30 November 2013

Terlanjur Sayang


                                   Terlanjur Sayang


Retno  mengendarai sepeda motor sendirian menuju
rumah kekasihnya. Sepanjang perjalanan ia menahan isah tangis.  Tampang yang lusuh, mata lebam karena seharian menangis. Keadaan Retno saat ini benar-benar memprihatinkan.

Sesampainya disana, Retno disambut seorang pemuda berperawakan kekar seperti preman pasar, rambut yang cepak, lengkap dengan kacamata. Kalian salah, pemuda itu bukanlah Andika Kangen Band, melainkan kekasih Retno, “kamu mau apa kesini?!”  tanya pemuda itu pada Retno

“aku kangen kamu, sayang!” Retno memeluk erat tubuh pemuda itu

Pemuda itu langsung melepas pelukan Retno, ia mendorong tubuh Retno sampai terjatuh di pinggir jalan, “kan kemaren udah ketemu! Aku lagi sibuk!”

“aku tuh cuma pengen tahu keadaan kamu, sayang?”  Retno mencoba bangkit, ia melangkah menghampiri pemuda itu, “kamu udah seminggu nggak ngasih kabar, di sms nggak bales, aku telfon nggak diangkat, aku ajak ketemuan nggak bisa”

“kamu itu, ya?”  pemuda itu mengangkat tangannya, menunjuk ibu jarinya tepat di wajah Retno, “aku lagi sibuk! Gak usah ganggu aku lagi !”

“kan aku kekasih kamu, sayang?” Retno  menatap mata pemuda itu dalam-dalam

“berisik!” bentak pemuda itu, “ini tuh udah sore, aku mau kuliah dulu !”

“T-tapi, sayang? Aku masih pengen ketemu”

Tanpa sepatah kata-pun pemuda itu meninggalkan Retno.

Retno terdiam, dia tak tahu harus berbuat apa. Dia hanyalah seorang wanita lemah yang selalu berusaha tegar.  Dia selalu berusaha untuk mengerti kekasihnya. Perhatian, kasih sayang, cinta, hampir semua diberikan kepada kekasihnya. Tapi sialnya, kekasihnya membutakan diri akan kehadiran Retno.

Tak terasa, matahari mulai menghilang dari paraduannya. Hari yang cerah berganti dengan malam yang sangat gelap, segenap hati Retno malam ini. “aduh, ini malem minggu, ya?” gumam Retno kala itu.

Ya, ini adalah malam minggu. Malam dimana kebanyakan muda-mudi bersua dengan pasangan hati mereka. Tapi, Retno seakan menepis teori ini. Setiap malam Minggu, Retno malah nangis di pojokan kamar, nulis status tragis di twitter maupun facebook, sesekali teriak-teriak sendiri mirip orang kesurupan. Malam Minggu bagaikan neraka dimata Retno.

Akhirnya, Retno memutuskan untuk pulang ke kos-nya. Ini adalah malam Minggu terburuk dalam hidup Retno. Sangat buruk.

                                               ***

        Keesokan harinya, Retno mendapat pesan singkat dari seorang pemuda, Bejo namanya. Betapa senangnya Retno saat itu. Bejo bagaikan candu dalam kehidupan Retno. Ketika Retno galau, ia sering berbagi kisah dengan si Bejo ini. Hampir seluruh waktu yang dimiliki Retno kebanyakan malah tersita untuk Bejo, melebihi kekasihnya sendiri.

Bejo yang terkenal konyol sangat jago membuat Retno tertawa.  Candaan Bejo, ulah jahil Bejo, omongan Bejo yang lucu, membuat Retno lupa sejenak akan berbagai masalah kehidupan.

Sekitar pukul tujuh malam, mereka berdua berencana untuk ketemuan di sebuah warung kopi terkenal di daerah Yogyakarta.

Dengan setia, Bejo sudah duduk di sebuah meja sambil memangku laptop biru kesayangan-nya. Beberapa menit menunggu, ternyata Retno belum datang juga. Bejo merogoh pemetik api yang terdapat di saku, meraih sebatang rokok, lalu menghisapnya.

Kepulan asap rokok yang bertebaran di udara membuat Bejo sedikit tenang akan beban kehidupan yang dipikulnya. Bejo bukanlah seorang perokok, keadaanlah yang memaksa Bejo untuk merokok. Ketika sedang penat, dia lebih memilih untuk menghisap belasan batang rokok sembari bercumbu dengan laptop biru yang dia punya.

Kuliah yang amburadul, IPK jeblok, ibunya yang sakit di rumah, ditambah lagi akhir-akhir ini berbagai naskah cerpen dan artikel-nya  ditolak oleh media massa. Berbagai beban ini membuat batin Bejo tertampar.

 Dari kejauhan terlihat seorang wanita berkerudung berjalan mengampiri Bejo, “hey !” teriak wanita itu

“oh, Retno”

 Bejo cuma bisa melongo kala itu. Perhatian-nya tersita dengan sosok  Retno.  Kerudung pink yang dipakasi Retno, gaya berjalan yang anggun, senyuman Retno yang manis, ditambah lagi paras Retno yang menenangkan hati, ini semua bener-bener membuat Bejo mabuk kepayang, “sialan, ternyata Retno cantik juga, ya?” gumam Bejo

“heh?!  Kamu ngomong apa, Jo?” sahut Retno

“nggg… nganu” omongan Bejo sedikit terbatah-batah, “NG-nggak papa kok, hehehe”

“owalah, tak kira ada apa” Retno membalas ucapan Bejo dengan senyum manisnya “ada apa, sih? Kok tumben mendadak aku nongkrong?”

“pengen ngobrol-ngobrol aja sama kamu” cetus Bejo

“wuu..”  Retno menggerutu, “kirain ada apa!”

“eh, bentar, bentar!” Bejo merogoh tas yang dibawanya, mengambil sebuah kotak kecil, lalu menyerahkannya kepada Retno  “ini buat kamu”

“ha?” Retno kaget bukan kepalang, “ini apaan, Jo?”

“kamu inget, nggak?”  Bejo tersenyum, “aku kan dulu pernah janji mau ngasih kado sama kamu”

“kado apa, sih?” Retno mulai bingung

“itu lho,” Bejo menghela nafas sejenak, “kan pas kamu ulang tahun aku janji mau ngasih kamu hadiah”

“ya ampun!”  Retno langsung memeluk Bejo saat itu juga, “ternyata kamu masih inget. Makasih ya, Jo!”

Bejo cuma bisa tediam. Wajahnya berubah mirip lampu lalu lintas : merah, kuning, hijau.

Bejo memang bukan pria romantis, tapi Bejo pria yang penuh kejutan. Ini bukanlah pertama kalinya dia memberi kejutan kepada wanita.  Bejo seringkali memberi kejutan pada mantan kekasihnya, dari hal yang kurang waras sampai hal yang terkesan gila. 

“aku buka sekarang, boleh?” tanya Retno

“jangan !” Bejo nyamber, “nanti aja kalau sudah sampai kos”

“iyadeh” jawab Retno sambil tersenyum ke arah Bejo

Selang beberapa saat, seorang wanita lewat. Wanita itu berkacamata, rambut terurai, wajah yang cantik,  kulit putih langsat, lengkap dengan kemeja yang dilinting. Namanya juga pria normal, matanya melotot memandangi wanita itu.  Eh, si Retno malah dikacangin.

“heh?!”  Retno menggerak-gerakan tangannya di depan mata Bejo, “liat apa kamu?”

“lagi melamun aja, nih!” Bejo nyengir kuda

“kamu tahu, nggak?”  Retno menatap mata Bejo dalam-dalam, “kata pak ustad, orang yang nggak berkerudung itu nanti kalau di neraka tangan-nya disilet-silet, terus dibakar,”

“iya, po?!”  Bejo mangap

“iyalah”  jawab Retno singkat, “kan udah kewajiban cewek memakai jilbab. Menutupi aurot, Jo!”

“oo”  Bejo mangap lagi, “aku nggak terlalu ngerti soal agama”

“tahumu itu apa, Jo!” Retno tertawa terbahak-bahak

“aku tahu tentang kamu. Meskipun kamu nggak mau tahu soal aku” tegas Bejo

“issshh, gembel !”  Retno memalingkan muka, “kamu sukanya gombalin aku terus”

“aku serius“ giliran Bejo yang menatap mata Retno dalam-dalam

“apaan sih, canda mulu!” Retno mulai mengalihkan pembicaraan. Dia melihat jam tangan yang dipakainya di kanan, “eh, Jo. Aku mau sholat dulu, nih? Musholla-nya mana?”

“hemmm” Bejo garuk-garuk kepala, “tuh, kamu lurus aja. Itu ada musholla kok”

“kamu nggak sholat? ”  ajak Retno

“kamu duluan aja” sahut Bejo, “nanti aku nyusul”

Perlahan tapi pasti, Retno mulai berjalan ke musholla untuk sholat.  Bejo mengambil bungkus rokok yang tergeletak di meja, lalu menghisapnya. Inilah bejo, ngakunya ISLAM tapi kalau diajak sholat malah nggak mau. Tak khayal kalau kebanyakan orang mengiranya Atheis (orang yang tidak percaya Tuhan).

Sekali lagi, inilah bedanya Bejo dengan pria lainnya. Sebenernya, kalau dikosan dia juga beribadah lho, bahkan setiap hari dia bersimpu kepada Tuhan. Bejo cuma nggak mau aja beribadah karena orang lain, satu-satu alasan Bejo beribadah adalah untuk dirinya sendiri dan untuk Tuhan. Bejo nggak mau seperti orang lain yang selalu beribadah gunanya untuk pamer biar dibilang mereka itu sholeh.  Bejo nggak mau menodai kesucian beribadah demi mencari muka dihadapan semua orang, bahkan dihadapan orang yang disuka sekalipun. 

Sudah hampir seperempat jam tak ada kabar dari Retno. Bejo penasaran juga, dia berjalan ke arah musholla, tempat dimana Retno ijin mau sholat.

Bejo kaget setengah mati.  Retno duduk di dalam musholla sambil memangku al-quran. Ditempat seperti ini Retno masih menyempatkan diri untuk membaca ayat-ayat suci.

“ahhh, andai aja Retno nggak punya pacar! . Pasti udah aku jadiin pendamping hidupku” gumam Bejo saat itu

Karena tak ingin mengganggu Retno, Bejo memutuskan untuk kembali ke meja yang dipesannya sambil menghisap beberapa batang rokok.

Sampai akhirnya Retno datang, dia berjalan ke arah Bejo, lalu duduk, “eh, Jo. Rokokmu dimatiin dong?”

“kan kamu tahu sendiri? kalau aku orang-nya ngerokok” jawab Bejo dengan santainya. Bukannya dimatiin, dia malah terus-terusan menghisap batang 
rokok yang dipegang-nya, “emang kamu nggak suka sama cowok perokok, ya?”

“aku nggak suka sama asapnya!” Retno terus menghindari kepulan asap yang bertebaran di udara seraya menutup hidungnya, “kamu ngapain sih ngerokok?”

“kan ngerokok nggak dosa. Toh Tuhan nggak melarang hambanya buat ngerokok. Iya, kan?” sahut Bejo

“ohh. Gitu, ya?” tanpa sepengetahuan Bejo, Retno merebut pematik apik lengkap dengan bungkus rokok kecil yang tergeletak di meja, “YES ! mulai detik ini jangan ngerokok. Itu batang terakhir, ya? Kan merokok itu ngerusak kesehatan, Jo. Aku nggak mau kamu sakit gara-gara rokok!”

Bejo mencoba merebut kembali pemantik api dan ternyata gagal.  Bejo terpaksa menuruti perintah Retno, “iyadeh, ini batang terakhirku, kok?”  karena merasa nggak enak melihat Retno yang tidak nyaman dengan kepulan asap rokok, seketika Bejo langsung melempar sebatang rokok yang dipegang, lalu menginjaknya

“nah, gitu dong” Retno tersenyum ke arah Bejo sambil menyerahkan pemantik api beserta bungkus rokok, “rokok-nya dikurangi, ya?’’

“hehe”  Bejo cuma bisa tersenyum, dia seakan nggak mampu menjawab ucapan Retno

Setelah memesan minuman, mereka berdua melanjuntkan perbincangan. Ngobrol tentang kuliah, kehidupan, de el el. Disela sela perbincangan Bejo juga sering bercanda. Sesekali jahil menyubit Retno. Udah kayak pilem-pilem India, deh.

“kamu akhir-akhir ini nggak pernah masuk kuliah, kenapa? Aku jarang banget lihat kamu ngampus, lho?” tanya Retno

“nggak papa kok,  males kuliah aja”

“oh, beneran gara-gara males doang?” sahut Retno, “jangan mbolosan terus!”
“beneran kok. 

Emang kenapa, sih?” jawab Bejo

“emm, aku nggak pengen aja kamu mbolosan. Kalau mau mbolos bilang aku dulu”

“terus?”  Bejo menatap mata Retno dalam-dalam

“jadi aku tahu kalau kamu mbolos. Aku khawatir sama kamu, aku nggak pengen kamu kenapa-napa”  mata Retno mulai berkaca-kaca

“ha?” Bejo mangap, “iyadeh. Besok kalau aku mau mbolos kuliah bilang kamu dulu”

“nah, gitu dong. Pokoknya mulai besok kamu nggak boleh mbolos lagi, nggak boleh!”

“lah? Kenapa kalau aku mbolos?” Bejo mulai kebingungan dengan Retno yang sebegitu perhatian kepadanya

“pokoknya kamu nggak boleh mbolosan! Aku tuh peduli sama kamu!” Retno mulai histeris, “aku nggak mau kuliahmu hancur, Jo! aku nggak mau! Kamu kuliah kok mbolosan terus, mau jadi apa?!”

Bejo tertegun, dia bener-bener nggak nyangka Retno peduli dengan kuliah-nya, padahal bejo aja seringkali menelantarkan kuliah, “iyadeh”  Bejo tersenyum kearah Retno, “betewe, tadi kamu kok keliatan sedih gitu pas baru dateng?”

“hemm”  Retno tertunduk, “aku nggak papa, kok” 

“halah, bohong! aku tuh tahu kamu kayak gimana, cerita aja”

“seperti biasa, pacarku seminggu ini nggak bisa dihubungi. Kemaren sempet tak samperin ke rumah-nya, malah aku ditinggal pergi” Retno mulai meneteskan air mata

“lha, kok kamu masih bertahan, sih?”

“aku tuh sayang dia. Aku bener-bener sayang sama dia. Aku udah terlanjur sayang, Jo”

“terlanjur sayang?” sahut Bejo, “bukankah yang namanya sayang itu bisa hilang?”

“tapi aku tuh beneran sayang sama dia! aku udah terlanjur sayang! kamu tuh nggak akan ngerti!” bentak Retno

“tapi rasanya nggak enak, kan?” cetus Bejo, “aku pernah sayang sama seseorang, tapi orangnya malah membalas kasih sayangku dengan pengkhianatan. Kenapa kamu nggak mencoba menjalin hubungan dengan orang lain aja? Masih banyak orang yang baik diluar sana, kan?”

“Aku udah terlanjur sayang sama dia. Aku bener-bener sayang dia, Jo”

“ohh” Bejo terdiam

Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 10 malam. Sebenernya Retno sangat menikmati perbincangan dengan bejo, tapi karena udah terlalu malam dia-pun memutuskan untuk pulang duluan, “Bejo, aku mau pulang dulu, ya?”

“yah…” Bejo menggerutu, “kan baru jam 10?”

 “aku enggak enak sama bapak kost, Jo. Kamu tahu sendiri kalau jam sepuluh kosku udah ditutup?”

“yaudah, deh. Hati-hati ya, kalau udah sampai kost sms” cetus Bejo

“iya, Jo. Kamu pulangnya jangan malem-malem, besok kan kuliah? Aku pulang dulu”  jawab Retno sambil tersenyum ke arah Bejo

“iya”

Akhirnya mereka berdua berpisah. Retno mulai berjalan ke arah parkiran motor, sedangkan Bejo masih bertahan di warung kopi. Bejo duduk termenung sambil ngotak-ngatik laptop biru kepunyaan-nya.

Sebelum pulang, dari kejauhan  Retno menoleh ke arah Bejo sambil bergumam,  “dasar, susah dibilangin! Baru aja aku tinggal sebentar, udah ngidupin rokok lagi. Tapi, kalau diliat-liat Bejo kok cakep ya, keren juga, baik lagi,  mana orang-nya humoris gitu. Ahh… Bejo, Bejo. Andai aja aku nggak punya pacar, pasti kamu udah aku jadiin pendamping hidupku”

                                               ***


Seminggu setelah pertemuan itu…..

 Bejo masih berkutat dengan laptop biru yang ia miliki. Tapi malam ini sungguh berbeda, dia sama sekali tidak konsen untuk menulis. Fikirannya bener-bener kacau. Bejo baru menyadari, membohongi diri sendiri ternyata lebih menyiksa daripada membohongi orang lain.

Sekeras apapun Bejo mengelak, semakin sadar juga kalau ia sangat suka sama Retno. Bejo naksir sama Retno. Bejo bener-bener nggak ikhlas, wanita sebaik Retno mesti bersanding dengan seorang pria yang bajingan.

Bejo menyingkirkan laptop, mengambil beberapa batang rokok, lalu menghisapnya. Putung rokok yang bertebaran di lantai, kamar yang acak-acakan, kepulan asap yang memenuhi seisi kamar, ditambah lagi tampang Bejo yang lusuh karena belum mandi.  Keadaan Bejo bener-bener nggak karuan.

Seusai adzan magrib, Bejo memutuskan untuk ke kos-nya Retno. Ia bener-bener nggak tahan dengan semua ini. Memendam perasaan itu jauh menyakitkan daripada menggenggam pisau.  Tekad Bejo sudah bulat, malam ini juga ia ingin mengungkapkan perasaannya pada Retno.

 Bejo langsung mengirim pesan ke Retno lalu menuju ke depan kos Retno.  Dengan setia Bejo menunggu Retno keluar dari kamar kos sembari menghisap rokok.

“Bejo!” dari kejauhan Retno datang menghampiri Bejo yang saat itu duduk di atas motor

“iya, Retno” jawab bejo

“ada apaan, sih? Kok kamu mendadak ke kosku?”  tanya Retno

“aku kepikiran terus sama kamu. Aku kangen kamu” jawab Bejo seraya tersenyum ke arah Retno

“aku juga kangen kamu, Jo” sahut Retno

“aku serius, aku bener-bener kangen kamu!” Bejo menatap mata Retno dalam-dalam

“aku ngerti kok, aku juga kangen kamu”

“andai aja kamu nggak punya pacar, pasti udah aku jadiin pendamping hidupku”  Bejo membuang batang rokok yang dipegangnya. Dia  meraih tangan Retno untuk digenggam

“kamu apa-apaan, sih?!” Retno melepas genggaman Bejo, “aku nggak bisa, Bejo”

“kenapa?!” Bejo kembali menatap Retno, “jawab aku,  tatap mata aku!”

“aku nggak bisa, Jo!” Retno memalingkan mukanya dari Bejo, dia bener-bener tak mampu menatap Bejo, “aku tuh nggak bakal bisa bersatu sama kamu, nggak bakal bisa”

“kenapa?!”  tegas Bejo, “apa karena aku perokok? Kamu nggak suka sama perokok? Aku siap berhenti ngerokok demi kamu,  aku bakal berusaha buat berhenti merokok, demi kamu!”

“kamu itu pria baik. Aku tahu itu, kamu terlalu baik buat aku, Jo” mata Retno mulai berkaca-kaca

“itu alasan paling klasik, ngomong aja kamu nggak suka sama aku? Kamu nggak ada perasaan sama aku? Iya, kan?!”

“KAMU TUH NGGAK NGERTI !”  Retno mulai histeris, “aku tuh udah punya pacar!”

“T-tapi pacar kamu itu nggak pernah ngertiin kamu, nggak pernah ngurusi kamu, dia membutakan mata buat kamu”  Bejo tak henti-hentinya untuk meyakinkan Retno, “ada aku disini yang selalu ada buat kamu, ada aku disini yang selalu berusaha membuat kamu tersenyum, tertawa lebar, bahagia. Ada aku yang selalu berusaha membuat hidupmu lebih berwarna, Ret!”

“aku tuh udah terlanjur sayang sama dia” Retno mulai meneteskan air mata,

“terlanjur sayang? Hanya itu alasanmu bertahan?” tanya Bejo

“iya!” tegas Retno, “aku nggak bisa, Jo. Aku nggak akan pernah bisa”  Retno berjalan menjauh dari Bejo

Bejo berusaha untuk mengerjar Retno, tapi keputusan Retno sudah bulat, Retno hanya bisa diam seribu bahasa tanpa menggubris ucapan Bejo.  Bejo tak ingin terlalu memaksakan perasaanya. Bejo sadar, mungkin selama ini Retno tak pernah menghadirkan rasa cinta terhadapnya.

Bejo hanya bisa terdiam. Kini kata-kata tak ada artinya, hanya luka yang berbicara.

                                       ***

Beberapa hari setelah peristiwa penolakan…

Bejo saat itu baru saja selesai kuliah. Dia duduk termenung di sebuah bangku depan kampus sambil menghisap beberapa batang rokok.

Bejo masih tidak bisa melupakan peristiwa itu, hampir beberapa jam Bejo cuma duduk termenung sambil flashback seluruh kenangan ketika bersama Retno. Semakin Bejo mengelak, semakin sadar juga kalau bejo masih menyukai Retno.

Hal yang tak terduga terjadi. Tiba-tiba datang seorang wanita berkerudung menghampiri Bejo, “hey, kamu ngapain duduk?”

“nggak papa kok, Sis”  jawab Bejo. Wanita itu adalah Siska, teman kuliah Bejo.

“lagi galau, ya?”  tanya Siska

“kagak, aku lagi pengen merenung aja” Bejo tersenyum ke arah Siska, senyum yang terkesan dipaksakan

“kenapa, sih? Pasti soal Retno?”

“iya” Bejo tertunduk, “kemaren aku sempet ngomong sama dia. Sialnya, dia lebih milih pacarnya yang bajingan!”

“udah deh”  Siska menepuk pundak Bejo, “kamu itu pria baik. Kamu terlalu baik buat dia, Jo”

“Sis, cukup!” bentak Bejo, “aku udah muak dengan kalimat itu!”

“kamu itu emang pria yang baik, Jo!”

“baik apanya?” tegas Bejo, “aku itu pemuda bodoh yang kerjaannya nulis, aku cuma mahasiswa amburadul yang kerjaannya ngerokok. Itu yang kamu maksud baik?!”

“aku tuh kenal kamu nggak sehari-dua hari !” Siska menghela nafas sejenak, “aku tahu kalau kuliahmu amburadul gara-gara kamu fokus pengen meraih impianmu, soal ngerokok? Hanya wanita egois yang mempermasalahkan pemuda perokok. Kebayakan wanita itu membenci perokok cuma gara-gara asapnya. Padahal, kalau mereka bener-bener menyayangi seseorang, pasti mereka bukan membenci perokok, tapi berusaha untuk membuat pemuda yang disayanginya berhenti merokok. Lagian, ngerokok kan nggak dosa?.  Kamu tuh nggak ngerti, Jo !”

“emang aku nggak ngerti, aku nggak pernah ngerti jalan fikiran kalian!” bentak Bejo

“aku akan cerita satu hal”

“cerita apa?” sahut Bejo

“Retno udah nggak suci, Jo!”

“kamu kalo ngomong jangan sembarangan!” bentak Bejo, “aku tuh tahu Retno kayak gimana!”

“kamu itu manusia biasa! kamu itu bukanlah malaikat yang tahu tentang semua hal!” Siska menghela nafas sejenak, “Retno udah nggak suci lagi, dia udah sering ‘berhubungan’ dengan pacarnya. Dia sendiri yang bilang sama aku!”

“jadi, yang dimaksud terlanjur sayang itu?” Bejo terdiam sejenak

“iya, Jo. Dia udah terlanjur berhubungan dengan pacarnya!”

 “ASUU !!!!”  teriak Bejo,  “BAJINGAAAN!!”

Siska meneteskan air mata, ia terus bercerita sembari menahan isak tangisnya, “aku sendiri juga nggak nyangka, Jo. Dia sendiri yang cerita sama aku. Retno sebenernya nggak mau nyakitin kamu, dia tuh sayang sama kamu. Dia bener-bener sayang sama kamu. Kalaupun bisa memilih, pasti dia bakal milih kamu dibanding lelaki bajingan itu.  Tapi apa daya, dia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya.  Mau nggak mau dia mesti bertahan dengan kekasihnya. Kehormatannya udah direnggut, Jo! Dia tuh lebih menderita daripada kamu. Mungkin ini karma, ini hukuman dari Tuhan atas perbuatannya.  Kamu itu pria baik, Jo. Retno juga bilang kalau kamu itu aslinya pria yang baik. Retno nggak kuat buat cerita ini semua sama kamu. Dia nggak ingin kamu kecewa sama dia”

Diam. Bejo hanya bisa diam. Ini merupakan tamparan terkeras dalam hidupnya.  Bejo bener-bener nggak nyangka kalau kejadiannya kayak gini.  Retno yang selama ini dikaguminya, Retno yang dimata Bejo bagaikan malaikat, sholat 5 waktu, rajin baca al-Quran. Ah, Bejo bener-bener nggak habis pikir.

“Jo? Kamu nggak papa kan?” tanya Siska yang daritadi melihat Bejo termenung,

“aku lagi pengen sendiri. Tinggalin aku sendiri !” jawab bejo

“iya, kamu itu pria baik, Jo. Masih banyak wanita baik diluar sana, jangan pernah sia-siakan hidupmu, ya?”

Siska mulai melangkah meninggalkan Bejo.

Bejo mengambil bungkus rokok yang ada disakunya, meraih satu batang, lalu menghisapnya.

Tiba-tiba dia bangkit dari tempat duduk,  melemparkan batang rokok yang dihisapnya, lalu berteriak, “ANJING!”



TAMAT. 

4 komentar:

  1. Klimaks akhirnya kena banget gan hehehe, tapi sebelumnya keliatan datar hehehe cuma suggest gan. Nice post, love it

    BalasHapus
  2. saya suka endingnya, menggunakan kata "nakal", ANJING ^_^

    BalasHapus
  3. Casino de Monte-Carlo (Casino de Monte-Carlo) - Mapyro
    Get 전주 출장안마 directions, reviews and 서울특별 출장마사지 information for 군포 출장안마 Casino de Monte-Carlo, Casino de 김제 출장마사지 Monte-Carlo 전라북도 출장안마 in Las Vegas, NV.

    BalasHapus