Ngeliatin mahasiswi mondar –mandir itu salah satu hal yang paling
menyejukkan hati setelah ngopi. Siang ini, gue duduk termenung di sekitar
kampus sambil clingukan kayak orang mau maling helm. Siapa tahu ketemu jodoh.
Sayang sejuta sayang, bukannya ketemu sama cewek cantik. Yang lewat malah
cewek segede gajah, cewek berkerudung
yang panjangnya nggak kalah sama tembok China, para mahasiswa berjenggot
panjang ala syech. Yang lebih parah, banyak mahasiswa cowok yang
kebencong-bencongan lewat. Ya, kampus gue emang memprihatinkan.
Beberapa saat kemudian, dari kejauhan ada cewek yang nyamperin gue, sebut
saja Bunga.
“Hey, Lucky !” sapa Bunga
“Hey, juga” jawab gue singkat
“Eh, blog kamu nggak ada postingan baru?”
“HA?!” gue mangap.
Gue kaget sekaget-kagetnya, melebihi kagetnya orang kaget. Cewek kayak
bunga ternyata tahu kalau gue punya blog. Padahal, gue sama sekali nggak
nggembar-nggemborkan blog gue ini. Disamping isinya yang mungkin sesat, tujuan
utama gue bikin emang buat nampung hobi gue nulis aja.
Gue yang saat itu melongo, kembali dikagetkan oleh ucapan Bunga, “aku suka
baca blog kamu, lho?”
“Weh, masak?”
“Iya, bagus kok. Kayaknya kamu itu bakat nulis, deh. Jadi iri sama kamu.
Aku juga pengen nulis gitu sebenernya.”
“Nulis mah tinggal nulis aja”
Bunga cuma cengar-cengir. “aku mau fokus kuliah aja, deh”
“Emang Lucky punya blog?” salah satu temennya Bunga mulai nyamber
“Punya, kok. Bagus lho, isinya sih hal-hal yang nggak waras. Sama kayak
yang punya” jawab Bunga
“Emang namanya apa?” tanya temen Bunga
“Pahlawan Bersempak. Udah kayak web bokep aja!” sahut Bunga
Bunga tertawa terpingkal-pingkal, sementara temen Bunga malah melongo.
Terlihat jelas kalau temen Bunga kebingungan, yang lucu itu bagian mananya?
“Eh, eh” Bunga menepuk pundak gue, “kok bisa dapet domain dot com, sih?”
“Nyolong dipasar!” bentar gue, “beli, lah”
Bunga tertawa terpingkal-pingkal untuk kedua kalinya. Gue curiga, Bunga
ini terkena gangguan jiwa. Apapun yang
gue ucapin, apapun yang dia ucapin, pasti ketawa.
Bunga garuk-garuk kepala mirip monyet. Dia lalu natap gue, “kamu ngapain sih
nge-blog? Mana pake acara beli domain segala?”
“Kesenangan aja” jawab gue
“Emang kamu dapet duit berapa dari nge-blog? Dapet bayaran berapa?”
“Nggak ada. “
“Sepeser pun?”
“Iya.”
Bunga menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kurang kerjaan banget, Luck. Ngapain kamu ngelakuin sesuatu kalau nggak
dapet duit. Buang-buang waktu aja”
Gue membalas ucapan bunga dengan senyuman.
Gue masih nggak ngerti dengan pola fikir kayak Bunga ini. Apapun pasti disangkutin sama duit. Gue rasa,
kelak orang kayak Bunga bakal jadi koruptor. Gimana enggak, hidupnya hina
banget. Apa yang dikerjain di dunia itu bisa dibeli pake uang.
Menurut gue, nggak semuanya itu bisa dinilai dari materi. Salah satu
contohnya adalah kepuasan batin. Banyak banget temen gue yang bertanya, kenapa
gue begitu idiot. Tetep aja nulis padahal nggak dikaji sepeserpun.
Gue cuma tersenyum.
Gue nggak
terlalu mempedulikan apakah gue bakat nulis apa enggak. Satu hal yang membuat
gue menulis, karena gue suka nulis. Titik.
Setiap orang pasti punya kesenangan tersendiri. Misalnya; mancing,
membaca, berhitung, menulis, nyolong, nyanyi.
Itu yang namanya hobi, itu yang namanya kesenangan. Dan ternyata kesenangan itu nggak bisa dibeli
pake duit.
Kalau emang kesenangan itu bisa dibeli pake duit, seluruh orang kaya di
dunia nggak bakal melalui hal yang dinamakan sedih. Buktinya? nggak kaya, nggak miskin, semua
orang pernah sedih. Itu bukti betapa
Tuhan Maha Adil. Itu bukti kalau uang bukanlah alat yang bisa digunakan buat
membeli apapun.
Gue prihatin aja sama orang yang selalu ngaitin kesenanggan sama materi.
Misalkan kita hobi mancing, apakah kalau mancing mesti dapet duit? Terus
essensi kita mancing itu apa? Sebegitu rendahkah kesenangan kita sampai bisa
dibeli dengan duit?
Gue selalu iri dengan seniman, gue iri dengan orang yang selalu berkarya.
Apapun yang mereka lakukan itu karena mereka senang. Bagi mereka, menghasilkan suatu karya itu jauh lebih
bahagia dibandingkan dikasih duit berjuta-juta dan nggak boleh berkarya.
Terlepas dari karya mereka yang laku dijual, itu beda cerita. Paling enggak
mereka udah membuat sesuatu yang mereka inginkan. Soal laku atau enggak, itu
urusan Yang Diatas. Hubungannya sama
Rejeki.
Beda cerita dengan pegawai. Sebagian besar dari mereka itu bekerja karena
gaji. Yang ada di fikiran mereka itu gaji, gaji, dan gaji. Gue sempet
berbincang dengan salah satu temen gue yang statusnya PNS, dia itu suka banget
sama yang namanya bermusik. Setelah gue tanya, kenapa kok dia lebih pilih PNS
daripada jadi seniman, dia cengar-cengir sambil jawab, “enakan jadi PNS, dapet
gaji. Kalau aku jadi seniman, aku nggak bakal punya duit, nggak bisa makan!”
Gue membalas ucapan ucapan temen gue dengan senyuman, meskipun dalam hati
terpingkal-pingkal. Kalau emang kita percaya Tuhan Yang Maha Memberi Rejeki,
kenapa harus takut nggak bisa makan hanya karena mengikuti passion kita? Sebegitu hinakah passion kita sampai-sampai banting setir jadi pegawai karena
takut nggak bisa makan?
Menurut gue, orang yang takut nggak bisa makan itu secara tidak langsung
meragukan kebesaran Tuhan Yang Maha Memberi Rejeki. Setiap Rejeki itu udah diatur, kalau emang
kita nggak bisa makan dan mati, itu udah jalan dari Yang Maha Kuasa. Bukan
karena passion kita. Gue pernah debat dengan guru agama gue waktu SMA, dengan
lantang beliau berkata, “Rejeki itu adalah sesuatu yang membuat kita bisa
hidup. Dan itu udah diatur oleh Tuhan.
Rejeki yang berlebih itu dinamakan kekayaan. Nah, kekayaan itu sendiri
bergantung dari usaha manusia ketika di dunia!”
Tapi itu terserah, setiap orang punya impian masing-masing. Mau jadi
pegawai, mau jadi seniman, mau jadi pengemis, pengangguran, atau apalah. Itu
hak setiap individu masing-masing.
Ada satu alasan paling mendasar kenapa gue suka menulis, kenapa gue suka
berkarya. Menulis adalah bekerja untuk keabadiaan. Gue menyadari kalau umur gue
di dunia ini ada batasnya, gue nggak akan pernah bisa hidup selamanya di dunia.
Karena suatu saat gue pasti game over,
suatu saat masa aktif gue di dunia bakal berakhir, mau nggak mau gue mesti
memenuhi panggilan Sang Khalik.
Ketika gue menulis atau nge-blog. Teriakan gue, suara gue, kisah gue,
semuanya akan abadi. Akan abadi, sampai
kelak. Kelak dikemudian hari.
Mungkin, bacotan gue diatas dapet memberi suatu pembelaan : “passion itu
nggak bisa dinilai dari materi, nyet!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar