15 Februari 2014

Tuhan, Negeri Bodoh, dan Tumpukan Abu.


Aku paling benci saat-saat seperti ini: dimana aku ingin membuat orang tertawa, dan diriku sendiri berkata bahwa aku lebih cengeng daripada seorang bayi berumur dua bulan. Malam ini aku memang menangis. Menangis secara secara harfiah, maksudnya. Mungkin mataku tetap terang benderang seperti lampu bohlam, tapi hatiku meraung kesakitan. 

Peristiwa ini bermula tadi pagi. Aku tahu, kau pasti bertanya-tanya kapan dan dimana peristiwa yang akan kuceritakan berlangsung. Sejujurnya aku tak bisa menjawab. Kau tau, di negeri yang akan kuceritakan, semua orang bertindak secara arogan. Bahkan kabarnya banyak sekali orang yang menuliskan cerita tentang keadaan negeri itu dimasukkan ke dalam penjara. Aku sendiri tak tahu kenapa mereka dimasukkan ke dalam penjara. Tapi kurasa, negeri itu sangat takut mengakui bahwa negeri mereka memang bodoh. Kau tak ingin aku dipenjara, bukan? Jadi ijinkan aku menyebutnya, Negeri Bodoh. Sekali lagi, ini cerita tentang Negeri Bodoh, sebuah negeri nan jauh di luar angkasa. Kurasa sekarang aku tak perlu takut menulis karena kejadian ini terjadi di Negeri Bodoh.    

Aku bangun dengan mata yang memerah seperti bola ping pong. Samar-samar hidungku mulai mencium bau yang tidak sedap. Aku tahu, kamarku memang selalu beraroma tak sedap. Tapi bau ini benar-benar aneh. Aku tidak pernah mencium bau seaneh ini sebelumnya. 

6 Februari 2014

DIAM BELUM TENTU EMAS


Mahasiswa yang hobinya bolos itu pasti kelak jadi orang yang sukses. Sukses lulus lama, maksudnya. Kadang gue sendiri bingung dengan nasib IPK gue yang memprihatinkan. Makin lama kuliah, IPK gue makin anjlok. IPK itu kayak hujan, bisanya turun terus, kagak bakal bisa naik.

Siang ini, gue baru aja ngisi KRS bareng temen-temen kuliah.  Akhirnya setelah liburan panjang, gue menginjakkan kaki juga di kampus. Sejujurnya gue sama sekali nggak kangen sama kuliah. Apalagi sama dosen Fisika yang kepalanya botak.  Satu-satunya yang gue kangen waktu kuliah hanyalah ngecengin mahasiswi.

Selama mengisi KRS, ada perbedaan paling mendasar antara mahasiswa ber-IPK jeblok sama mahasiswa ber-IPK tinggi. Kebanyakan mahasiswa yang IPK-nya nyaris cumlaud malah tertunduk. Sekali mereka uring-uringan mikir IPK mereka yang turun.

Mahasiswa ber-IPK jeblok? Mereka semua malah ketawa ngakak. Contohnya aja gue sama temen gue. Saat ini kita berdua menyandang gelar paling hina dalam dunia perkuliahan: calon mahasiswa abadi. Meskipun IPK kita berdua paling jongkok di kampus, tapi kita malah senyum-senyum sendiri waktu ngeliat IPK. Boro-boro mikirin IPK cum laude, bisa lulus aja udah keajaiban dunia.  Kadang waktu nulis nama dosen pengampu kita malah ngumpat-ngumpat sendiri sambil tertawa terkekeh-kekeh, “Ketemu pak ini lagi? Jancok! Udah botak, pelit ngasih nilai! hahaha”