Satu tahun setelah
meraih gelar sarjana pendidikan, pria itu memutuskan untuk menikah dengan
kekasihnya semasa kuliah. Dan sekarang, ia memiliki seorang anak laki-laki
berusia lima tahun. Mereka hidup di rumah kecil yang terbuat dari bambu kepang yang
menyerupai kandang sapi. Hanya ada
peralatan memasak di bagian belakang rumah, dua buang kamar tanpa kasur dan sebuah
meja kerja di ruang tamu.
Andai saja aku menjadi
kaya, fikir pria itu, mungkin aku akan bisa membahagiakan keluarga kecilku.
Profesinya sebagai guru
honorer di sebuah sekolah swasta hanya mampu untuk membeli beras. Padahal,
anaknya sudah harus menginjak bangku taman kanak-kanak. Belum lagi ia ingin
membelikan istrinya cincin pernikahan (cincin pernikahan mereka sudah dijual
untuk bertahan hidup dua bulan lalu). Pria itu masih saja mematung di teras
rumah dan fikirannya menerawang jauh di langit yang gelap pekat, kemudian
terperosok dalam lautan kenangan. Semua teman-temannya semasa dulu, yang sudah hidup
mapan, selalu menghindar ketika dimintai tolong. Sanak saudara memandangnya
sebelah mata karena sehari-hari ia berkerja dengan mengendarai sepeda onthel.
Tetangganya di kampung mencaci karena gelar sarjananya hanya menghasilkan kata
melarat. Kadang ia merasa menjadi suami yang bodoh. Seorang suami yang tak
mampu membuat keluarganya hidup berkecukupan sehingga tiap hari harus makan dengan
nasi garam.