Pemuda
itu masih menghisap rokok, dan tangannya meliuk-liuk di atas tombol keyboard
bagaikan seekor burung kecil yang menari di angkasa. Di dalam kamar yang
menyerupai perpustakaan abal-abal itu, setiap hari ia melakukan pekerjaan yang
sering dianggap tak berguna oleh semua teman kuliahnya—menulis. Di dalam kamar
yang menyerupai perpustakaan abal-abal itu, setiap hari ia melakukan pekerjaan
yang sering dianggap tak berguna oleh semua teman kuliahnya—membaca. Di dalam
kamar yang menyerupai perpustakaan abal-abal itu, ia selalu bersimpu kepada
Tuhan, berharap kelak suatu saat impiannya dapat terwujud. Di dalam kamar yang
menyerupai perpustakaan abal-abal itu, ia hidup, bersama dengan puluhan buku,
sebuah laptop biru, dan ratusan kata cacian yang dilontarkan oleh teman
kuliahnya setiap hari—dasar tukang bolos,
masa depan suram, tukang tidur, dan sebagainya—tertempel di dinding kamar.
Rokok.
Rokok. Rokok. Kenapa harus rokok? Kenapa
tidak mengkonsumi baigon, obat panu,
atau racun tikus saja supaya ia cepat mampus? Toh semuanya mempunyai
efek samping yang buruk kalau dihisap? Tak tahu. Ia tak tahu kenapa harus
merokok. Mungkin baginya, rokok adalah sahabat sejati. Kau tahu, rokok dapat mengurangi beban
hidupmu, mengurangi rasa penat akan pilu
yang melanda hatimu, mengurangi rasa kekecewaan akan penderitaan kehidupan. Dan
yang terpenting, rokok selalu bisa menemanimu baik suka maupun duka. Harus
digaris bawahi bahwa sahabat sejati selalu menamanimu baik suka maupun duka. Mungkin baginya rokok adalah sahabat sejati dan
karena itu ia merokok.
Untuk
malam ini, ia kebingungan setengah mati ingin menulis apa. Diangkat tangan
kanannya, lalu digaruk-garukkan di atas kepala guna mencari ide seperti seekor
monyet. Ia tersenyum sebentar, lalu menunduk.
Tiba-tiba ia teringat akan kisah hidupnya yang sedikit aneh. Atau
mungkin, terkesan tak masuk akal. Lalu, ia memutuskan kisah itu yang akan ia
tulis.