bukan kembaran wkwkwk Itu aku! Aku juga lihat kamu
tadi, Mas.”
“Ternyata kamu aslinya lebih cantik daripada di foto
profilmu ya? *ehh wkwkwk”
“Halah.. gombal mukio wkwkwk. Baru nyadar kalau aku
cantik?”
Lalu kubalasi kau pesan dan kita saling berkirim
pesan di dinding Facebook sampai larut malam.
Kali ini—tak seperti biasanya dimana aku memimpikan
ibuk kantin yang aku utangi—aku akan memimpikan kau. Membayangkan rambutmu.
Wajahmu. Senyummu. Semua yang ada di
dirimu. Bahkan keinginan untuk memimpikanmu sudah membuatku bahagia,
seolah-olah terbang ke langit ke tujuh. Bagaimana kalau memimpikanmu sungguhan?
Bagaimna kalau tak lagi memimpikan lagi tapi merealisasikannya dalam kenyataan?
Betapa bahagianya kalau aku bisa bertemu lagi
denganmu. Betapa bahagia kalau kita janjian untuk ketemuan. Dan, betapa bahagianya aku kalau kelak aku
bisa mengajakmu berkencan! Bayangkan, kita berkencan! Kelak kalau kau mau, aku
akan mengajakmu nongkrong ke angkringan Pete yang letaknya di depan Hotel Kencana dekat alun-alun kota. Kita akan
mengobrol langsung. Bukan lewat Facebook.
Kita akan bercerita ngalor ngidul sambil menikmati
mendoan bakar di atas tikar, di pinggir jalan yang disinari lampu kuning
keemasan. Kau membagi kisahmu, aku
membagi kisahku. Kita akan berbagi kisah. Lalu aku akan menceritakan
kisah-kisah yang konyol dan kau tertawa lepas. Aku akan membuat membuat kencan
pertama kita paling berkesan dan paling membahagiakan buatmu.
Ingat pepatah jawa yang berbunyi “jalaran tersno soko kulino?” seiring berjalannya waktu kita pertemuan kita
akan semakin intens dan setelah semakin lama kita akan menjadi semakin dekat.
Dan pada waktu yang tepat, aku akan menembakku. Dan aku berharapnya kau mau
jadi kekasihku.
Sejujurnya, sudah lama aku tak pernah merasakan
perasaan seperti ini, saat dimana aku mengenal seseorang dan membuat hidupku
lebih berarti dan berani menatap masa depan dengan senyuman. Biasanya, untuk
memikirkan PR hari esok saja aku sudah malas.
Andai saja aku bisa menjadi kekasihmu, pasti akan
kulakukan semua hal yang aku bisa agar membuatmu selalu ceria. Membuatmu
tersenyum. Membuatmu nyaman. Membuatmu selalu tertawa dengan coletehanku yang
kadang ngawur.
Andai saja aku menjadi kekasihmu, pasti akan
kujadikan kau perempuan paling bahagia di muka bumi ini dan aku akan selalu
berusaha untuk tak pernah menyakitimu. Membuatmu galau. Membuatmu sedih.
Membuatmu menangis. Aku berjanji kepada diri sendiri untuk tak melakukan
itu.
Andai saja aku menjadi kekasihmu, pasti akan kujadikan
kisah kita lebih romantis dan lebih indah daripada cerita Galih dan Ratna,
bahkan dongeng Romeo dan Juliet. Aku akan menjadikan kita menjadi pasangan
paling bahagia di muka bumi ini.
Mungkin ini terdengar konyol. Tapi aku sering
berkhayal bahwa, ada sebuah dunia, di
ruang dan waktu yang lain, kau dan aku telah bersama. Selalu bersama. Mengobrol
bersama. Tersenyum bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Jujur, aku iri
dengan mereka.
Andai saja kau menjadi kekasihku….
Aku terus saja memikirkan hingga jatuh tertidur.
Keesokan harinya aku bangun dan membuka pintu kamar
dan langsung disambut oleh anak-anak kos yang sibuk menonton acara Spongebob
sembari sesekali cekikikan.
“Jam berapa ini?” tanyaku.
“Tujuh kurang seperempat,” kata mereka.
“Modar!
Kenapa pada ndak bangunin aku, sih?”
“Sudah. Kami gedor-gedor pintu kamarmu. Tapi kamu
ndak bangun. Semalam begadang?”
“Iya.”
“Ngapain?”
“Tidak bisa tidur sampai larut. Mikirin cewek.”
“Wong gendeng!
Sana mandi.”
Aku terpaksa mandi kilat. Palingan tak sampai satu
menit. Prinsipku, yang penting tubuhku basah oleh air dan kering oleh
handuk.
Teman-teman kos sudah berangkat duluan, dan aku lari
kencang menuju sekolah menyerupai orang kesetanan.
Di perjalanan, aku berpapasan dengan Simo. Dia jalan
santai sekali seolah tanpa beban.
“Baru bangun?” tanya Simo.
“Iya,” kataku. “Semalan tidak bisa tidur. Mikirin
Putri.”
“Sudah sampai mana?”
“Baru chatingan di dinding Facebook.”
“Lelet amat.”
“Baru juga kenal beberapa hari.”
Simo lalu tersenyum.
“Mau kubantu?” tanyanya.
“Bantu apaan?”
“Bantu deketin si Putri.”
“Caranya?”
“Gampang. Kamu minta nomornya Putri, lalu hapemu
pinjemin ke aku. Biar aku yang SMS-an sama dia beberapa minggu. Kalau sudah
jadian, yang melanjutkan kamu.”
Aku terdiam lama. Sebenarnya saran Simo masuk juga.
Aku tingal ongkang-ongkang sembari udad-udud lalu kau jatuh dalam
pelukanku. Dan kita menjadi sepasang
kekasih. Apalagi Simo lebih tua dan lebih pengalaman soal cewek.
Tapi…
kalau Simo pura-pura jadi aku dan
jadiannya dengan kau bukankah itu lucu? Apa kata orang kalau aku mendapatkan
kau dengan cara licik seperti itu? Apa katamu kalau sendainya kau tahu bahwa
aku harus menjadi orang lain dulu agar kau mencintaiku? Apa kata diriku sendiri kalau harus menjadi orang
lain dulu agar kau mencintaiku? Sebenarnya yang kau cintai aku atau orang lain?
Apakah aku harus merendahkan diri sehina ini demi cintamu?
Kalau kau
benar-benar mencintaiku, kau akan menerimaku. Tanpa aku perlu menjadi orang
lain dulu.
“Tidak udah, Mas,” kataku, mantap. “Aku mau berjuang sendiri.”
“Yowes,”
kata Simo. Menepuk bahuku. “Aku cuma mau bantu. Yang terpenting, kamu harus
bangun jembatan buat jadi penghubung antara kamu dan Putri.”
“Hemmm. Jembatan ya?” kataku, mengelus-elus dagu ke
bawah dengan tangan, padahal tak punya janggut.
“Makasih,
Mas,” kataku kemudian.
Ketika aku masuk kelas, teman-temanku sudah duduk
dengan rapi di kursi, lengkap dengan guru yang sedang menerangkan pelajaran.
Mereka semua melotot kepadaku karena aku telat.
“Kenapa baru datang?” tanya guru.
Tidak mungkin aku mengatakan kepadanya, “karena
memikirkan wanita, Pak Guru!” maka tanpa menjawabnya aku langsung mencium
tangannya. Cara ini ampuh untuk menjinakkan guru killer sekalipun.
“Yaudah,” kata guru, “silahkan duduk.”
Lantas aku duduk. Tubuhku di dalam kelas, namun
jiwaku mengembara jauh. Otakku hanya dipenuhi oleh kau. Bagaimana aku bisa
bertemu lagi denganmu? Apakah aku harus ke kelasmu dan tiba-tiba menemuimu
sambil berkata, “aku selaman tak bisa
tidur. Mungkin kangen. Pengen ketemu. Aku cuma ingin menemuimu.” Bagaimana kalau kamu merasa risih atas
kenekatanku?
Aku harus mencari cara supaya bisa bertemu denganmu.
Tapi, apa ya?
Kufikirkan terus hingga bel istirahat berbunyi.
Sampai terdengar bunyi kresek-kresek lewat TOA
sekolah. Lalu suara seorang gadis muda memberi pengumunan,
“Kepada semua siswa baru, harap mempersiapkan
perlengkapan untuk kemah pada minggu depan…“
Aha! Sekelibat ide terngiang di otakku, seolah-olah
di atas kepalaku muncul sebuah bola lampu.
Kenapa aku tak ikut kemah saja supaya bertemu denganmu? Tapi, bagaimana
caranya? Tidak mungkin juga aku asal-asalan ikut kemah dan pura-pura menjadi
siswa baru. Wajahku terlalu tua. Yang boleh ikut hanyalah siswa baru dan
bantara. Tunggu dulu… bantara? Apakah
aku harus pura-pura jadi bantara? Tapi para bantara juga tidak bego-bego amat
sehingga pasti mengenali wajahku. Apakah aku harus memakai topeng? Pasti
ketahuan. Lagian, nanti malahan dikira topeng monyet. Apakah aku harus pergi ke
Korea Selatan dan menjalani operasi plastik? Tak mungkin juga. Aku tidak punya
uang sebanyak itu. Untuk membeli rokok satu bungkus saja aku harus minta duit
sama teman-teman buat patungan.
Aku terduduk di depan kantin dengan tanda tanya. Aku
jadi pengen merokok. Namun ini di sekolahan. Bukannya takut, hanya tidak enak
dengan para guru. Jadi aku hanya terdiam sembari mengunyah permen karet.
Di kejauhan, lapangan voli, terlihat seorang pemuda
dengan rambut yang dicacah berjalan menghampirku.
“Woi, Luck!” katanya. Namanya Satrio. Tanpa
kuingatkan kaupun tahu bahwa dia Ketua OSIS di sekolah kita. Aku sangat akrab
dengan dia. Bahkan, pada Masa Orientasi Siswa kemaren, aku meminjam sepatunya
supaya terlihat keren sedikit.
“Halo, Mas,” kataku.
“Tumben sendiri? Nggak sama anak-anak?”
“Lagi semedi. Nggak pengen diganggu. Hahaha.”
Satrio tertawa.
Kami kemudian ngobrol panjang lebar. Tentang
organisasi kami. Tentang segala hal. Dan
lalu tentang bibit-bibit siswi baru yang cantik. Minggu
depan mereka kemah (dan terutama kau) dan aku tak bisa ikut.
“Minggu depan kemah ya, Mas?” celetukku.
“Iya. Biasa tho. Setiap ada siswa baru kan kemah.”
“Kamu ikut, Mas?”
“Ikut to, ya. Kan aku Ketua OSIS. Palingan nanti
ikut ngurusi adek-adek bareng bantara.”
Lalu otakku kuputar. Sepertinya ada celah untuk bisa
ikut kemah. Aku tinggal mancing-mancing Satrio saja.
“Aku kok pengen ikut, ya,” kataku.
“Tumben. Kenapa pengen ikut?” tanya Satrio.
Aku memutar otak lagi.
“Sebenernya...” kataku.
“Sebenernya apa, Luck?”
“Sebenernya aku pengen banget jadi bantara, Mas,”
kataku, memasang wajah serius. “Itu cita-citaku dari kecil.” Aku bohong. Aku
sama sekali tidak suka sama yang namanya pramuka. Jangankan jadi bantara,
pegang tongkat saja tanganku lemes. Aku kalau memainkan bendera morse malah
mirip tukang parkir, “Yak, terus. Kanan, kanan, kanan, banting kiri. Yak.
Stop!”
“Owalah. Lha kemaren kok nggak ikut seleksi awal
bantara?” tanya Satrio.
Waduh,
harus jawab apa aku? Mikir, Luck. Mikir.
“Ng.. Nganu, Mas. Aku kan sudah ikut jadi Pengurus
OSIS,” kataku. “Aku takut nggak bisa bagi waktu. Kan aku sibuk.” Aku bohong
lagi. Dalam hidup, aku tidak pernah yang namanya mengenal sibuk. Waktuku
melimpah. Saking banyaknya, kalau waktu bisa disodakohkan pasti kulakukan.
“Hmm…” kata
Satrio.
“Hmm kenapa, Mas?” tanyaku. Takut kalau dia curiga.
“Hmmm… aku bangga sama kamu, Luck. Nggak rugi aku
pilih kamu jadi pengurus OSIS.”
Aku tersenyum. Ternyata aku jago akting. Besok-besok
kalau ada casting FTV, aku yakin pasti lolos.
“Kuberitahu rahasianya,” kata Satrio.
“Apa, Mas?”
“Jadi begini. Masih ada harapan kamu buat bisa jadi
bantara. Kamu hanya perlu ikut kemah, lalu setelah itu bakal ada pelantikan
buat jadi bantara.”
Jadi bantara? Sebodo amat. Aku tak peduli. Aku hanya
ingin ikut kemah supaya bisa bersinggungan langsung denganmu.
“Jadi aku bisa ikut kemah, Mas? Eh... maksudku, aku
bisa ikut kemah dan jadi bantara?”
“Bisa,” kata Satrio, menepuk lututnya.
“Caranya?”
“Aku kan Ketua OSIS. Jadi punya power. Suaraku pasti
didengar sama anak Pramuka. Aku hanya tinggal merekomendasikan kamu buat ikut
kemah dan buat jadi bantara. Tapi ada satu hal lagi.”
“Apa, Mas?”
“Kamu juga harus punya suara dari petinggi pramuka.”
Petinggi pramuka? Siapa ya? Aku jarang sekali punya
kenalan anak pramuka. Paling mentok kenalanku yang mengenakan pakaian cokelat
ialah tukang tambal ban samping sekolah.
Dengan sangat teliti, kuingat nama-nama orang yang
kukenal di SMA. Sampai kemudian aku
teringat akan kakakku, anak dari budeku.
“Mbak Elis,” kataku.
“Nah,” kata Satrio, menepuk keras lututnya. “Kan dia
petinggi pramuka. Kamu bisa ngambil suaranya?”
“Bisa, Mas. Akan kulakukan apa saja demi mendapatkan
suaranya. Demi impianku, Mas. Menjadi bantara.” Aku bohong lagi. Bukan demi
menjadi bantara, namun demi bisa menemuimu. Ternyata aku jago juga bohong.
Ketua OSIS saja bisa aku bodohi. Andai saja aku Pinokio, pasti hidungku sudah
panjang bermeter-meter.
Rencanaku kulanjutkan. Bel pulang berbunyi dan aku
tancap gas ke sekretariat pramuka. Disana ramai sekali, terdapat puluhan orang.
Dengan penuh percaya diri kugedor-gedor pintu sanggar. Mereka semua menatapku
dengan tatapan hey-bangsat-kau-cari-mati-ya.
“Aku cari Mbak Elis,” kataku, santai.
“Ada urusan apa, Luck?” tanya salah satu bantara
culun berkacamata.
“Penting.”
“Pentingnya seperti apa?”
“Aku bilang penting, ya penting.”
“Oke-oke. Tunggu sebentar. Elis mana ya? Oh.. di
belakang. Cepat panggilkan. Dicari premannya SMANSA. ”
“Preman?!” tanyaku kepadanya. “Ngomong opo Kowe?”
“Canda, Luck! Hehehe.”
“Huh,” aku mendengus.
Kemudian Mbak Elis terlihat mendekatiku.
“Ada apa, Luck?” tanya Mbak Elis keheranan.
“Ada yang ingin kubicarakan,” kataku dan memasang
wajah serius, “penting.” Aku mengucapkan kata penting seperti seorang presiden
Korea Utara yang baru saja mengancam akan menekan tombol peluncuran bom Nuklir.
“Spaneng amat, sih,” katanya, tertawa kecil. Seolah-olah
dalam hidup, aku tak pernah serius dalam menjalani hidup.
“Ikut aku kesana, Mbak,” kataku dan menunjuk bangku
kosong di depan ruang kelas.
Kami berdua lalu duduk.
“Ada apa, sih, Luck?”
“Langsung to the point aja, ya, Mbak?”
“Ya.”
“Aku mau ikut kemah.”
“Kemah? Buat apa? Kan yang ikut kemah hanya bantara.
Dan kamu bukan bantara.”
“Nah. Maka dari itu. Aku minta restu sama kamu
supaya dibolehkan ikut kemah. Aku sudah direkomendasikan oleh Ketua OSIS.”
“Ketua OSIS? Satrio?”
“Ya.”
“Dih! Si Satrio memang sialan.”
“Boleh ya, Mbak?”
“Gimana ya?”
Mbak Elis menggaruk kepalanya.
“Kamu tahu sendiri, aku tidak gampang minta tolong
sama orang lain,” kataku. “Tapi untuk kali ini, Mbak. Pliss. Bantu aku.”
“Oke, oke,” katanya. “Tapi ada syaratnya.”
“Apa, Mbak?”
“Di kemah nanti kamu jangan buat onar.”
“Janji!” kataku.
Mengangkat kedua jari ke atas. “Saya, Lucky, berjanji tak akan membuat
onar selama kemah berlangsung!”
“Siapkan semua peralatan buat kemah. Minggu depan
datang on time jam dua siang.”
“Makasih, Mbak, Makasih…”
Mbak Elis tersenyum.
Ternyata menunggu tak selamanya membosankan. Apalagi
menunggu untuk menemui kau. Aku bisa sabar menunggu saat-saat untuk menemuimu.
Padahal biasanya untuk antre beli soto di kantin saja aku ngomel-ngomel persis
kayak orang kena hipertensi.
Seminggu
penuh kita masih saling berkirim pesan di dinding Facebook. Sampai waktu kemah
tiba.
Aku datang siang hari begitu para siswa baru sudah
dikumpulkan. Dengan gaya sok keren aku
jalan diantara para bantara. Namun sampai malam hari aku masih tak menemuimu.
Aku terlalu disibukkan oleh kegiatan panitia sampai malam hari sehingga tak ada
waktu untuk mengecengimu. Ditambah pula aku tidak ingin mengecewakan Satrio dan
mbak Elis dengan semua yang ada padaku semasa kemah. Yah, meskipun aku sendiri
tak ada niatan secuilpun menjadi bantara. Paling tidak aku sudah memberikan
kesan baik di kemah. Sebelum mengecewakan mereka, tentunya.
Matahari akhirnya terbit pula. Agendanya kali ini adalah outbound dan
penjelajahan. Para calon bantara sudah dikumpulkan dan disebarkan ke pos-pos.
Aku mendapat di pos ke empat, yaitu daerah sungai. Beda sekali dengan para
patnerku di pos itu yang menghendaki pembacaan sandi morse oleh siswa baru, aku
malah mempunyai ide lain. “Bloombang,” kataku.
Daerah itu memang sebuah jalan kecil yang terbuat
dari lumpung dan dipinggirnya sebelah kanan, miring ke bawah menuju ke sungai.
Maka di bagian itu akupun membuat trek yang berliku-liku menuju ke
bawah—sungai. Mencangkulinya dengan pacul agar terlihat seperti perosotan dan
licin. Dan siswa baru diharuskan berjalan ke bawah melalui trek yang sudah aku
buat.
Awalnya mereka menolak ideku. “Ini seru,” kataku,
“beri mereka sedikit kebahagiaan. Dengan bloombang. Semua kegiatan kemah
lainnya memuakkan.”
Merekapun
mengangguk. Entah karena setuju, atau karena takut.
Satu per satu siswa baru mulai berdatangan. Mereka
nampak antusias dengan bloombang. Mulai berjalan ke bawah di tanah yang licin
dan berkelok-kelok, dan jika tidak bisa menjaga keseimbangan dengan baik,
mereka akan terjatuh.
Byurr!
Mereka mulai terjatuh. Dan terjatuh. Dan tersenyum
dan tertawa riang seperti anak kecil.
Kemudian datanglah kau, dengan kelompokmu yang
kesemuanya perempuan, dan wajahmu yang aku rasai penuh keterkejutan.
“Mas,Lucky?” tanyamu, seolah tak percaya.
“Ya,” kataku.
“Ngapaian disini?”
Aku ingin mengatakan, aku disini agar bisa bertemu dengamu. Hanya untukmu. Tapi tak jadi.
Maka kujawab, “aku ikut jadi panitia kemah.”
“Ini namanya pos apa, Mas?”
“Bloombang.”
“Apaan sih?”
“Ntar juga tahu sendiri.”
Aku mulai memberi arahan tentang tata cara permainan
dan terjunlah temanmu satu-satu. Mereka semua tercebur ke sungai dan
terkikik-kikik. Dan giliranmu tiba. Kau
nampak ragu-ragu dan mendekatiku.
“Pstttt… Mas.”
“Ada apa, dek Putri?”
“Aku nggak bisa kena air.”
“Kenapa?”
“Nganu… gimana ya ngomongnya. Aku nggak bawa baju
ganti.”
Aku tak tahu
kamu jujur atau berbohong atau ingin bermanja-manjaan. Tapi tak terlalu
kufikirkan. Tugas wanita memang bermanja-manja, dan kami para pria melayaninya.
“Ohh..” aku mengangguk dan mengedipkan mata.
Akupun berfikir, bagaimana caranya agar kau tidak
tercebur? Maka disaat kau melangkahkan kaki menuruti trek yang licin, aku ada
di sampingmu. Dan saat kau akan tergilincir dan hilang keseimbangan, kupegang
tanganmu (kalau kupikir-pikir gila juga aku bisa seberani itu).
Ketika tangan kita bersentuhan, dadaku berdesir dan
darahku memompa lebih cepat sehingga kehangatan menjalari seluruh tubuhku. Kita
bertatapan. Dunia seolah berhenti berputar. Waktu seolah berhenti. Dan aku
lagi-lagi tenggelam dalam matamu.
Kau terus saja menatap balik padaku dan akupun jadi
kikuk, seolah-olah sayaraf-syarafku rontok dan tubuhku sulit digerakkan.
Lalu pelan-pelan dengan tangan yang
gemetar karena gugup kulepaskan lagi tanganmu. Dan ketika kau hendak
tergelincir kupegangi lagi tanganmu. Begitu berulan-ulang. Ini yang namanya
olahraga jantung, kataku dalam hati. Bikin deg-degan sekaligus mengasyikan.
Terdengar teriakan dari teman sekelompokmu. “Wooo…
mas Lucky pilih kasih.” Dan kubalas dengan senyuman.
Sampai kau mendarat dengan mulus di bawah, di
pinggir sungai. Selamat. Tanpa tercebur ke sungai dan bajumu tidak basah
setetespun.
“Sudah sampai dengan selamat, Tuan Putri,” kataku
tersenyum.
“Makasih, Mas Lucky! Kamu baik banget, deh.”
Aku ingin sekali mengucapkan kata “sama-sama, sayang.
Jangankan memegangimu, menggendongmu sampai Uganda pun akan kulakukan demi
kamu” sembari memelukmu. Namun tak jadi
karena takut kau marah dan menganggapku pria hidung belang dan menamparku. Jadi
aku hanya mengangkat jempol.
Sisa acara kemah kulalui dengan ala kadarnya. Aku sudah menunaikan tugas utamaku: bertemu
denganmu. Dan dapat bonus, yaitu memegang tanganmu. Ingin rasanya aku tak mandi
selamanya agar bekas tanganmu tak luntur dan bisa kuciumi tiap hari. Namun
ternyata tak bisa juga. Buktinya saja, setelah kegiatan kemah selesai, tubuhku
sudah bau apek mirip kambing yang dipaksa lari marathon sejauh 75 kilometer.
Maka aku pun mandi dan menggosok tubuhku dengan batu
kali. Rasanya berat badanku berkurang 1 kg karena daki yang menempel di tubuhku
mulai rontok.
Untung saja ini hari Minggu. Jadi setelah mandi aku
bisa tidur pulas dan bangun ketika senja tiba.
Dan hal yang kulakukan ketika membuka mata adalah online Facebook.
Rasanya online sudah menjadi kebutuhan
primer bagiku, melebihi pangan, papan, dan sandang.
Betapa terkejutnya aku melihat di akun Facebookku
ada yang mengirimi pesan privasi: kau.
Bukan lewat dinding lagi, tapi lewat pesan. Pertanda apakah ini? Apakah
kau ingin agar isi pesan dan chatting selanjutnya hanya bisa dilihat kita
berdua? Apakah kau mulai tertarik dengan aku sehingga memulai chatting duluan? Apakah kau khilaf mengirim
pesan kepadaku?
Apakah? Apakah? Apakah?
“Terima kasih banyak ya, Mas :D “ tulismu.
“Terima kasih buat apa?”
“Terima kasih karena waktu di bloombang kamu sudah
bantuin aku sampai repot-repot memegang tanganku supaya nggak kecebur di sungai
hehehe.”
“Malah aku yang seharusnya bilang terima kasih.”
“Kok bisa?”
“Ya pokoknya makasih
wkwkwk apa yang anda rasakan setelah mengikuti kemah?”
“Capek, Mas. Mana kulitku jadi tambah item gini u.u”
“Nggak papa item. Bagiku tetep cantik kok *ehh
wkwkwk.”
“Halah.. gombal wkwkwk tapi menurutku toh, mas,
kegiatan kemah kemarin kegiatannya
ngebosenin.”
“Masak to? Nggak ada yang berkesan gitu?”
“Ada, Mas. Bloombang yang seru wkwkwk”
“Pasti gara-gara ada aku, makanya berkesan ya? *pede
wkwkwk”
“Yee.. GR. Wkwkwk”
Kitapun lalu berkirim pesan. Sampai malam. Dan aku
naik ke atas genteng. Bukan untuk bunuh diri. Namun merenung sembari merokok.
Mencari inspirasi untuk puisi.
Bulan menggantung di langit dan aku jadi teringat
kau. Sebetulnya apa “alasan” sebetulnya kau mengirimi pesan privasi? Apakah
murni karena rasa terima kasih saja? Hmm.. mungkin murni karena rasa terima
kasih. Rasa-rasanya aku kepedean nih. Tapi kenapa harus lewat pesan dan tidak
lewat dinding Facebook?
Yah.. apapun itu, ini peningkatan. Tidak semua gadis
mau chat duluan kan? Di pesan Facebook lagi, yang tergolong privasi?
“Woi, Le,”
teriak seorang pemuda memecahkan lamunanku.
“Oh… Kowe, Mas
Simo. Jam berapa ini baru pulang kos?”
“Baru juga jam 12 malam. Biasa... nyewek hahaha.”
“Perasaan kemaren baru putus. Baru lagi?”
“Besok aku ceritani, Le. Yaudah, yak.”
“Buru-buru amat? Biasanya ngerokok dulu?”
“Iya. Ada urusan. Penting banget.”
“Apaan?”
“Mandi wajib huahahaha.”
Aku garuk-garuk kepala. Sableng memang anak itu.
Kayaknya daripada membuka halaman buku, Simo lebih sering membuka pakaian orang
lain.
Lebih baik melanjutkan chat dengan kau saja.
Kulihat layar hape. “Lagi apa, Mas? Kok malem-malem
begini belom bobok?” tanyamu lewat pesan Facebook.
“Cari inspirasi,” balasku.
“Buat apa? Judi Togel? wkwkwk”
“Bukan. Tapi bikin puisi hehehe”
“Ohh.. kirain wkwkwk Suka bikin puisi ya, Mas?”
“Iya, iseng-iseng
doang sih. Mencurahkan isih hati. Daripada dipendem nanti jadi beban hidup. Kan berat bawa beban hidup
kemana-mana hahaha. ”
“Aku bikini
dong?”
“Iya. Tapi susah...”
“Kok bisa?”
“Soalnya kamu spesial.”
“Spesial gimana?”
“Berjuta kata-katapun tak akan mampu menggambarkan keindahanmu..”
“Aduh.. Jadi melting.”
Kubalasi kau
pesan. Namun kutunggu lama tidak ada balasan lagi pesan darimu. Mungkin
sudah tidurkah?
Kukirimi kau pesan lagi.
“Selamat tidur ya. Jangan lupa mimpiin aku *ehh”
Aku melamun lagi dan memperhatikan bulan. Puisi
untukmu ya? Tentang apa ya? Jadi bingung. Kunyalakan rokok lagi. Kuputar otak.
Tapi sulit sekali membuat puisi tentang kau. Membuat puisi, kan, juga butuh
inspirasi. Besok-besok sajalah. Apalagi di layar hape sudah menunjukan pukul 1
malam dan angin berhembus kencang. Daripada memaksakan diri begadang dan
terkena paru-paru basah? Mending daripada dibuat berobat gara-gara sakit
paru-paru uangnya untuk membeli rokok. Tapi lama-lama merokok membikin kanker
paru-paru juga ya? Sama-sama menghabiskan uang dong? Halah.. bodo amat. Sudah
error otak ini kali. Fikiran macam-macam. Lebih baik tidur saja.
“Pasti kau
akan kubuatkan puisi,” kataku pada diri sendiri sebelum menarik selimut dan
memejamkan mata.
Baru beberapa detik dan aku membuka mata lagi. Oh iya, lupa berdoa.
“Ya Tuhan.. semoga aku tidak terkena kanker
paru-paru dan tak harus berobat. Supaya duitnya bisa dibuat membeli rokok.
Amin.”
Paginya aku bangun dengan segar pukul 6. Tumben
sekali aku tidak kesiangan. Padahal biasanya antara aku dan kesiangan adalah
sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Seperti bayi kembar siam. Kemudian aku
membuka Facebook dan merokok sambil minum kopi untuk mencari inspirasi update
status.
“Punya ambisi, walau cuma buat bangun pagi,” tulisku
di status Facebook.
Tak lupa, aku membuka pesan Facebook. Mengecek pesan
darimu.
“Maaf, Mas. Semalem aku udah bobok. Kamu bobok jam
berapa, Mas?”
“Jam satu,” tulisku. “Memang sengaja kok. Nungguin
kamu bobok dulu, ngirimin kamu pesan, lalu baru deh bobok akunya.”
“Loh? Ngapain nungguin aku bobok, lalu ngirimin aku
pesan? Kan akunya udah bobok.”
“Supaya aku jadi orang pertama yang kamu fikirkan
setelah kamu membuka mata.”
“Duh.. Duh…duh.. mulai kumat ini gombalnya.”
“Aku nggak gombal. Aku serius.”
“Iya, iya, Mas. Percaya kok. Kamu berhasil jadi
orang pertama yang kufikirkan hari ini.”
“Alhamdulillah.. apakah aku perlu syukuran untuk
merayakan ini?”
“Perlu, mas. Perlu banget.”
“Kamu maunya apa?”
“Apa ya.. hmm.. es krim aja, deh. Rasa coklat.”
“Oke, aku beliin deh khusus buat kamu. Es krim.”
“Janji ya?”
“Iya, janji.”
Kulemparkan hapeku ke kasur dan mengambil handuk.
Ketika aku selesai mandi teman-teman kos sudah berkumpul di depan TV menjalankan ritual pagi, menonton
spongebob. Kutengok sarapan yang sudah
disiapkan ibu kos. Sama sekali tidak menarik.
“Mau kemana, Luck?” kata teman-teman kos ketika aku
berjalan keluar kamar dengan pakaian sekolah lengkap. “Masih pagi lho ini!”
“Ke sekolah. “
“Sekolahmu pindah ke Afrika, ya?”
“Bukan. Aku ikut secondary school program di
Harvard. Jadinya berangkat lebih pagi. Biar nggak telat pas ikut kelas. ”
“Serius, Luck?”
“Kagak lah. Bercanda. Aku mau sarapan di kantin.
“
Aku meninggalkan anak-anak kos dan terdengar
teriakan keras disertai derai tawa, “Jangan lupa bawa dollar! Ibu kantin di
Harvard nggak nerimah rupiah.”
Tapi aku tidak peduli. Lima menit kemudian aku
sampai di kantin dan memesan soto. Aku menghadap ke lapangan. Iseng-iseng
sambil makan kulihat seorang-demi seorang siswa yang lewat. Dan tiba-tiba aku keselek nasi. Kau lewat
dengan pakaian putih abu-abu dengan kaus kaki mendekati lutut. Membonceng gadis
juga bermotor matik. Rambutmu yang panjang menjuntai dari helm hijaumu.
Tanpa digerakkan bibirku tersenyum. Namun kau sibuk
berbicara dengan dengan si sopir. Tak
masalah. Melihatmu dari kejauhan sudah membuatku berbunga-bunga. Rasanya
seperti habis merokok ganja satu ons.
Membikin nge-fly. ( Ini kira-kira. Padahal aku tidak pernah menghisap ganja.
Perkiraanku ini dikarenakan aku pernah melihat berita kriminal orang yang
tertangkap memakai ganja dan diwawancarai bagaimana rasanya dan dia menjawab, “Nge-fly” )
Kubuka Facebook. Lalu mengirimu pesan.
“Selamat datang siswi SMANSA yang berambut panjang
dan membonceng motor matic serta berhelm hijau.”
Sambil menunggu balasan darimu kulanjutkan
sarapanku.
“Kok kamu tahu, sih?” pesan darimu.
“Kebetulan aku lagi sarapan di kantin. Eh..
tiba-tiba ada bidadari SMANSA lewat.”
“Siapa mas bidadarinya?”
“Orang yang baru aja kukirimi ucapan selamat
datang.”
“Aku?
Yaampun.. rambut acak-acakan kena angin di perjalanan gini dibilang bidadari.”
“Bagiku.”
“Makasih pujiannya. Jadi malu *ehh wkwk.”
“Sekarang aku punya alasan berangkat sekolah pagi.”
“Apa alasannya?”
“Supaya bisa lihat kamu terus tiap pagi.”
Dan benar saja. Pagi berikutnya aku sudah duduk di
kantin sekolah. Menunggu kau lewat. Dan begitu terus pagi berikutnya. Ya Tuhan,
sepertinya aku benar-benar mencintaimu dan jadi orang gila. Aku rela pagi buta
ke sekolah dan disambut tukang sapu. Lalu duduk termenung di kantin menunggu
sampai kau lewat. Dan ini menimbulkan
kecanduan untuk melihatmu, seperti kecanduan narkoba. Yeahh... Jika cinta
adalah narkoba, maka kaulah bandarnya.
Dan agenda rutinku setelah melihatmu adalah,
mengirimu pesan di Facebook. Lalu aku akan sibuk chatting denganmu. Lalai
dengan pelajaran.
“Jam pelajaran malah online :p” tulismu.
“Kamu juga :p”
“Mapel apa?”
“Kimia. Gurunya sih tampangnya lucu kayak Nunung Srimulat. Tapi killernya ampun-ampunan. Andai saja…”
“Andai saja apa, Mas?”
“Andai saja guru kimianya diganti kamu, pasti aku
jadi murid terajin dan kalau ulangan dapet 100 terus.”
“Nggak mungkin.”
“Kok nggak mungkin?”
“Soalnya aku kelas duanya mau ambil IPS. Jadi nggak
bakal jadi guru Kimia. Getoo..”
“Kalau jadi guru IPS mungkin dong?”
“Mungkin.”
“Aku kalau
udah lulus rela balik SMA lagi deh kalau kamu guru IPSnya wkwk”
“Aku yang nggak rela :p wkwk”
“Loh? Kenapa?”
“Ntar kalau aku ngajar kamu liatin terus malah.”
“Emangnya kenapa kalau aku liatin terus? :p”
“Kan aku jadi grogi hehehe”
“Pengen deh rasanya liatin kamu langsung.”
“Bukannya udah ya?”
“Maksudnya dari deket gitu. Face to face. Ngobrol
bareng ngalor-ngidul. Canda bareng. Liat kamu senyum. Terus bahas cita-cita.
Dan kamu tanya “cita-citamu apa?” lalu aku menjawab.”
“Emangnya cita-citamu apa?”
“Hidup berkecukupan.”
“Itu doang?”
“Iya. Hidup berkecukupan. Cukup ngeliat senyum kamu
tiap hari.”
“Aduh... Ini aku bacanya sambil senyum-senyum
sendiri loohh.”
“Memang itu
tujuanku. Selalu membuatmu tersenyum.”
“Berarti kamu harus dan wajib kirim pesan terus ke
aku.”
“Kirim pesan doang nih? Nggak ada acara ketemuan bareng?”
“Aku diajak nge-date nih ceritanya?”
“Iya. Nggak mau ya?”
“Mau kok.
Ntar kalau ada waktu luang ya? Soalnya aku ini mau sibuk.“
“Janji?”
“Ya. Janji.”
“Btw sibuk apaan emang?”
“Kan aku ikut seleksi PASKIBRA kabupaten, Mas. Ini kebetulan lolos. Satu bulan kedepan aku bakal latian terus
tiap hari.”
Kitapun lalu terus berkirim pesan sampai bel pulang
berbunyi. Dan akupun pulang ke kosan. Disana sudah disambut oleh anak-anak kos.
Ada juga Simo.
“Selamat datang di kosan, Lucky,” kata mereka.
Tersenyum semua.
“Joh.
Serasa di minimarket aja. Pada manis gini. Ada maunya?”
“Biasa. PT-PT. Beli rokok mild. Kurang lima ribu
perak ini.”
“Iyolah. Asu.
Mentang-mentang aku paling junior jadi kalahan.”
“Bukan begitu. Ini dikarenakan kami semua lagi
miskin.”
“Yo yo. Tapi yang beli jangan aku. Aku lagi sibuk.”
“Beres, Bos Lucky.”
Dua teman kos menstarter motor dan aku serta anak
kos lain naik ke lantai dua yang biasanya digunakan untuk menjemur pakaian.
Bisa bahaya kalau nongkrong di bawah. Bisa-bisa ketahuan ibu kos jika merokok. Bisa-bisa dilaporkan ke
orang tua. Bisa-bisa diinterogasi mereka. Bisa-bisa tidak dikasih uang jajan
lagi. Bisa-bisa tak punya uang. Dan ujung-ujungnya bisa-bisa tidak bisa beli
merokok.
“Mana sih yang beli rokok?” tanya salah satu anak
kos. “Kecut nih.”
“Baru juga berangkat,” kataku.
“Seharusnya yang beli kowe, Luck.”
“Kan aku sibuk,” kataku.
“Sibuk ngapain?”
“Chat sama cewek huahahaha!” celetuk Simo.
“Yang bener, Sim?”
“Iyo… kemaren Lucky curhat sama aku. Minta tips buat
mendekati cewek.”
“Congore…
tips jare,” kataku. “Dikira aku
pelayan hotel apa, minta tips.”
Mereka semua tertawa. “Huahaha pelayan hotel. Asu. Mesakke Lucky disamakan sama pelayan
hotel. Padahal lebih mirip…”
“Mirip apa?”
“Keset hotel!”
Mereka semua tertawa kembali. Tapi aku tak terlalu ambil peduli. Masih sibuk dengan hapeku sendiri.
“Begimana, Luck, perkembanganmu dengan Putri?” tanya
Simo.
“Nanti aja ceritanya,” kataku. “Nunggu rokok.”
Lima menit kemudian rokok datang. Kunyalakan
sebatang dan aku mulai bercerita. Mereka semua mendengarkan dengan khitmat.
“Pepet terus,” kata Simo.
“Yak betul. Pepet terus!”
“Jangan kasih ampun!”
“Harus sampe finish!”
Mendengar komentar mereka, aku seperti membayangkan
diriku seolah sedang lomba balapan Moto GP. Namun, menurutku perjalaan cintaku
denganmu bukanlah ajang balapan. Aku tak ingin diantara kita saling berebut
untuk jadi pemenang. Yah.. aku ingin kau dan aku beriringan. Berjalan bersama.
Berlari bersama. Istirahat bersama.
“Terus kowe
mau apalagi, le?” tanya Simo.
“Mau kubutain puisi,” kataku.
“Puisi? Anjeng hahaha” mereka tertawa.
“Masih jaman ya meluluhkan wanita lewat kata-kata?”
“Ada-ada aja ni bocah!”
“Dari pada kowe
buatkan puisi, mending kowe buatkan rumah kontrakan! Mayan buat dia investasi.”
“Cewek sekarang nggak butuh kata-kata yang
berbunga-bunga, butuhnya bunga deposito!”
Mereka semua tertawa mengejek.
Aku terdiam
kecut. Mengapa manusia-manusia ini tidak
bisa menghargai ide orang lain? Apa salahnya dengan menghadiahkan kata-kata?
Bukankah bahkan Tuhan sendiri juga menghadiahkan kata-kata untuk umat manusia
melalui kitab suci? Meskipun konteksnya beda, tapi kan sama-sama lewat kata.
Karya adalah sesuatu yang abadi. Barang bisa saja rusak, tapi karya yang dibaca
akan terus menggenang dalam kenangan. Dan akan kembali hidup ketika dibaca
lagi. Begitu terus berulang-ulang.
Simo sepertinya melihat perubahan wajahku yang tak
nyaman dengan ucapan anak-anak. “Sudah..
sudah, gaes. Kalau si Lucky mau
ngasih hadiah puisi, mbok dibiarin.”
Mereka semua diam.
“Memangnya kenapa sih mau kamu kasih hadiah puisi?”
tanya simo.
“Biasa, Mas, kita berkirim pesan. Kan Putri jadi
tahu kalau aku suka nulis kata-kata. Dan dia minta dibuatin puisi.”
“Owalahh!!” kata mereka bebarengan.
“Nohh, gaes...
Putri sendiri yang minta dibuatin puisi!” kata simo.
“Iya.. iya.. sori, Luck.”
“Iya, Luck. Sori.”
Aku mengangguk.
“Tapi, Luck...” kata simo.
“Tapi apa, Mas?” tanyaku.
“Kalau bisa janganlah kowe kasih puisi doang. Chat doang. Masak pedekate di dunia maya
doang.”
“Aku juga kepikiran begitu, mas. Makanya Putri
kuajak kencan.”
“Kencan? Yang bener? Berani juga kowe! Hahaha ”
“Aku peras keberanianku, Mas. Nekat aja ini. Memang
ya, terkadang cinta membuat orang menjadi lebih berani.”
“Bahasamu, Luck! Koyok pujangga wae wkwkwk,” mereka
tertawa.
“Kagum ya?” kataku. “Kelak aku yang mengalahkan
Chairil Anwar menjadi peramu kata nomor satu di negeri ini! Wkwkw gak gak, guyon gaes.”
“Amin,” kata Simo. “Terus tanggapan si Putri
gimana?”
“Dia mau, kok. Katanya kalau pas nggak ada kegiatan
hayo aja. Soalnya dia ikut seleksi PASKIBRA kabupaten jadi akhir-akhir ini
sibuk. Oh ya.. dia juga mau kukasih es
krim lho, Mas? Hehehe.”
“Es krim aja, nih?” kata Simo tersenyum menggoda.
“Dia mintanya es krim dan kebetulan aku mampunya baru
itu, Mas. Kalau dia minta pesawat pribadi dan aku mampu beliin, juga kukasih.
Apa aja mas. Demi Putri.”
“Asu.. pesawat jare,” kata Simo dan anak-anak
tersenyum.
“Kayaknya kowe
serius amat karo Putri?” tanya Simo.
“Aku belum pernah lihat kamu kek gini ckckck.”
“Begitulah adanya, Mas.”
“Tak dukung, Le!”
kata Simo. “Pokoknya perjuangkan terus
cintamu sama siapa tuh? Oh ya, Putri.
Kalau butuh bantuan hubungi kami. Iya ndak, gaes??”
“Yoyoi!!” kata mereka.
Aku
mengangguk dan menyunggingkan senyuman.
Dan suasa kembali riuh oleh obrolan yang tidak
penting (seperti siapa diantara kami yang paling pantas menjadi kandidat
presiden Afrika Selatan), penting (seperti berapa liter keringat yang dicucurkan
Ariel Peterpan dalam film pendek terbarunya bersama Luna Maya) dan paling
penting (seperti siapa diantara kami yang mempunyai ukuran kolor
terbesar). Obrolan terus berlanjut.
Rokok disulut terus dan terus. Asap terus berhembus. Tanpa sadar adzan magrib sudah mengumandang
dan terdengar dari toa anak kecil tadarus.
Tanpa diberi aba-aba semua bubar jalan. Kembali
ke habitatnya masing-masing.
Setelah mandi dan sembahyang dan makan aku rebahan
di kasur sembari merokok. Tiba-tiba aku jadi kepikiran kau. Maka kukirimilah
kau pesan di Facebookmu.
“Malam..” tulisku.
“Malam juga. Capek nih, “ balasmu.
“Capek? Mau kupijitin? *ehh”
“Idih... itu sih maunya kamu :p tapi sumpah aku capek.”
“Capek? Abis ngapain?”
“Nggak tau, capek aja hehehe aku jadi takut.”
“Takut apa? Takut aku pijitin?”
“Ehh.. bukan wkwk aku takut sama sekolah. Kayaknya
gurunya serius-serius gitu. Mana buku buat literature banyak banget.”
“Alahh.. sante aja. Mau kubantu?”
“Bantu? Gimana?”
“Aku kasih les privat tentang pelajaran. Khusus buat
kamu gratis. Sekalian kita kencan.”
“Modus.. modus. Lagian aku nggak percaya kalau guru
bimbelnya kamu wkwk”
“Abisnya.. mau ketemuan sama kamu aja sampai
sekarang belum kesampaian.”
“Memang rencana mau ngajak aku kemana?”
“Keliling kota Purwodadi, dong.”
“Naik apa?”
“Naek becak.”
“Becak? Seriusan? hahaha”
“Iya.. kan biar spesial. Belum pernah menikmati
pemandangan kota malem-malem berdua sama cowok naek becak, kan?”
“Belum
sih...”
“Ntar aku yang di depan.”
“Aku dimana?”
“Kamu yang nggenjot becak.. wkwkwk sekalian biar
kamu olahraga.”
“Kok cewek yang nggenjot? wkwk”
“Yaudah, kalau gitu aku dan kamu di depan.”
“Terus yang nggenjot siapa?”
“Nggak ada.”
“Kok nggak ada?”
“Biar becaknya nggak jalan-jalan dan nggak
sampai-sampai. Biar aku dan kamu berduaan di atas becak lama-lama. Biar kita
terus bersama dan lupa akan waktu. ”
“Bisa aja nih.. hehehe. Eh, Mas, kamu masih punya
buku-buku IPS kelas satu?”
“Masih. Utuh. Malah nggak ada coretan atau lipatan
sekalipun.”
“Wih.. hebat. Pasti gara-gara kamu orangnya telaten
dalam menyimpan sesuatu ya?”
“Gimana nggak utuh. Lha wong semenjak beli nggak pernah aku buka wkwkwk”
“Dasar wkwkwk... aku pinjem ya?”
“Boleh.. boleh.. mau diambil kapan?”
“Besok gimana? Di sekolah. Ketemuan. Sebagai
gantinya karena aku belum bisa keluar sama kamu hehehe. ”
Apa aku tak
salah baca? Kuusap-usap mataku dan tulisanmu tetap sama. Besok. Ketemuan. Aku melonjak-lonjak kegirangan.
“Yihaa.. Asyik! Yey! Horas! Merdeka! Akhrinya ketemu kamu,” tulisku.
“Kok seneng banget sih? :D” balasmu.
“Soalnya aku hobi banget mikirin kamu. Kalau semenit
aja gak mikirin kamu, ih, rasanya badan pegel-pegel.”
“Terusss?”
“Kalau ketemu kamu, kan, rasa kangenku yang menggunung jadi terobati.”
“Aku juga
seneng kok bisa ketemu, Mas J
nanti hubungi kamunya gimana?”
“Biasa to.. lewat chat.”
“Aku minta nomor hapemu?”
Kau? Minta nomor hapeku duluan? Bukankah biasanya
lewat chat Facebook juga bisa? Toh setiap saat aku online Facebook. Aku lebih
sering menatap beranda Facebook dibandingkan papan tulis. Dan kita bisa janjian semisal jam berapa lalu
aku mendatangimu. Bukankah ini suatu
pertanda? Atau aku yang terlalu kepedean? Mungkin aja kau minta nomor hape
supaya lebih gampang menghubungi aku sewaktu ketemuan.
“08xxxxxxxx, SMS yang aku kirim langsung dari hapeku
loh,” tulisku mengikuti iklan di TV para artis pada tahun 2010an.
Lama tak ada balasan darimu. Kusibukkan diri dengan
merokok dan membuat kopi. Dan naik ke
atas genteng buat menyepi. Bulan dengan setia menggantung di atas sana menemani
bumi. Dan aku termenung sendiri. Apakah kau kelak akan mau menemani diri ini?
Mengisi hatiku yang kosong dan sepi? Entahlah. Meskipun masih menjadi misteri,
kuharap hal itu akan terjadi. Sampai lamunanku buyar oleh hapeku yang berdering
tak henti-henti.
“Mas lucky..” tulisan di SMS.
“Dek putri?” balasku.
“Iya.. kok tau ini nomorku? :D”
“Kan aku kerja sampingan jadi dukun.”
“Ah.. masak? Coba ramal aku dong.”
“Kuramal besok kita akan bertemu.”
“Yee... itu
kan karena kita udah janjian :p”
“Pengen rasanya jarum jam berputar lebih cepat.”
“Biar apa?”
“Biar bisa cepet ketemu kamu.”
“Halah, paling nggak nyampe 10 jam lagi kita
ketemu.”
“10 jam terasa 10 tahun bagiku jika sedang
merindukanmu.”
“Yadah.. dibuat bobok aja. Ntar kan nggak kerasa
tiba-tiba udah pagi lalu di sekolahan ketemu aku deh.”
“Tapi aku masih pengin chatting sama kamu.”
Tak ada balasan. Maka akupun balik lagi ke kasur.
Rebahan dan tertidur.
Pagi-pagi sekali, disaat semua teman kosanku masih
molor, aku sudah bangun. Ini hari yang sangat
spesial dan harus kupersiapkan dengan spesial pula. Kubaluri tubuhku dengan lulur. Merokok
berbatang-batag supaya aku rilexs lalu sikat gigi puluhan kali biar baunya
hillang. Shaponan. Sabunan. Handukan. Menyetrika baju. Berkaca. Memakai
seragam. Meminyaki rambut dengan pomade.
Sisiran. Pakai handbody. Menyemprotkan
parfum.
Aku siap bertemu denganmu.
“Aku siap!” teriakku ketika menaiki motor menuju
sekolah. “Aku siap! Aku siap! Aku siap!” ulangku. Seolah-olah semangat membara
Spongebob—ketika akan mengikuti ujian untuk mendapatkan Surat Ijin Menyetir—menjalari
seluruh tubuhku. Cuma bedanya, kalau aku akan mengikuti ujian cinta untuk
mendapatkan hatimu.
Kukirimi kau pesan. “Aku sudah sampai sekolah nih.
Bukunya mau diambil kapan? “
Ada balasan. “Nanti ya, istirahat pertama. “
Maka akupun menunggu dengan harap-harap cemas
tentang pertemuan kita. Selama jam
pelajaran aku uring-uringan tak jelas. Sampai teman sebangku terlihat
keheranan.
“Kenapa, Luck?” tanyanya.
Maka akupun bercerita ngalor-ngidul tentang kau.
Atau lebih tepatnya tentang kita. Dan
tak terasa waktu untuk bertemu denganmu akan tiba. Aku menunggu di depan
kelasmu.
Tahukah kau,
menunggumu jantungku berdegub kencang.
Lebih kencang daripada ketika aku bertemu dengan guru BK ketika membuat
keonaran.
Tapi anehnya, ketika meihat sosokmu membuka pintu
kelas, jantungku mulai memompa dengan teratur.
Kau berjalan dan seolah-olah seperti adegan di sinetron-sinetron;
seperti ada angina tipis yang menerpa wajahmu dan menggerak-gerakkan rambutmu.
Kau menatapku. Dan tersenyum. “Mas
Lucky,” katamu.
Aku menelan ludah.
“Mas?”
“O-ya,” kataku. “Maaf, maaf.”
Kita saling bertatapan. Dan kau kembali tersenyum.
“Ini
pesanannya,” kataku, menyerahkan buku IPS. “Kondisi masih seperti baru.”
“Makasih, Mas,” kau tersenyum kecil.
“Barusan jam pelajaran apa tadi, dek Putri?”
“Kimia, Mas.
Nyebein mapelnya. Aku nggak mudeng sama sekali.”
“Sama!”
“Sama gimana? Kamu juga nggak suka kimia?”
“Iya, aku gak suka kimia,” kataku. “Ternyata kita banyak kesamaan, yah?”
Kamu tertawa kecil.
“MMmmh… Yaudah, Mas, ya?” katamu. “Aku mau balik ke
kelas dulu.”
“Duileh...buru-buru amat.”
“Itu,” katamu dan menunjuk kerumunan siswa.
“Dilihatin. Malu hehe.”
“Okedeh. Masuk kelas gih?”
“Iya, Mas. Lanjut lewat SMS ya?”
“Oke.”
Aku juga kembali ke kelasku dengan bibir
bersiul-siul, yang disambut teman sebangkuku dengan segudang pertanyaan tentang
pertemuan kita. Dan kemudian aku kembali bercerita ngalor-ngidul sembari
membalasimu SMS darimu.
Hari-hari selanjutnya kulalui dengan bangun pagi,
membuka Facebook, merokok, membalasi SMS darimu setiap saat, sekolah yang
menyebalkan, ngeband dengan gengku, dan aktif di berbagai kegiatan OSIS.
Hingga pada suatu siang, pada jam istirahat, aku
sedang bermain-main dengan teman-teman seangkatan. Permaiannya sederhana, kami bergerombol dan
mulai mencari mangsa. Rame-rame teman-teman memegangi tangan korban dan
kakinya. Lalu aku sebagai eksekutor,
memasukkan kakiku di sela-sela selakangannya. Lalu mengocoknya dengan
memaju-mundurkan kakiku sekencang mungkin. Ekspresi wajah korban yang konyol
membuat kami semua geli sendiri dan tertawa terbahak-bahak.
Ditengah-tengah permainan yang sama sekali tidak
mendidik dan melanggar Undang-Undang Pornoaksi itu, seorang kawanku di kelas
sebelah tiba-tiba berlarian dan meneriaki namaku. “Luck! Luck! Luck!”
“Apa, Cok?” tanyaku. “Mengganggu orang lagi asyik aja!”
“Berita penting!” katanya. “Sini aku bisikin.”
Mulutnya didekatkan di telingaku. “Black baru aja
jadian.”
“Black anak basket yang item itu, tho?” kataku, juga
berbisik dan masih mengocok selakangan korban.
“Terus?”
“Dia baru aja jadian. Sama… Putri…”
Jleb! Ulu hatiku serasa ditusuk dengan belati. Tak
berdarah, tapi sakit.
Kulepaskan kakiku yang masih menyangkut di
selakangan korban dan tubuhku seperti mematung beberapa menit. Apakah ini
nyata? Kau baru aja jadian dengan Black.
Padahal saat ini kita masih
berkirim SMS seolah tak terjadi apa-apa.
“Luck? Kok berhenti? Kocok terus dong korbannya!”
teriak kawan-kawan.
“Diem, Anjing!” kataku.
Mereka kebingungan.
Aku lari menuju ke tempat dudukku. Mengambil
tas.
Teman-temanku semakin bingung.
Aku naik motor. Cabut dari sekolah.
Kukirimi kau pesan.
“Kamu baru aja jadian sama Black, ya?”
“Iya mas. Kok
kamu tau? Hehehe..” balasmu.
Goblok! Kenapa aku begitu goblok? Sampai tak sadar
kalau kau dekat dengan pria lain. Kenapa
kau tak cerita aku kalau hendak jadian dengan pria lain? Kan aku bias
melarangmu. Tapi apa kuasaku sehingga
hendak melarangmu? Toh aku bukan siapa-siapamu.
Kukebut motorku dan berhenti di toko kelontong.
Kuhabiskan sisa jatah uang jajanakuku minggu ini untuk membeli rokok jarum isi
16 empat bungkus.
Sampai di kosan kukunci pintu kamar. Kubanting tubuhku di kasur. Dan aku mulai merokok.
Aku, yang biasanya merokok mild, sekarang nekat
merokok jarum yang berat. Sebodo amatlah! Yang penting tenang. Tapi, semakin aku mencoba tenang semakin
hatiku tak karuan. Yang ada di fikiranku cuma kau. Kau, kau, dan kau.
Putri
baru aja jadian. Dan itu dengan orang lain. Bukan denganku.
Kusulut lagi rokok. Aku merokok seperti orang
kerasukan. Habis, nyalakan lagi. Habis nyalakan lagi.
Teman-teman mungkin kosku kalut melihat kamarku yang
atasnya penuh dengan asap. Dikira mereka kebakaran. Mereka menggedor-gedor
kamarku.
“Berisik, anjing!” kataku.
Merekapun mulai bubar.
Dari siang hari sampai Magrib yang kulakukan hanya
mengurung diri di kamar. Merokok. Memikirkanmu. Merenungi kegagalanku.
Sampai akhirnya aku manyadari tiba-tiba dadaku
sesak. Bengek. Mungkin karena kebanyakan merokok. Sampai-sampai aku kebingungan
mana yang harus kurasakan, antara sakit hati dan sakit paru-paru.
Sebodo amatlah. Meskipun bengek tetap kupaksakan
untuk merokok.
Lalu, pintu kamarku diketok dan nada suara yang
memanggil secara halus. Mas Simo!
“Buka, Luck,” katanya lirih.
“Lagi pengen sendiri,” kataku.
“Kalau ada masalah itu diomongin baik-baik,” kata
Simo. “Bukannya malah menyiksa diri. Udud dari pagi sampe magrib.”
“Berisik,” kataku.
“Yowes.
Kalau udah mendingan tak tunggu di atas genteng, yo? Ududmu pindah ke atas genteng. “
Aku diam.
Baru sekitar jam 9 malam aku selesai merokok dan
membuka pintu. Naik ke genteng dengan niat untuk merokok lagi sembari merenung. Ternyata Mas Simo masih di sana.
“Halo, Le,” sapa Simo. “Udah baikan?”
“Kata siapa? Aku kesini buat udud,” kataku. “Sekaligus menyendiri.”
“Ada masalah apa, tho? Sudah, cerita saja. Daripada
dipendem. Siapa tahu aku bisa membantu.”
Awalnya aku diam. Namun Mas Simo dengan sifat
kebapak-bapakannya terus memberondongku dengan pertanyaan. Maka, aku menyalakan
rokok dan mulai bercerita.
“Sabar, Luck,” katanya, setelah aku selesai
bercerita. “Kamu nggak salah kok. Cuma kurang gerak cepet aja. Kan Putri udah
punya pacar, mendingan kamu cari cewek lain saja.”
“Susah.”
“Kenapa susah?”
“Cewek di bumi bermilyar-milyar, tapi cuma Putri
yang bisa buat aku ambyar.”
Simo tertawa keras. “Masih aja sok puitis kowe
hahaha.”
Aku mulai tersenyum. Lalu Mas Simo mulai memberiku
petuah-petuah dan nasihat. Kebanyakan omongannya masuk kuping kanan-keluar
kuping kiri. Tapi satu-satunya hal yang bisa kutangkap dari mulutnya yaitu,
cowok menang milih. Gagal satu, tumbuh
seribu.
Ucapan mas Simo membuatku sedikit terhibur. Namun
hanya sesaat. Begitu Simo pulang ke kosannya dan aku kembali sendiri, hatiku
kembali hancur dan fikiranku kocar-kacir.
Hal ini bertahan dari aku menjelang tidur dan ketika bangun. Dan
bertahan sampai berhari-hari kemudian.
Aku tak lagi
mengirimu pesan, dengan harapan bisa menjauh dan melupakan harapan. Toh kau
mungkin sudah bahagia dengan pacar barumu. Tapi semua tak semudah yang
kubayangkan.
Ketika aku di kosan, aku lebih sering diam. Ketika
di sekolah, aku membisu. Sampai di kosan lagi, aku membatu.
Hari-hariku saat ada kau warna-warni, saat ini tak
lagi. Aku seperti orang buta warna. Tak sanggup melihat indahnya dunia.
Pagi hari aku makan hati. Siang mendengarkan lagu
sendu. Dan malam kuhabiskan dengan berbatang-batang rokok serta hati yang kesepian.
Malam ini, entah hari keberapa setelah mendengar
berita kau berpacaran. Mungkin seminggu. Mungin lebih. Hatiku begitu sendu
sampai lupa waktu. Bahkan aku tak tahu ini jam berapa. Tengah malam mungkin.
Aku, masih merenung di atas genteng sembari merokok. Dan memikirkanmu tentunya.
Sekarang aku harus begimana? Mencoba melupakanmu
tapi tak mampu. Menghubungimu tapi kau
sudah punya kekasih hati. Aku mengumpat sekeras-kerasnya. Sedikit lega. Aku
kembali mengumpat. Sedikit lega. Aku kembali mengumpat. Terdengar balasan dari tetangga
kos, “Berisik, anjing! Aku nggak peduli
apa masalahmu. Tapi kalau misuh-misuh ingat waktu. Babi! Ini sudah hamper jam tiga pagi!”
Aku mingkem. Takut kalau warga berkumpul dan
menggebukiku. Dari kejauhan ada suara cekikihan. Mas Simo!
“Bego, bego,” katanya sembari terkekeh dan
mendekatiku. “Kowe kira pantai toh? Bisa teriak-teriak sesukamu. Misuh lagi.”
“Meluapkan emosi, Mas,” kataku. “Abisnya aku
bingung.”
“Nggak ada cara lain?”
“Ya.. mungkin nulis, Mas.”
“Nah. Yaudah nulis sana.”
“Belum dapat inspirasi.”
Keadaan mendadak hening tanpa alasan. Mas Simo duduk
di sebelahku dan merokok.
Tiba-tiba saja hapeku berbunyi dan memecah
keheningan. Ada SMS masuk.
“Dari siapa, Luck?”
Putri! SMS darimu.
“Heh? Putri? SMS gimana orangnya?”
Mas
Lucky, tulismu. Aku kaget. Campur gembira. Kaget karena
tanpa ada alasan, kau mengirimiku SMS. Gembira karena sejujurnya aku kangen
banget denganmu. Aku tak mau munafik.
Lebih dari seminggu yang ada di batok kepalaku hanya kau. Ingin
mengirimimu SMS, tapi takut mengganggumu.
“Kok kamu senyum?” Tanya mas Simo.”Balesi seadanya
aja. Ada apa, gitu.”
Ada apa? Balasku kepadamu.
Lagi
pengen sms kamu aja, balasmu lagi.
“Dia kan udah punya pacar, Luck,” kata Mas Simo.
“Ngapain SMS kowe? Balesi gini aja.“
Kan
kamu udah punya pacar. Nggak SMSan sama pacarmu?
Tulisku. Sesuai instruksi mas Simo.
Aku
nyamannya sama kamu, balasmu.
Kutunjukkan pada Mas Simo. Dia bilang tidak bisa
seperti itu. Sudah punya pacar kok nyamannya sama orang lain. Dia juga bilang
aku mesti sadar diri. Putri bukan siapa-siapaku. Dan aku bukan siapa-siapanya Putri. Jangan
berlebihan, Luck, katanya.
Tapi begimana lagi? Hati ini tidak bisa dibohongi.
Aku sudah terlanjur menaruh hatiku padamu.
SMS darimu tak bisa kutanggapi dengan biasa saja.
Asu
lah.
Aku jadi galau. Bingung mesti bagaimana.
Kuambil rokok dalam saku dan kusihap dalam-dalam.
Kuhembuskan ke atas. Aku melihat langit
malam. Bulan menggantung di angkasa. Aku jadi pengen nulis puisi. Kebetulan
juga sudah janji kepadamu akan membuatnya. Maka tanpa disuruh, kata demi kata
meluncur dari otakku. Plus jeritan dari suara hatiku.
Dan aku mulai
menulis..
Berjam-jam sudah aku menulis puisi dan baru setengah jadi. Aku berjanji akan
menyelesaikan puisi ini kelak di waktu yang tepat.
Sebaiknya, aku benar-benar menjauhimu karena kau
sudah punya pacar. Itu saran Mas Simo. Mungkin berminggu-minggu kita tidak
saling berkirim pesan. Sampai ketika hari ulang tahunku yang ke 17 tiba. Semua teman-temanku mengucapkan ulang
tahun di Facebook maupun lewat SMS. Aku
membalasi mereka semua dengan ucapan terima kasih. Sekaligus memberi tahu anak
OSIS dan teman terdekatku bahwa nanti malam aku akan mengajak mereka makan
malam untuk merayakannya.
Aku bertanya-tanya dalam hati apa berkesannya sweet
seventeen. Kata orang ulang tahun ke
tujuh belas tak akan terlupa seumur hidup. Tapi sampai magrib tiba rasanya kok
seperti ulang tahun yang lalu-lalu. Seusai aku mandi aku iseng membuka
Facebook. Ternyata ada pesan di dinding Facebook. Darimu!
“Mas Luckyy,
selamat ulang tahun ya? Wajib dan harus makan-makan!”
Makan-makan? Memangnya kau mau kalau kuajak
makan-makan? Bareng orang-orang terdekatku? Di hari ulang tahunku? Memangnya
kau akan datang? Memangnya kau..
Kuanggap pesanmu hanyalah basa-basi belaka. Seperti
pesan semua orang kalau ada orang ulang tahun maka menagih makan-makan. Maka
kubalasi pesanmu dengan entengnya.
“Nanti malem di nasi goring depan Telkom. Datang
ya..”
Tak ada balasan darimu. Kau tak akan datang.
Kata-katamu hanyalah basa-basi. Kututup
Facebook dan meluncur ke tempat perayaan ulang tahunku.
Satu per satu temanku mulai berdatangan. Mereka
menjabat erat tanganku dan mengucapkan selamat ulang tahun. Suasana menjadi
ramai dan riuh karena anak OSIS kebanyakan menunjukkan tingkah konyol.
Semakin dekatlah puncak acara ketika Satrio ketua
OSIS meminta semuanya untuk diam sejenak. Bentar lagi kita doa bersama untuk
ulang tahun Lucky, katanya.
Dan tanpa terduga, di tengah keheningan, ada motor
matic serta helm hijau dengan rambut sepundak
yang mendekat. Putri! Kau tanpa pernah kuduga datang di ulang tahunku. Kau datang dengan temanmu cewek juga.
Semua teman-temanku berbisik-bisik. Siapa? Gadis! Anak paskibra kan? Owalah..
itu, pacare Black! Kenapa dia datang ke ulang tahunnya Lucky? Entahlah. Yang
penting makan gratis, gaes!”
“Selamat ulang tahun mas Lucky,” katamu dan
tersenyum.
Aku
tersenyum. Andai kau tahu, kedatanganmu di hari ulang tahunku adalah kado
terindah yang diberikan Tuhan dalam hidupku.
Malamnya , seusai perayaan ulang tahun, aku naik di atas genteng lagi. Meneruskan
puisi yang kujanjikan kepadamu.
Sambil melihat bulan kutulis puisi ini. Sampai
akhirnya jadi. Meskipun melanggar EYD dan terkesan norak. Dan mungkin akan
ditertawakan oleh sastrawan karena kekonyolannya. Tapi tak apalah. Toh puisi ini suara hatiku. Dan kubuat khusus
untukmu.
Kusimpan puisi yang kubuat di secarik kertas.
Berhari-hari. Sampai kemudian aku berani
menitipkannya di salah satu adek kos (yang kebetulan juga anak paskibraka
kabupaten) sewaktu ia akan berangkat jamuan makan malam dengan bupati seusai
upacara 17 agustus.
Tengah malamnya aku duduk di atas genteng sembari
merokok. Tiba-tiba saja ada SMS masuk.
Darimu.
“Makasih ya mas puisinya. Aku jadi nangis.”
Aku tersenyum. Puisi telah kau terima. Batinku,
mungkin inilah akhir dari kisah kita.
Selepas
memutuskan untuk pindah ke lain hati, aku mendekati banyak sekali gadis.
Berpetualangan, atau mungkin pelampiasan. Entahlah. Samar-samar kudengar kau
putus dengan Black. Dan ganti baru lagi.
Tapi semua itu tak kumasukkan dalam hati. Aku sudah menemukan kebahagiaanku
sendiri. Atau lebih tepatnya menikmati petualangan-petualangan dengan gadis
lain. Berbulan-bulan. Sampai kemudian
satu per satu para gadis itu pergi tanpa sempat kumiliki.
Dan aku kembali sendiri.
Malam itu aku merokok di atas genteng sembari
bermain Facebook. Iseng-iseng aku berniat mendekati para gadis lagi. Banyak sekali gadis cantik bersileweran yang
menulis status dan mengupload foto bening mereka di beranda. Aku jadi kegirangan.
Mana yang harus kudekati? Kakak kelas angkatan yang sexy? Teman seangkatan yag
manis? Atau adek angkatan yang aduhai? Ah, sebaiknya aku sadar diri. Jangan
mendekati yang cantik-cantik sekali bak bidadari. Wajahku ini tak
ganteng-ganteng amat. Malah boleh dibilang, sedikit memprihatinkan dan harus
sesegera mungkin dibawa ke dokter bedah wajah. Atau kalau nekat menginginkan
mereka jadi kekasihku, aku harus segera menghubungi dokter operasi plastik di
Korea. Tapi seperti yang kubilang, aku ini kere. Sarapan saja dengan indomie
rebus didampingi nasi. Makan siang sama soto murahan dekat sekolah yang sering
jadi langganan para gelandangan dan pengemis. Makan malam dengan angkringan
murahan. Mau permaks wajah? Uang dari
mana?
Kuputuskan untuk mendekati gadis-gadis yang tak terlalu cantik-cantik
amat di Facebook. Dengan nekat
kukomentari saja apapun yang mereka upload di Facebook. Dan tanpa terduga, aku
mendapati seseorang mengirimiku pesan di dinding Facebook.
“Buku IPSmu masih kubawa lho, mas.” Putri! Pesan
darimu.
Tiba-tiba saja bayangan gadis yang tercantik sampai
gadis biasa saja yang ada di batok kepalaku rontok. Mereka menguap begitu saja.
Dan menghilang. Yang ada sekarang hanya bayangan dirimu.
Hanya kau.
Dan aku tak bisa menipu diriku. Ternyata, aku masih
mencintaimu.
Maka kubalasi kau pesan. Dan kita kembali berkirim
pesan lewat dinding Facebook.
Sehari. Dua hari. Tiga hari. Seminggu.
Berminggu-minggu kita saling berkirim pesan di dinding Facebook.
Sampai ditengah-tengah kesibukanku kembali berkirim
pesan denganku, Mas Simo mengajakku
nongkrong di angkringan pete. “Aku bayarin,” katanya di telepon. Tumben sekali anak ini mau bayarin? Batinku.
Biasanya mau merokok saja minta. Tapi
tak apalah. Namanya juga anak kos. Nasi gratis bagaikan sumber mata air pada
hamparan padang pasir.
Dia menjemputku di kos dan aku diboncengkan
motornya. Mulutnya bersiul-siul terus sepanjang perjalanan. Badannya
digoyangkan dengan ringan ke kiri dan ke kanan. Kulihat dari spion mulutnya
menyunggingkan senyuman.
“Pesanlah
sesukamu,” katanya ketika sampai di angkringan. “Aku bayarin.”
“Oke,” kataku.
Aku mengambil dua bungkus nasi telor dan empat mendoan bakar. Simo, dengan sukarela mengambil tikar dan
menggelarnya di trotoar. Dan akupun duduk. Cahaya lampu kuning keemasan membuat
suasana remang-remang. Hanya kami yang nongkrong disini. Dan arus lalu lintas
sangat lengang, cuma satu-dua tukang becak yang lewat.
Kami berdua terdiam cukup lama. Kuambil rokok mild
dan menyalakannya untuk mengusir sepi. Sampai akhirnya Simo berkata,
“Aku baru jadian sama Putri.”
Dia
mengatangan kata aku baru jadian sama putri dengan enteng sekali, seperti orang
ngomong “aku baru aja kencing.”
“Sekarang Putri
jadi pacarku,” tegasnya.
Rokokku terjatuh.
Aku mematung seakan tak percaya atas apa yang baru
saja kudengar.
Kupandang wajah simo dengan geram. Dan dia
membalasku dengan senyum kemenangan.
Fikiranku melayang.
Aku
baru jadian sama Putri. Sekarang Putri jadi pacarku.
O… lha Asu.
Jadi daritadi dia siul-siul sendiri,
mengajakku nongkrong dan
mentraktirku karena ini? Dia mau
membeliku? Dipikir sebegini rendahkah harga diriku? Seharga dua bungkus nasi
dan empat gorengan? Biarpun dicongkelnya
pucuk Monas buatku aku tak kan menjual harga diriku. Biarpun diangkat gunung permata aku tak akan
sudi aku menerima.
Aku
baru jadian sama Putri. Sekarang Putri jadi pacarku.
Bangsat! Tak ingatkah simo dengan semua yang telah
kuberikan padanya? Inikah balasan yang pantas atas segalanya?
Kupingku
selalu ada untuknya. Ketika dia curhat, aku setia mendengarkan. Tentang
keluarganya yang tak harmonis. Tentang
keuangan keuangannya yang kocar-kacir.
Tentang pacarnya yang gonta-ganti. Tentang sekolahnya yang amburadul.
Dan segala tetek bengek lainnya.
Kusediakan waktuku untuknya. Ketika dia mengajak nongkrong
aku selalu mau. Ketika dia mengajak ke
rumahnya aku mau. Ketika dia ingin menginap di rumahku aku mau. Ketika dia minta
dikeroki aku mau. Ketika dia sedih
karena urusan cinta atau apapun aku ada di sampingnya dan menghiburnya.
Ketika dia minta rokok kukasih. Ketika minta duit
buat hutang kukasih. Minta traktir makan kukasih. Minta tolong apapun aku ladenin.
Aku selalu berusaha menjadi adik yang baik buatnya.
Dan masih banyak lagi. Aku muak untuk mengingatnya.
Apa salahku sampai simo tega kayak gini terhadapku?
Aku
baru jadian sama Putri. Sekarang Putri jadi pacarku.
Padahal simo sudah kuanggap sebagai kakak kandungku
sendiri. Dan diapun menganggap aku sebagai adik kandungnya sendiri. Kuceritakan semuanya kepadanya. Bahkan
tentang kau. Ketika pertama kali bertemu denganmu. Ketika aku jatuh cinta
denganmu dan dengan usahaku untuk mendekatimu. Apa yang simo lakukan sejak
dulu? Dia mendengarkanku, mendukungku untuk mendekatimu, memberi saran-saran
supaya aku bisa menjadi kekasihmu, membantuku untuk bisa mendapatkanmu.
Dan sekarang apa yang dia lakukan? Dia diam-diam
jadian denganmu. Dibelakangku. Mendekatimu tanpa sepengetahuanku dan setelah
mendapatkanmu memamerkannya kepadaku. Seolah aku ini makhluk paling goblok di
dunia dan dia seolah berkata, “Hey,
bocah, kowe ora bakal iso ngentukke Putri. Modal cinta? Chat di Facebook?
SMS-an? Ngajak kencan yang tak berujung
kenyataan? Puisi? Kata-kata indah?
Sampah. Tontonen aku saiki. Iso
ngentuke putri dengan mudah. Goblok kowe!”
Aku
baru jadian sama Putri. Sekarang Putri jadi pacarku.
Pengkhianat! Padahal aku percaya pada simo. Inikah
balasan yang pantas yang diberikan seorang kakak kepada seorang adiknya?
Pantaskah simo melakukan semua ini dibelakangku?
Mungkin bagimu aku berlebihan? Tapi cobalah sedikit
mengerti perasaanku. Ketika kau sangat
mencintai seseorang dan berusaha mendapatkan cintanya, ada seseorang yang
mendukungmu dan menyemangatimu dan membantumu. Kau percaya pada orang itu.
Setiap hari kau ajak seseorang yang kau percaya cerita ngalor-ngidul tentang
orang yang kau cintai. Setiap saat orang yang kau percayai itu
mendorongmu untuk memperjuangkan orang yang kau cintai. Setiap saat ketika
jatuh seseorang yang kau percaya itu memberimu motivasi untuk kembali bangkit
mendekati orang yang kau cintai. Setiap
saat ketika kebingungan seseorang yang kau percaya itu memberimu tips-tips dan
arahan untuk lebih dekat dengan orang yang kau cintai. Dan tiba-tiba saja orang
yang sangat kau cintai diambil oleh orang lain.
Dan itu oleh kakaknya sendiri.
Aku
baru jadian sama Putri. Sekarang Putri jadi pacarku.
Bajingan! Apa maksudnya sedari dulu simo
menyemangatiku agar bisa mendapatkan cintamu? Apa maksudnya memotivasiku agar
kau dan aku bisa bersama? Apa maksud
semua hal manis yang simo berikan kepadaku ketika mendekatimu? Apa maksudnya?
Anjing! Rasanya putus sudah urat kesabaranku.
Tanganku kananku mengepal dan meremas-remas. Ingin sekali aku memukuli simo
sampai babak belur. Sampai mampus kalau bisa.
Aku
baru jadian sama putri. Sekarang putri jadi pacarku.
Kuambil hape. Aku tak bisa memendamnya sendiri.
Kutulis pesan pada teman sebangkuku.
“Yan, aku lagi sama simo. Aku pengen gebuki dia sampe mampus!”
“Onok masalah opo, Luck?
“Simo ngomong kalau jadian sama Putri. Asu tenan. Pengen tak pateni wonge.”
“Ya Allah.. kok iso jadian? Sabar, Luck. Sabar...
emosimu diredam ndisik. Mungkin kowe iso gebuki deknen nganti mati. Tapi
pikirno kedepan juga. Urusane karo hukum ngko.
Opomaneh simo wis mbok anggep masmu dewe to?”
“Terus aku kudu piye?”
“Pokoke usahake sabar. Iso? Opo aku kudu mrono?”
“Yo. Tak sabar.
Rasah mrene.”
“Istighfar, luck.”
“Yo.”
Aku
baru jadian sama Putri. Sekarang Putri jadi pacarku.
Mulutku membisu amat lama. Simo asyik makan tanpa merasa berdosa.
Sesekali ditatapnya aku dan dia mengeluarkan senyuman penuh kemenangan. Bajingan tenan wong iki. Tidak merasa
bersalah mengembat pujaan hati adiknya sendiri. Malah senyum-senyum sendiri.
Sepertinya dia ingin memecundangi aku ini.
Tanganku masih meremas-remas. Kalau tak dinasehati
oleh teman sebangkuku hidupnya orang ini udah tandas.
Aku mencoba untuk menahan amarah yang telah
membuncah. Kusembunyikan kepalan tanganku di belakang tubuh agar tak khilaf
memukul mulutnya dan membuat bibirnya pecah.
Meskipun sejujurnya aku tak kuasa menahannya. Jadi aku menarik napas panjang dan
menghembuskannya.
Aku
baru jadian sama Putri. Sekarang putri jadi Pacarku.
Aku berdiskusi dengan nurani. Sabar, Luck. Sabar.
Jangan gebukin dia. Nanti urusannya panjang adanya. Bagimana kalau kamu
keblabasan dan urusan sama polisi? Bagaimana kalau kamu kesetanan dan ketagihan
gebukin dia sampai mati?
Bukankah dia memang pantas aku gebuki? Ya, dia
memang pantas kamu gebuki. Kalau perlu kamu ceburkan ke kali. Tapi untuk kali ini saja. Coba nahan emosi.
Coba nahan...
Keparat! Bangsat!
Mengumpatlah sesukamu. Mengumpatlah. Tapi jangan
lupa fikirkan dirimu. Fikirkan masa depanmu. Fikirkan nama baikmu dan
keluargamu. Tindakanmu saat ini
menentukankmu di kemudian hari.
Aku
baru jadian sama Putri. Sekarang Putri jadi pacarku.
Simo masih tersenyum dan diam. Kenapa dia diam? Apa
yang ditunggunya? Ucapan selamat dariku? Apakah aku harus mengucapkan, “Selamat, Mas. Kowe telah memacari wanita yang sangat kucintai. Selamat, kau telah memacari wanita yang
sangat dicintai oleh seseorang yang kau anggap adik kandungmu sendiri. Selamat.
Sekali lagi selamat!”
Aku
baru jadian sama putri. Sekarang putri jadi pacarku.
Anjing. Aku
harus segera pergi dari tempat ini. Enyah dari batang hidungnya simo. Semakin
lama aku melihatnya, semakin aku pengen menggebukinya.
Ya, aku harus segera enyah dari situasi bangsat ini.
Darahku mendidih dan seluruh tubuhku terasa terbakar. Terbakar amarah. Jika tak segera minggat maka...
“Aku pengen pulang ke kosan,” kataku.
“Pulang? Buru-buru amat?” tanya simo. “Kenapa?”
Kenapa?
Kowe masih tanya kenapa? Elu bego apa pura-pura bego, anjing?!
Tanganku masih kusembunyikan di balik tubuh. Masih
meremas-remas. Jika mulut ini mulai merancau, bisa dipastikan tak bisa
dikendalikan.
“Kok diem?” tanya simo.
“Aku pengen pulang,” kataku sekali lagi.
“Makanannya gimana?”
Kutatap mata simo dengan penuh amarah. Dia balik
menatapku dan tertunduk.
“Persetan
dengan makanan!” kataku. “Aku pengen
pulang. Sekarang.”
“Tapi..”
“Aku pengen pulang. Titik!”
“Oke, oke.”
Dibonceng simo, tanganku masih mengepal dan
kusembunyikan di balik punggung. Jika tidak karena rasa sabar yang kupaksakan,
ingin sekali rasanya kutempeleng kepalanya sampai remuk. Namun kutahan.
Kekesalan yang menggunung dan hampir meletus ini baru bisa kulampiaskan ketika
sampai di kamar kosan. Kupukul berkali-kali tembok dengan tangan, sambil
membayangkan wajahnya simo. Akan tetapi
tembok yang terbuat dari semen dan pasir yang mengeras bukanlah tandingan
tangan yang terbuat dari daging. Darah segar mengucur disela-sela jariku.
Aku jadi berfikir lagi, kenapa aku malah memukul
tembok dan menyiksa diri dan bukan wajahnya saja yang kupukuli. Ketika
mengingat wajahnya simo, yang ada hanyalah rasa ingin memukul. Dan aku berfikir
lagi, bagaimana jadinya kalau tadi aku tak bisa menahan diri dan ada setan
lewat yang merasuki diriku sehingga aku bertindak kebablasan dan melanggar
hukum? Untung saja aku bisa menahan diri. Aku menyalakan rokok. Bayangan
kekesalanku kepada simo harus sesegera mungkin kuhapus dari otakku karena hanya
akan membuat penyakit saja.
Hari-hari berikutnya aku menyibukkan diri dengan
bersenang-senang dengan teman sekolahku. Di jam istirahat, aku guyonan dengan
mereka sembari tertawa karena ada salah seorang yang memperagakan gaya seorang
guru yang menyerupai salah seorang personel srimulat. Aku juga mengajak para teman mencari korban,
lalu mengocoknya dengan kaki. Tawa kami
terhenti sejenak karena ada gerombolan kakak kelas IPS yang lewat. Dan..
“Le,”
katanya. simo! Si pengkhianat.
Dia menepuk
pundakku dan meringis. Aku jadi teringat
bagaimana dia secara diam-diam jadian
dengan Putri. Darahku seketika mendidih.
Wajahnya benar-benar seakan menyuruhku, yang melihatnya, untuk menempelengnya
secara cuma-cuma.
“La-le-la-le, mbok kiro aku bocahmu?!”
kataku. Mataku menatapnya tajam. “Rasah ndemek-ndemek! (pegang-pegang!)”
“Kowe kan
adiku, le,” katanya, kembali tertawa. Tawanya seolah mengejekku.
Pengkhianat ini memang tak tahu diri. Masih berani
dia menganggap aku sebagai adiknya?
“Adi matamu!”
umpatku.
“Kowe
kenopo, sih?”
“Kowe sing
kenopo! ASU!”
“Kok kowe
kasar?”
“Ngopo?
Raktrimo? Ayo senggel. Gur nyawamu tak pateni ning kene yo iso.”
“Ayo,” katanya.
Teman-temanku dan teman-temannya Simo memperhatikan
kami dalam diam. Misalnya teman simo anak IPS ikut campur, aku tak peduli. Aku
semakin menjadi-jadi. Dia yang sudah menyemangatiku mendapatkan Putri, dia juga
yang diam-diam jadian dengan Putri. Aku
baru aja jadian sama Putri. Sekarang Putri jadi pacarku. Katanya
kemaren. Kemarahanku sudah di puncak.
“BAJINGAN!”
teriakku keras. Kudorong tubuh simo sampai dia terpental.
Dia lalu maju dan balik mendorong tubuhku.
“ASU,” katanya.
“KOWE SING
ASU!”
“AKU MASMU!”
“MAS GATEL!!
BAJINGAN KOWE! PENGKHIANAT!”
Aku kembali mendorong tubuh Simo. Lalu kutonjok
mukanya sebelah kiri dengan tangan kanan
sepenuh tenaga.
Dia memegangi bekas pukulanku dan terlihat
kesakitan. Terdiam dan terdunduk.
Tapi aku tak peduli. Aku sudah kalang kabut.
Bajingan ini memang keterlaluan. Apa yang telah dia perbuat kepadaku tentang
Putri tak akan bisa kumaafkan. Tak akan pernah.
Bahkan misalkan dia berlutut di hadapanku, menciumi kakiku dan meminta
maaf sekalipun aku tak akan pernah sudi
memberinya.
“LUCKY!!!
UWISSSS...”teriak teman-teman cewekku.
”Sim, Uwis,”
kata teman-teman IPSnya.
Kugarakkan tangan kiriku untuk menonjok wajah
kanannya. Namun para cowok di sekitar menarik tubuhku menjauh dan aku masih meronta-ronta seperti
orang kesurupan.
“NEK
ORA ONOK CAH-CAH WIS MODAR KOWE, SIM!” kataku.
“AKU
YO RA MUNDUR.”
“
HEH, ASU! MULAI SAIKI, KOWE ORA MASKU MANEH. MINGGATO SOKO URIPKU. ORA SUDI AKU
NDELOK BENTUKANMU! PENGKHIANAT!”
Begitulah akhir kisahku dengan simo. Dibanding
membenci, aku lebih suka menganggap orang lain tidak ada.
Semenjak itu pula aku tidak mudah percaya dengan
orang lain. Bahkan kepada orang yang mengaku saudara kandungku sekalipun.
Perjalanan kisahku masih berlanjut. Kudekati banyak
sekali gadis. Dan sampai juga hatiku di salah satu gadis yang mirip personel
Black Pink. Aneh juga, orang yang wajahnya mirip Tukul Arwana sepertiku bisa
mendapatkan gadis secantik personel Black Pink. Padahal aku tidak meminta
bantuan mbah dukun. Tapi apa daya itu adanya.
Selama berpacaran dengan gadis yang mirip personel
Black Pink aku sama sekali lupa denganmu.
Kadang samar-samar aku mendengar kau putus dengan simo lalu ganti yang
baru. Hingga kemudian aku dan pacarku
yang mirip personel Black Pink memutuskan
untuk berakhir.
Iseng-iseng aku membuka Facebook untuk menggebet
gadis baru. Dan tanpa kuduga ada pesan
baru di dinding Facebookku.
“Buku IPSmu masih kubawa lho, mas.” Putri. Pesan
darimu!
“Bawa kamu aja. Biar kamu selalu ingat sama aku.”
Balasku.
“Beneran nih?”
“Serius. Kalau perlu kamu laminating, lalu kamu
pajang di dinding kamarmu.”
“Nggak sekalian dikasih karangan bunga? Wwkwkwk”
Dan kita kembali berkirim pesan. Malahan ada salah
satu teman kosku yang mengomentari pesan dinding kita, “Cie, CLBK nih.”
Mungkin teman kosku benar. Dua tahun sudah aku
memendam rasa cintaku kepadamu. Dan selama itu aku masih belum diberi
kesempatan oleh Tuhan untuk mengungkapkannya langsung kepadamu. Jujur aku sudah
tak kuat menahannya. Dan rasanya malam ini, seminggu setelah kau mengirimiku
pesan di dinding Facebook, akan kuungkapkan rasa cintaku kepadamu secara
langsung. Tak peduli apapun jawabanmu.
Semenjak pagi
aku sudah SMSan dengan kau. Namun aku tak menyinggung sedikitpun tentang
rencanaku untuk mencurahkan isi hatiku itu. Nanti setelah aku manggung, akan
kuajak kau ketemuan. Aku juga akan
menepati janjiku dulu.
Siang hari sampai sore aku di rumah guru drumku dan
latihan di studio musiknya. Maka akupun tak sempat untuk terus bercakap
denganmu lewat chat. Nanti malam adalah penampilan terakhirku sebagai anak Band
di SMA. Ditonton oleh para siswa, guru dan alumni. Kaupun pasti menonton. Aku
tak ingin memberi kesan buruk kepada mereka dan kau tentang penampilan
terakhirku di panggung SMA. Aku akan memberikan yang terbaik demi
almamaterku. Dan juga demi kau.
Satu per satu band mulai naik panggung dan masing-masing membawakan
dua lagi bebas dan satu lagu lawas (kalau berminat). Rata-rata hanya membawakan dua lagu saja
karena tak berminat dengan lagu lawas.
Sampai kemudian MC, berteriak, “Selanjutnya, akan
kita saksikan Band paling fenomenal di SMA N 1 Purwodadi. Mari kita sambut...
T.O!”
Di backstate, semua personel band kami (T.O namanya
band kami. Kuingatkan karena mungkin kau lupa) mulai berkumpul dan berdoa. Lalu
bertoss ria, “T.O.. Never say die!”
Aku berjalan paling depan dan menaiki panggung
dengan memakai kemeja navy kotak-kotak dan memegang stick drum. Lalu
dilanjutkan anggota band lainnya. Kulirik ke belakang, dimana guru drumku yang
juga merangkap sebagai tukang sound tersenyum dan menangkat jempol.
Para penonton mulai melotot ke arah kami. Mungkin
tak sabar. Dan band kami pun mulai
beraksi. Lagu pertama keras, takkan terhenti disini oleh alone at last*. Lagu
kedua aku mencopot kemeja. Hanya berkaus oblong distro.
Dan puncaknya adalah lagu ketiga. Lagu lawas. Kami
membawakan lagunya chrisye yang berjudul cinta yang lain. Di pertengahan lagu, vokalisku duduk di emper
panggung dan mengajak penonton menyanyi. Semua ikut. Seakan hanyut akan lagu
itu.
Lagu ketiga selesai, semua orang yang menonton
bertepuk tangan dan berteriak-teriak dan bersiul. Aku kembali ke backstage dan guruku menepuk
pundaku sembari tersenyum dan mengangkat jempol, “Sangar! Iki penampilan terbaik kalian.” Dan kami semua tersenyum
puas.
Aku lalu duduk di pinggir panggung. “Aku keluar
sebentar ke minimarket,” kataku.
“Ngapain?”
“Menepati sebuah janji.”
Butuh sepuluh menit pulang-pergi dan aku membawa
bungkusan plastik berwarna hitam.
“Apa itu, Luck?” tanya teman-teman bandku. “Ciu?”
“Ntar aku ceritain.”
Aku membuka hape. Kukirimi kau sebuah pesan.
“Ini kamu posisi dimana?” tulisku.
“Di deket tiang bendera. Depan kelas.”
“Bisa ketemuan sebentar?”
“Kesini aja. Aku disini.”
“Oke.”
Aku bangkit dari duduk. Mataku kuedarkan ke segala
penjuru sekolah. Dan kulihat kamu duduk di depan kelas, seperti apa yang kau
tulis.
Dengan mantap kugerakkan kakiku, langkah demi
langkah. Ini adalah hari terakhirku di sekolah dan mungkin tak kan ada
kesempatan berikutnya. Aku akan menyatakan cintaku kepada kamu. Secara
langsung.
Bayanganmu mulai terlihat dan aku berjalan
mendekatimu. Kau bersama dengan teman satu gengmu.
“Dek putri,” kataku sedikit gugup ketika berada
tepat di depanmu.
“Iya, mas?” balasmu.
“Bisa ikut aku sebentar?”
“Ngapain, mas?”
“Sebentar aja. Aku pengen ngomong.”
“Disini aja ngomongnya.”
Ngomong disini? Diantara ratusan manusia? Bukannya
aku tak berani. Tapi aku hanya ingin berbicara denganmu berdua saja. Dari hati
ke hati.
“Tapi aku pengen ngomong berdua,” kataku
“Aku lagi sama temen-temenku.”
“Bentar aja...”
“Ntar aja
ngomongnya di SMS, mas. Kayak biasanya. Nggak papa kan?”
Dug! Hatiku seperti digetok martil. Tidak berdarah,
tapi sakit.
Aku terdiam lama. Apa susahnya ikut aku sebentar
lalu aku ngomong, “Aku cinta kamu.” Apa susahnya? Tak sampai lima menit. Aku
hanya ingin mengungkapkan kata cintaku secara langsung. Bukan lewat dunia maya
atau tulisan.
Dan sekarang aku harus bagaimana? Meraih tanganmu
lalu menariknya? Bagaimana kalau kau menjerit dan orang-orang menuduhku
melakukan hal yang tidak baik?
Maka akupun berkata lirih, “Iya, deh...”
Aku mulai membelakangimu. Namun baru satu langkah
hendak pergi, aku ingat akan janjiku. Aku kembali berbalik arah dan tanganku
terulur. Kusodorkan plastik warna hitam
kepadamu.
“Untukmu,” kataku.
“Apa ini?”
“Janjiku dulu. Es krim coklat.”
Kaupun tersenyum.
Dan aku menjauh darimu dengan gontai.
Kenapa semesta seolah berkonspirasi, tak mengijinkan
aku untuk menyatakan cinta kepadamu? Kenapa? Padahal ini kesempatan terakhir
sebelum aku hengkang dari sekolah dan lalu kuliah. Apa susahnya sih semesta memberi kesempatan
kepadaku untuk berkata, “aku cinta padamu,” kepadamu?
Fikiranku benar-benar kacau. Rasa cinta yang
kupendam kepadamu seolah-olah meledak dan hatiku berantakan tak karuan.
Perasaanku
sakit seperti diiris-iris pisau.
“Ikut aku,”
kataku pada salah seorang temanku.
“Kemana? Kan pertunjukan belum selesai?”
“Kalau kowe menganggapku teman, ikut aku.”
“Tapi kemana?”
“Tuku ciu. Arak Purwodadi.”
“Loh.. Onok masalah opo, Luck? Kok ngajak mabok?”
“Aku ora ngajak mabok. Kowe ora mabok ramasalah.
Penting ngancani aku mabok tok. Ben aku sing mabok dewe.”
“Kenopo re?”
“Joh.. aku gagal menyatakan cinta...”
Dia pun mengangguk paham karena sudah tahu cerita
ini.
Dua botol ciu sudah di tangan. Dua botol!
Di sekitar
angkringan pete, di depan ruko yang tutup, aku mulai menenggak alkohol.
Satu teguk.
Dua teguk. Tiga teguk. Empat teguk. Lima teguk. Dan seterusnya...
Aku mulai kehilangan kendali.
Fikiranku melayang.
Ini kesempatan terakhir sebelum aku kuliah.
Kesempatan emas. Dan gagal. Gagal begitu saja.
Aku jadi berfikir, kenapa waktu kau bilang “ngomong
disini saja,” aku tak nekat menyatakan cintaku kepadamu. Persetan dengan banyak
orang. Kalau perlu tadi aku teriak sekencang kencangnya, “AKU CINTA KAMU”. Biar
semua orang dengar. Biar semua orang tahu kalau aku mencintaimu.
“Kowe ngerti kenopo aku mabok, Su?” tanyaku sambil
memegang botol ciu.
“Ngerti, Luck,” kata temanku.
“Nek durung ngerti tak kei weroh.”
“Ya, Luck.. kei weruh..”
“Aku ndek mau nyamperin Putri. Meh nyatain cinta.
Eh.. dianya kuajak ikut aku sebentar malah emoh.”
“Ya, Luck..”
“Bajingan kok keadane. Kenopo semesta gak ngei ijin
nek aku ngomong cinta karo Putri ya?”
“Ya, Luck..”
“Opo caraku sing salah? Ngajak deknen pas onok kanca-kancane?
Opo deknen malu?”
“Ya, Luck...”
“Opo deknen wis keroso nek aku ameh ngomong cinta,
mulane deknen ngehindar?”
“Ya, Luck...”
“Asline deknen ki pernah cinta karo aku pora toh?”
“Ya, Luck...”
“Asu... ket mau kok ya,luck ya,luck,”
“Ya, Luck..”
“Cuk... kowe iseh kelingan lagu sing tak
bawake? Sing ketiga? Cinta yang lain?”
“Iseh...”
“Kadang aku ngeroso pas ngeband, sing nyanyi kui gak
vokalise dewe. Tapi Putri.”
“Ya, Luck...”
“Aku yo kadang ngeroso lagu kui jawaban soko
semesta.”
“Ya, Luck..”
“Coba nyanyike, cuk..”
“Suaraku elek.”
“Rapopo, nyenengke wong mabok intuk pahala.”
Kuambil botol ciu. Menenggaknya. Dan temanku mulai
menyanyi.
Suara temanku berubah jadi suaramu. Bayangan Putri yang sedang bernyanyi.
Janganlah
pernah kau harapkan aku
Untuk mencintai dirimu
Coba renungkan dalam hati kita
Perpisahan memang mungkin terbaik
Lupakan
aku
Jangan pernah kau harapkan cinta yang indah dariku
Lupakan aku
Kupunya cinta lain yang tak bisa untuk kutinggalkan
Mungkin
suatu saat nanti kaupun akan mengerti
Bahwa cinta memang tak mesti harus bersama..
Aku terbawa
suasana. Kutenggak lagi ciu.
Segalanya mulai samar. Pemandangan. Perasaan.
Harapan.
Dan akupun
tak sadarkan diri.
Entah berapa lama aku teler. Aku hanya sedikit ingat ketika teman-teman
mulai datang dan mengerubungi tubuhku yang tergeletak di trotoar.
“Kenopo cah iki?”
“Mabok!”
“Pirang botol?”
“Dua botol. Malah wonge meh tuku neh.”
“Goblok.. kenopo mbok jarke? Iki wis
digoncang-goncangke tubuhe, wonge rak tangi-tangi.”
“Asu... cah iki nganggo acara sok-sokan mabok
barang. Putihan sisan. Nek keblabasen
piye, cuk?”
“Gak bergerak blas. Mbuh wis berapa jam. ”
“Lha piye, iki su..”
“Jingan.. aku yo bingung, ndes.”
“Luck.. tangi, Luck! Tangi, ndes!”
“Luck.. Asu.. ra tangi-tangi.”
“Tangi, Luck! Ojo modar, sek! Jare kowe meh tobat
terus kuliah ning PTN? Jare pengen sukses dan dadi wong paling terkenal ning
indonesia?”
“Tangi, su!
Joh.. piye iki? Celuke ambulans po
piye?”
“Kono kowe ndang mangkat ning RS Panti rahayu..”
“Aku tak telpon ibune..”
Ibu? Tiba-tiba ada sesuatu kekuatan mistis begitu
aku mendengar kata ibu. Tubuhku lalu mulai bergerak. Dari terlentang,
kemudian tengkurap.
Mereka yang tadinya berteriak-teriak, mulai terdiam
dan memperhatikanku dengan panik.
“CILUK... BAAA!!!” kataku ketika berbalik dan
menoreh kearah mereka.
“OO...
Bajingan!” kata mereka serempak.
Aku tertawa terbahak-bahak seperti orang kesetanan.
“Joh.. tak kiro meh modar kowe, Luck!”
“Asu... bikin kaget wong aja.”
Aku kembali tertawa terbahak-bahak.
“Aku nggak akan mati sebelum sukses dan memecundangi
kowe-kowe kabeh!” kataku dan tertawa.
“Wong mabok.. wong mabok..”
Mereka semua misuh-misuh.
“Apa rencanamu selanjutnya, Luck?”
“Masuk PTN.”
“Mana mangkin,” kata mereka, tertawa. Aku tahu
mereka tidak bermaksud mengejek. Hanya guyonan saja.
Mana mungkin, kata mereka? Mungkin saja. Buktinya
aku masuk PTN di Jogja. Dan memulai
petualangan baru, bertahun-tahun hidup di kota pelajar itu. Bahkan, aku juga belajar di universitas
terbaik di negeri ini. Di kota itulah aku lebih belajar tentang kehidupan.
Tentang arti sabar. Disana pulalah aku
menemukan hal baru, atau lebih tepatnya hal lama yang kembali kutemukan, yang
aku cintai dan membuatku hidup, menulis.
Hanya saja tidak lagi menulis puisi seperti SMA. Aku sadar, tulisanku begitu bodohnya dan aku tidak
berbakat menjadi penyair.
Aku juga belajar banyak dari kisahku denganmu. Aku
menjadi lelaki yang sedikit pemberani.
Jika mencintai seseorang, pasti akan kuungkapkan. Tak peduli secantik
artis sekalipun. Karena aku sudah belajar bagaimana menderitanya memendam
perasaan.
Dan setelah sembilan tahun lebih, aku kembali ke
rumahku di pedesaan untuk rehat sejenak atas segala permasalahan hidup. Bangun
pagi, membaca buku atau menoton film sembari merokok sampai bosan, lalu
menulis. Sore harinya berkeliling menyusuri jalan.
Di jalanan, aku melihat sepasang anak SMA yang berboncengan sembari
tertawa cekikikan. Masa SMA? Ah, aku jadi nostalgia. Aku jadi ingat semua hal tentang masa SMA.
Betapa bandelnya aku waktu dulu. Betapa sukanya aku dengan musik. Dan tak lupa,
cinta. Cinta pertama.
Hey, apa kabar cinta pertamaku dulu? Aku jadi ingat
betapa bodohnya aku dulu.
Sampai di rumah ketika malam, aku terus kepikiran
cinta pertamaku. Kau. Putri.
Mungkin karena terpengaruh film atau novel, aku jadi
ingin menuntaskan suatu hal. Bertemu
denganmu secara langsung dan mengungkapkan rasa cintaku dulu, secara
langsung. Hanya itu saja. Tak lebih.
Sembari berterima kasih karena telah mengajarkanku banyak hal.
Maka malamnya
aku berpikir bagaimana caranya. Dan.. cling, seperti ada bola lampu di
kepalaku. Kenapa tak mencarimu di Instagram?
Kita bisa berbasi-basi di Instragram. Lalu aku tinggal mengajakmu
bertemu. Kucari namamu di IG. Putri. Tidak ketemu. Lalu kuketik nama lengkapmu.
Ketemu. Ku follow akunmu.
Selama berhari-hari aku melihat kegiatanmu di
instastory. Sampai kemudian kau berfoto dengan salah satu caleg. Dan aku
memberanikan diri mengomentari fotomu.
“Wihh.. keren nih. Sekarang jadi kader ya, dek?”
tulisku
“hehehehhh nggak mas, cuma bantu-bantu ajaaaa.”
Balasmu.
“Heleh.. merendah ig. Jadi kader juga nggak papa.
Jarang lho cewek yang mau terjun ke dunia politik. Kok kamu nggak nyaleg
sekian, dek?”
“Hahahahhahh mentalku belum cukup kuat mas :D :D :D”
“Halah seingetku kamu orangnya strong dan pemberani.
Meskipun sedikit celelekan wkwkwk”
“wkwkwk celelekane itu lho, orang mung sitik mas :D”
“Ora mung sitik? Yang bilang kamu sendiri lho wkwkwk
sekarang masih celelekan?”
“Alhamdulillah sudah sadar diri.”
“Kamu keren lho, bisa foto sama caleg. “
“hahahahh yadong kan temen nongkrong.”
“Mosok? Kok bisa nongkrong bareng? Penasaran
aku. Beda banget sama aku. Paling
nongkrongnya sama tukang tambal ban deket rumah”
“Ojo penasaran ngko ngelu malah”
“Aku sudah terbiasa penasaran, dan ketika kenyataan
tak sesuai ekspektasi, berusaha mengikhlaskan.”
“Ashiaaaap.”
Kubalasi kau pesan lagi. Tapi tak kau balas.
Beberapa hari kemudian, kau mengupload fotomu yang
sedang menikah.
Aku jadi
bingung dan susah tidur berhari-hari kemudian karenanya. Kenapa harus seperti ini? Aku belum sempat
mengungkapkan cintaku yang dulu, dan kau
sudah keburu menikah.
Karena tak ada kegiatan, dan daripada bebanku
tentang kisah cintaku ini menumpuk—belum lagi aku juga mempunyai banyak beban
hidup lain yang belum terselesaikan—maka aku memutuskan untuk menghadiri suatu
perkumpulan rahasia. Setiap anggota kelompok akan mencurahkan masalah yang
sedang dipendamnya. Lalu, masalah paling menarik akan dibahas.
Perkumpulan itu diadakan di sebuah ruangan dan
diikuti sekitar 9 orang. Lelaki dan perempuan dan mereka mulai menceritakan
masalah mereka. Ada yang mempunyai masalah terlilit hutang, susah tidur,
kebingungan meningkatkan selera makan agar tubuhnya menjadi lebih ideal. Dan
sebagainya.
Sampai akhirnya giliranku.
“Boleh saya merokok?” tanyaku.
“Ini ruangan ber-AC,” kata salah satu orang. “Anda
ingin membunuh kami semua?”
“Bukankah ada jendela di samping ruangan?” tanyaku
lagi.
“Memang,” kata orang yang lain. “Tapi selama kita
mengadakan perkumpulan ini belum ada
yang mengikuti kegiatan sembari merokok.”
“Maka saya akan jadi yang pertama,” kataku.
Mereka semua terlihat terkejut. Lalu terdiam. Lama.
“Jika saya tidak boleh merokok, maka saya tidak akan
‘membuka mulut’,” kataku.
Mereka terdiam lagi sangat lama. Lalu salah satu
diantara mereka mulai berbicara, dan mereka mulai berdiskusi menyerupai
sekerumunan lebah yang berdengung-dengung.
“Baiklah,” akhirnya suara itu keluar juga. “Kami sudah
memutuskan bahwa anda boleh merokok.
Buka jendela!”
Keadaan sepi seperti kuburan. Sampai aku membuka
mulut.
“Saya baru saja melakukan salah satu kebodohan terbesar dalam hidup saya, “ kataku.
Mereka terbengong-bengong, seolah-olah melihat petir
di siang bolong.
“Kebodohan apa, Saudara Lucky?!” kata salah satu
anggota perkumpulan.
Kuambil rokokku, menyalakannya dan menghembuskannya
ke atas sehingga asapnya membumbung tinggi di langit-langit ruangan.
“Saya telah mencintai seorang wanita. 9 tahun lalu.
Bahkan, mungkin, sampai sekarang. Tapi
belum juga menyampaikan rasa cinta saya secara langsung. Dan sekarang dia telah
menikah dengan orang lain. ”
“Bisakah Anda ceritakan?”
Maka akupun bercerita. Mulai dari pertemuanku
denganmu. Berkenalan denganmu lewat Facebook. Dekat denganmu. Kau punya pacar.
Aku masih dekat denganmu. Kau direbut
sahabatku sendiri. Perpisahan terakhir
kita, setelah aku manggung di SMA dan ingin mengungkapkan rasa cintaku namun
gagal. Aku mabuk. Dan kau menikah dengan pria pilihanmu.
“Kenapa kau bisa begitu bodoh, Bung,” celoteh
seorang pemuda anggota perkumpulan. “Mencintai seseorang namun tak pernah
mengungkapkannya secara langsung? Padahal, bisa saja dia juga cinta dengan kau.
Hati wanita siapa yang bias menebak?”
“Entahlah,” kataku, “seolah-olah semesta
berkonspirasi untuk tak mengijinkan saya menyatakan cinta. Secara langsung.”
“Kau harus menyatakan cinta kepadanya, Bung!” kata
salah seorang pemuda anggota perkumpulan yang lain. “Cepat atau lambat, dia
harus tahu isi hatimu yang sebenarnya. Betapa kau sangat mencintainya.”
“Maksudmu, aku harus menyatakan cinta meskipun dia
sudah punya suami? Bagaimana kalau suaminya tahu? Bisa-bisa saya dibacok,”
kataku.
Semua tertawa.
“Buat dia menyesal, Bung!” teriak seorang anggota
peremuan lelaki dengan nada berapi-api. “Saya kenal Bung sudah lama. Dan bung
pernah cerita tentang beberapa impian Bung yang begitu tinggi. Raihlah impian
Bung yang tinggi dan jadilah orang paling sukses di negeri ini. Kalau perlu
sampai masuk TV. Supaya semua orang tahu, terutama dia, bahwa betapa suksesnya Bung. Orang bilang,
dibalik lelaki yang sukes terdapat mantan yang menyesal.”
“Mantan gundulmu!” sergahku. “Kita bahkan belum
pacaran. Bagaimana bias disebut mantan?”
Kami semua tertawa. Termasuk aku.
“Kalau mantan gebetan, bisa jadi,” kataku. “Itupun kalau dia menganggap saya pernah jadi
gebetannya.”
Kami kembali tertawa.
“Ada baiknya anda ikhlas,” kata anggota perkumpulan
wanita yang lain. “Anda harus menerima ini sebagai takdir dari Tuhan. Ini semua
sudah dituliskan oleh Tuhan dalam kitab Lauhul Mahfuz. Siapa yang bias melawan kehendak Tuhan? Anda
harus menerimanya kalau tak bisa bersamanya. Anda juga harus menerima bahwa
sekarang dia bersuami. Anda doakan supaya dia bahagia dengan kehidupannya yang
baru. Meskipun itu bukan dengan Anda. ”
Aku tersenyum.
“Kata guru spiritualku,” kata lelaki anggota
perkumpulan lain, “setiap jodoh kita sudah ditentutan oleh Tuhan. Dan jodoh
sejati akan dipertemukan di surga kelak. Bung santai saja, kalau tak bisa bersatu
di dunia, kalian bisa bersatu di surga. Insha Allah.”
Aku kembali tersenyum.
“Terima kasih, kalian semua,” kataku di akhir.
“Sama-sama. Kalau ada suatu masalah lain, datanglah
ke perkumpulan kami lagi. Kami siap membantu.”
Dan pertemuan usai.
Lagi-lagi
karena tak ada kerjaaan, selepas keluar ruangan aku menghidupkan rokok dan
menghubungi salah seorang temanku yang kebetulan bekerja sebagai dosen
psikologi di universitas tak terkenal. Kami sering bertemu untuk sekedar
mengobrol dan berbagi keluh kesah.
Dia menceritakan bebannya; umur sudah lebih dari 50
tahun namun belum diangkat menjadi PNS dan belum menerima sertifikasi. Padahal anak-anaknya sudah mulai kuliah dan
biaya hidup lainnya yang tak terkira. Sementara gajinya sungguh
memprihatinkan.
Aku pun menanggapinya dengan nasihat klasik seperti,
“bersabarlah, Tuhan bersama orang yang sabar” dan “Tuhan tak memberi apa yang
kita inginkan, tapi pasti memberi apa yang kita butuhkan” dan sebagainya. Hanya
mengutip firman Tuhan. Karena sejujurnya otakku terlalu mampet saat itu. Heran
juga, orang yang banyak fikiran bisa membacakan ayat-ayat suci.
“Bagaimana denganmu, Luck?” tanyanya kemudian.
Lalu aku menceritakan kisah percintaanku yang pilu.
Dia mendengarkanku dengan seksama dan setelah aku selesai bercerita, dia
tersenyum.
“Kau harus membalasnya!”
“Maksudnya?”
“Kau harus membalasnya,” katanya kembali tersenyum,
“dengan menemukan seorang gadis yang jauh lebih baik dari dia. “
Aku juga ikut-ikutan tersenyum.
“Boleh juga,” kataku. “Tidak rugi aku punya teman
dosen psikologi.”
Kami berdua kemudian tertawa terkekeh-kekeh. Berbincang-bincang lama, berbagi kisah. Dan
berpisah.
Pada akhirnya, semua saran-saran itu beterbatangan
di batok kepalaku selama perjalananku pulang ke rumah.
Sesampainya di kamar aku jadi merenung. Merokok
lagi. Memikirkan kisah cintaku kepadamu.
Apakah aku seorang pengecut? Entahlah. Seingatku aku
sudah selalu berusaha untuk mengungkapkan rasa cintaku kepadamu secara
langsung. Lagipula sudah sejak perkenalan pertama kita aku mencoba agresif:
merayumu, memujimu, menunjukkan rasa
cintaku secara tersirat bahkan mengirimi
kau puisi cinta. Hanya saja seolah Tuhan
tak mengijinkan aku untuk menyampaikannya secara langsung sampai detik ini.
Apakah kau mencintaiku? Aku juga tak tahu. Dan
mungkin hanya kau dan Tuhan yang tahu.
Dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu?
Kenapa aku tak mencoba menemuimu secara langsung
lagi? Aku sudah mencobanya dengan mengirimi kau pesan di instagram dengan
niatan mengajakmu ketemuan dan mengungkapkan rasa cintaku. Kita sempat berkirim
pesan secara singkat. Basa-basi. Dan
lagi-lagi kau mengabaikanku dan seolah memberi isyarat untuk tak mengarapkan
kau lagi.
Sampai kau mengupload fotomu yang sedang
menikah. Kenapa aku tak mengungkapkan
rasa cintaku setelah kau menikah? Takut dibacok suamimu? Bukan. Dulu aku ini
sering jotosan dan selalu jadi pemenang. Hanya rasanya kurang bermoral saja
mengajak seseorang yang sudah bersuami untuk ketemuan dan lalu menyatakan cinta
kepadanya. Kok rasanya nggak tahu diri.
Dan nggak punya harga diri. Hm.. apakah
ini alasan semata atas kepengecutanku? Bisa jadi. Buktinya sampai tulisan ini
kau baca aku masih belum menyatakan cinta kepadamu secara langsung.
Apakah aku
berniat membuatmu menyesal? Sempat terfikir di benakku untuk membuatmu menyesal
karena telah menterlantarkanku (kurasa kebanyakan laki-laki akan terbesit
fikiran untuk sukses dan membuat para mantannya menyesal). Namun fikiran itu
buru-buru kusingkirkan. Sungguh dangkal sekali jika motivasi seseorang untuk
menjadi sukses hanya karena ingin membuat seseorang menyesal.
Apakah aku ikhlas menerima atas semua ini? Ya.
Sekali lagi, ya. Aku ikhlas. Mungkin di awal masa mudaku aku merasa marah
kepada Tuhan karena tak memberiku kesempatan untuk menyatakan cinta kepadamu
secara langsung. Namun semakin bertambahnya umur, semakin bertambahnya
pengalaman hidup, aku menjadi sadar bahwa sesuatu yang terjadi ialah atas
kehendakNya. Aku ini hanya seorang wayang. Dan dalangnya adalah Tuhan. Jadi
terserah Si Dalang mau memainkan hidupku seperti apapun. Wayang bisa apa?
Apakah aku menyesal? Tidak. Secuipun tidak. Semua
yang kulalui, meskipun kenangan yang sangat pahit sekalipun, tak pernah
kusesali. Kujadikan kebodohanku dan kesalahanku di masa yang lalu sebagai
pembelajaran agar aku sebisa mungkin tak mengulanginya lagi. Mengambil hikmah dari
semua peristiwa lampau.
Apakah aku berharap kita dipersatukan di dunia yang
kekal kelak? Aku tak berharap. Iya kalau kau mau bersatu denganku disana, kalau
tidak? Kan lucu.
Aku tak bisa
memilikimu, namun aku bisa mencintaimu.
Itulah kenyataannya. Aku jadi tak begitu memikirkan apakah kau bisa kumili atau tidak. Kau mencintaiku
balik atau tidak. Satu-satunya yang aku fikirkan saat ini adalah, aku
mencintaimu. Titik. Tanpa embel-embel lainnya. Kenapa aku bilang saat ini?
Karena saat kutulis surat ini, memang benar aku masih mencintaimu. Tapi esok?
Mungkin akan berbeda. Aku justru
berharap rasa cintaku kepadamu hilang terhapus oleh waktu. Rasa cintaku kepadamu akan kukubur
dalam-dalam di hatiku. Namun kuakui, aku
akan kesulitan untuk bisa melupakanmu. Karena apa? Semenjak bayi kita diajari
untuk mengingat, bukan melupakan. Dan
lagi, aku tak ada fikiran untuk hilang ingatan.
Apakah aku harus membalasmu? Pasti. Dengan cara, aku
akan menemukan gadis yang lebih baik darimu. Tak mungkin aku terus-teruskan
memendam rasa ini dan menjalani hidup sebatangkara. Aku akan bangkit dan
berjuang menemukan penggantimu. Belahan
jiwaku yang sesungguhnya.
Cerita cintaku
tentangmu terus membanyangiku. Menumpuk di kepala. Dan kurasa aku harus
mencurahkannya. Tiba-tiba aku meraih
laptop dan tanpa alasan yang jelas kuputuskan untuk menulis surat kepadamu yang
sangat panjang ini lewat blog pribadiku. Oya,
agar kau tahu ceritaku dan isi hatiku yang sebenarnya. Paling tidak,
sebelum aku kelak aku menjadi tua dan mati, aku sudah mengungkapkannya kepadamu
bahwa aku sangat mencintaimu. Meskipun malahan, surat ini kutulis lewat blog
dan tak menyampaikannya langsung kepadamu. Tapi aku tak menyesal, karena aku
sudah menuntaskannya disini.
Tak lupa, aku ingin berterima kasih banyak kepadamu
yang hadir dalam hidupku secara tiba-tiba. Berkat kau, aku jadi belajar tentang
cinta. Tak perlu memiki. Tak perlu terbalas, asalkan diungkapkan, itu lebih
dari cukup.
Terima kasih banyak semuanya…
Inilah suratku untukmu. Sebagai hadiah terakhirku
atas cintaku kepadamu. Sebuah karya.
Dan, ijinkan, untuk terakhir kalinya aku
mengucapkan, AKU MENCINTAIMU.[]
Purwodadi, 2021
Malaikat kecil
Melihat bulan mengingatkanku padamu
kau menerangi hatiku, jiwaku yang redup, mati, tertutupi oleh selimut kesepian.
Aku ingin kau mendampingiku. Disisiku.
Ada sisaat suka maupun duka
mengisi kekosongan dalam hidupku.
Bagai bulan dan bumi, daku ingin kita bersama.
Menjalani kehidupan ini dan menjaga ketulusan cinta kita.
Namun kusadar itu hanya khayalan semata.
Kau terlalu tinggi
hingga kutakdapat menyentuhmu.
Daku hanya bisa melihatmu.
Melihat kecantikanmu, keindahanmu.
Dan hanya bisa berharap kau dapat kumiliki.
Kini aku pun sadar kalau daku memang tak pantas
bagimu.
Kau terlalu sempurna dimataku
ibarat langit dan bumi.
Betapa bodonya diriku
yang ingin memilikimu.
Tapi aku takakan pernah menyesal.
Dapat mencintaimu adalah sebuah anugerah bagiku.
Daku dapat mengerti apa arti hidup sebenarnya.
Terima kasih, Tuhan, Kau telah mengirim malaikat kecil
untukku.
"You still in my heart"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar