8 Mei 2014

Menggambar Bidadari


Pemuda itu masih menghisap rokok, dan tangannya meliuk-liuk di atas tombol keyboard bagaikan seekor burung kecil yang menari di angkasa. Di dalam kamar yang menyerupai perpustakaan abal-abal itu, setiap hari ia melakukan pekerjaan yang sering dianggap tak berguna oleh semua teman kuliahnya—menulis. Di dalam kamar yang menyerupai perpustakaan abal-abal itu, setiap hari ia melakukan pekerjaan yang sering dianggap tak berguna oleh semua teman kuliahnya—membaca. Di dalam kamar yang menyerupai perpustakaan abal-abal itu, ia selalu bersimpu kepada Tuhan, berharap kelak suatu saat impiannya dapat terwujud. Di dalam kamar yang menyerupai perpustakaan abal-abal itu, ia hidup, bersama dengan puluhan buku, sebuah laptop biru, dan ratusan kata cacian yang dilontarkan oleh teman kuliahnya setiap hari—dasar tukang bolos, masa depan suram, tukang tidur, dan sebagainya—tertempel di dinding kamar.

Rokok. Rokok. Rokok. Kenapa harus rokok?  Kenapa tidak mengkonsumi baigon, obat panu,  atau racun tikus saja supaya ia cepat mampus? Toh semuanya mempunyai efek samping yang buruk kalau dihisap? Tak tahu. Ia tak tahu kenapa harus merokok. Mungkin baginya, rokok adalah sahabat sejati.  Kau tahu, rokok dapat mengurangi beban hidupmu, mengurangi rasa penat  akan pilu yang melanda hatimu, mengurangi rasa kekecewaan akan penderitaan kehidupan. Dan yang terpenting, rokok selalu bisa menemanimu baik suka maupun duka. Harus digaris bawahi bahwa sahabat sejati selalu menamanimu baik suka maupun duka.  Mungkin baginya rokok adalah sahabat sejati dan karena itu ia merokok.                                              

Untuk malam ini, ia kebingungan setengah mati ingin menulis apa. Diangkat tangan kanannya, lalu digaruk-garukkan di atas kepala guna mencari ide seperti seekor monyet. Ia tersenyum sebentar, lalu menunduk.  Tiba-tiba ia teringat akan kisah hidupnya yang sedikit aneh. Atau mungkin, terkesan tak masuk akal. Lalu, ia memutuskan kisah itu yang akan ia tulis.