Ketika merasa penat, saya akan menghisap sebatang rokok dan menghidupkan mesin motor, kemudian berkeliling kota Jogja dengan membawa tumpukan beban hidup di batok kepala; seolah-olah sayalah manusia paling menderita di muka bumi ini. Di jalan malioboro, saya disapa oleh lampu kuning yang menggantung di sepanjang jalan serta ratusan orang membawa senyuman, dan kendaraan bermotor mulai bertebaran sehingga mengakibatkan kemacetan. Tiba-tiba, nampak wanita muda dengan rambut hitam panjang yang tergerai berjalan dan mata saya seolah tersihir olehnya; ia memili paras yang cantik; tubuhnya yang kuning langsat dibungkus kemeja panjang dan celana jeans ketat sehingga lekuk tubuhnya yang sempurna itu terlihat memikat; lalu saya menyadari bahwa hormon lelaki saya mulai bekerja. Celana saya terasa sedit ketat.
Kemudian, saya perhatikan terus wanita muda itu dan tangan kanan saya mengucek-ngucek mata. Apakah ini nyata? Tanya saya dalam hati. Mungkin saya berada di surga karena kabarnya, ketika di surga, kita akan mendapatkan apapun yang kita minta. Saya cubit paha saya dengan keras. Sakit. Ini bukan surga.
Wanita muda itu menenteng tas samping warna biru dan tangan kirinya menggenggam tangan pria berkulit hitam dengan ketampanan memprihatinkan. Penampilanya menyerupai tukang sedot WC. Dia memakai kaos oblong lusuh dan celana pendek kucel yang sobek-sobek serta sandal jepit. Saya tahu, ganteng memang relative; mungkin suatu saat pemuda itu bisa saja menjadi artis setelah pindah kewarganewaraan menjadi penduduk Uganda.
Namun, meskipun mata saya seperti ditusuk linggis dan hati saya ngilu, saya tetap memaksakan diri untuk menyaksikan pasangan itu. Saya pandangi wanita muda yang cantik itu dan mata kami bertatapan. Tiga detik. Dan wanita itu menundukkan kepala. Detik kemudian, giliran pria itu yang memperhatikan saya. Dia memperhatikan saya dari ujung rambut sampai kaki, lalu dengan tatapan tajam dia menatap saya. Setelah mengangkat bahu, pria itu kembali menatap saya dan tersenyum lebar. Seolah-olah, senyum itu berkata, “Hidup itu pedih, Jendral!”
Semenjak saat itu, saya selalu mengumpat ketika melihat iklan sedot WC.[]
Kemudian, saya perhatikan terus wanita muda itu dan tangan kanan saya mengucek-ngucek mata. Apakah ini nyata? Tanya saya dalam hati. Mungkin saya berada di surga karena kabarnya, ketika di surga, kita akan mendapatkan apapun yang kita minta. Saya cubit paha saya dengan keras. Sakit. Ini bukan surga.
Wanita muda itu menenteng tas samping warna biru dan tangan kirinya menggenggam tangan pria berkulit hitam dengan ketampanan memprihatinkan. Penampilanya menyerupai tukang sedot WC. Dia memakai kaos oblong lusuh dan celana pendek kucel yang sobek-sobek serta sandal jepit. Saya tahu, ganteng memang relative; mungkin suatu saat pemuda itu bisa saja menjadi artis setelah pindah kewarganewaraan menjadi penduduk Uganda.
Namun, meskipun mata saya seperti ditusuk linggis dan hati saya ngilu, saya tetap memaksakan diri untuk menyaksikan pasangan itu. Saya pandangi wanita muda yang cantik itu dan mata kami bertatapan. Tiga detik. Dan wanita itu menundukkan kepala. Detik kemudian, giliran pria itu yang memperhatikan saya. Dia memperhatikan saya dari ujung rambut sampai kaki, lalu dengan tatapan tajam dia menatap saya. Setelah mengangkat bahu, pria itu kembali menatap saya dan tersenyum lebar. Seolah-olah, senyum itu berkata, “Hidup itu pedih, Jendral!”
Semenjak saat itu, saya selalu mengumpat ketika melihat iklan sedot WC.[]
Lucu judul ceritanya
BalasHapus