30 Oktober 2014

Persembahan Untuk Hari Sumpah Pemuda

Sebulan yang lalu, pada mata kuliah Struktur Kalimat Bahasa Indonesia, dosen gue yang kepalanya mengalami kebotakan akut memberi tugas kepada mahasiswa untuk membuat tulisan dalam waktu setengah jam. Dan beginilah jadinya:



            BELAJAR DARI BULE


Sebulan yang lalu batin saya dibuat tertohok oleh mahasiswa asing yang berasal dari Korea. Peristiwa itu bermula ketika saya mengikuti mata kuliah Ketrampilan Wicara, dimana setiap mahasiswa diharuskan menguasai seni mengolah kata. Dosen yang baru saja memasuki kelas, dengan pakaian yang serba rapi dan tanpa membawa buku pegangan seperti dosen lain, berdiri di depan deretan bangku yang sudah terisi oleh puluhan mahasiswa. Ia kemudian melontarkan senyum, berkacak pinggang dan mulai membuka perkuliahan. “Selamat pagi, teman-teman. Semua yang ada di kelas ini akan saya beri nilai A.” Kalimat itu membuat semua mahasiswa bersorak dengan riuh, seolah-olah Indonesia baru saja memenangi gelar Piala Dunia. Dosen yang menyasikan peristiwa itu menggeleng, kemudian melanjutkan kalimatnya. “Asalkan, kalian semua berani untuk berbicara. Anda tahu, mencoba adalah tolak ukur keberanian. Ada yang ingin maju ke depan untuk mencoba berbicara? Ayoh, silahkan maju!”

Kelas yang tadinya ramai seperti pasar malam, sekarang mendadak hening menyerupai kuburan. Tanpa perlu dikomando, seluruh mahasiswa menundukkan kepala. Keheningan ini berlangsung sekitar lima belas menit, tanpa ada satu pun makhluk hidup yang mengeluarkan suara. “Mencoba adalah tolak ukur keberanian,” dosen mengulangi kalimatnya. “Tanpa pernah mencoba sesuatu, seseorang tak akan pernah mendapatkan sesuatu. Tidak adakah di antara teman-teman yang mau mencoba berbicara di depan?”

Lagi-lagi kelas menjadi hening dan semua mahasiswa masih terkubur dengan kediamannya.  Dosen saya memancarkan raut muka yang resah, mata beliau sedikit berkaca-kaca. Ia memutarkan kepalanya ke seluruh penjuru kelas dan tatapan mata beliau terhenti pada seorang mahasiswa asing. “Kamu mau maju ke depan untuk berbicara?” tanya dosen. Mahasiswa asing itu mengangguk, kemudian melenggang ke depan kelas.

6 Oktober 2014

CERITA BUAT AHMAD


Ada kalanya dalam hidup, kau akan muak dengan rasa cinta dan bertanya-tanya kepada Tuhan kenapa Dia menganugerahkan cinta kepada manusia. Seperti menggenggam pisau, itulah yang kurasakan saat ini. Semakin erat menggenggam, samakin sering juga aku tertikam. Semakin aku bertahan, rasa sakit yang berdatangan semakin tak tertahankan dan semakin banyak juga darah yang bercucuran. Ya, tumpahan rasa sayang yang berujung pada kebodohan. Cinta yang saling berbalas dengan luka. Pelan-pelan, rasa cinta itu berubah laksana racun yang mengaliri seluruh aliran darahku, lalu menuntunku dalam pelukan kematian.

Aku bertemu gadis itu delapan bulan yang lalu pada sebuah acara penyambutan mahasiswa baru di kampusku. Kau tahu, aku ini salah satu pemuda yang tergolong culun. Pasti kau bertanya-tanya, kenapa aku disebut culun oleh semua temanku. Sebenarnya aku malu menceritakan ini, tapi apa daya, kau pasti sudah penasaran dengan ceritaku; seumur hidup aku belum pernah pacaran, bahkan aku belum pernah memegang tangan wanita (kecuali tangan ibuk-ibuk penjual nasi goreng samping  kampus sewaktu ia menyerahkan uang kembalian). Bapakku berprofesi sebagai Bupati di  kota C., sedangkan ibuku berprofesi sebagai guru agama. Bisa kau tebak, keluargaku adalah panutan bagi warga di daerahku. Golongan ningrat. Dan, bisa ditebak pula, orang tuaku selalu mendidikku dengan keras, sesuai dengan ajaran agama. Menurut mereka pacaran adalah satu satu hal yang  mendekati zinah dan karena itulah mereka melarangku untuk pacaran.

Tapi aku hanyalah pemuda biasa yang normal. Bukan seorang homoseksual. Sejujurnya hormon lelakiku selalu memuncak ketika melihat video porno. Air lirku menetes ketika melihat payudara yang menyembul dari dada kaum hawa. Hatiku berdegup dengan kencang ketika melihat gadis yang cantik. Dan hal yang paling tak bisa kuhindari adalah, aliran darahku yang berdesir dengan lembut ketika melihat wanita berkerudung, seolah-olah kepalaku baru saja diguyur dengan es cendol. Menentramkan hati. Menentramkan jiwa. Menentramkan fikiran. Bagiku, gadis berkerudung merupakan sosok istri idaman, pasangan hidup yang bisa menemani baik dunia maupun akherat. Pasangan yang bisa menjembataniku menuju kedamaian sejati—Tuhan. Dan, seperti itulah hal yang pertama kali kurasakan ketika melihat gadis kecil itu.