Aku bukanlah seorang penutur yang baik. Bagaimana
tidak, SD saja aku tidak lulus, membaca huruf tak bisa, bahkan memegang laptop
saja tanganku sudah gemeteran. Satu-satunya yang bisa dibanggakan dariku
hanyalah berhasil membuat istriku hamil. Kau pasti bertanya-tanya, apakah aku
membual? Aku benar-benar tak bisa menulis. Perihal aku bisa menceritakan kisahku
ini, akan kau ketahui nanti.
Aku masih asyik
menghisap beberapa batang rokok sambil mongalik-alik papan penggorengan. Sungguh
hal yang memuakkan. Tapi apa daya, inilah pekerjaan yang harus kujalani sebagai
penjual burjo; menatap papan penggorengan, lalu menunggu warung setiap hari.
Andaikan bisa memilih, pasti aku akan memilih sebagai konglomerat dimana setiap
hari bisa bercinta dengan istriku sepanjang
waktu sampai lemes. Tidak seperti sekarang. Hampir setiap malam hari aku
kesepian. Istriku berada jauh di Jawa Barat, sementara aku di Yogyakarta
membanting tulang demi menghidupi keluarga. Jadi aku terbiasa meluapkan kesepianku
dengan bercerita kepada pelanggan.
Kepulan
asap masih melayang-layang di warung makan sederhana yang kupunya. Sayup-sayup
kudengar jeritan orang-orang di sepanjang jalan depan warungku. Penggorengan
yang ada didepanku bergetar dengan hebat. Mejaku sampai bergoleng, lalu
tergeletak.
“Gempa!
Gempa!” teriak orang-orang.