2 Maret 2015

Ngeng, Ngeng, Ngeeeng!


Satu tahun setelah meraih gelar sarjana pendidikan, pria itu memutuskan untuk menikah dengan kekasihnya semasa kuliah. Dan sekarang, ia memiliki seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Mereka hidup di rumah kecil yang terbuat dari bambu kepang yang menyerupai kandang sapi. Hanya ada peralatan memasak di bagian belakang rumah, dua buang kamar tanpa kasur dan sebuah meja kerja di ruang tamu.

Andai saja aku menjadi kaya, fikir pria itu, mungkin aku akan bisa membahagiakan keluarga kecilku.

Profesinya sebagai guru honorer di sebuah sekolah swasta hanya mampu untuk membeli beras. Padahal, anaknya sudah harus menginjak bangku taman kanak-kanak. Belum lagi ia ingin membelikan istrinya cincin pernikahan (cincin pernikahan mereka sudah dijual untuk bertahan hidup dua bulan lalu). Pria itu masih saja mematung di teras rumah dan fikirannya menerawang jauh di langit yang gelap pekat, kemudian terperosok dalam lautan kenangan. Semua teman-temannya semasa dulu, yang sudah hidup mapan, selalu menghindar ketika dimintai tolong. Sanak saudara memandangnya sebelah mata karena sehari-hari ia berkerja dengan mengendarai sepeda onthel. Tetangganya di kampung mencaci karena gelar sarjananya hanya menghasilkan kata melarat. Kadang ia merasa menjadi suami yang bodoh. Seorang suami yang tak mampu membuat keluarganya hidup berkecukupan sehingga tiap hari harus makan dengan nasi garam.